Irfan Bakhtiar – Direktur Program Strengthening Palm Oil Sustainability in Indonesia (SPOS Indonesia) Yayasan Keanekaragaman Hayati —
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Indonesia merupakan produsen komoditas minyak sawit terbesar di dunia, dan menguasai lebih dari 50% minyak sawit yang beredar. Posisi produk kelapa sawit ini menjadikan kelapa sawit sebagai komoditas terpenting penyumbang devisa negara. Meskipun, pada tahun 2018, nilai ekspor produk kelapa sawit 2018 US$ 17,89 miliar, turun 12,02% dibandingkan capaian pada 2017 sebesar US$ 20,34 miliar (Katadata, 2019).
Sudah menjadi pengetahuan umum pula bahwa besarnya produksi minyak kelapa sawit diiringi dengan ekspansi lahan kelapa sawit yang sangat luas, sejak awal tahun 2000an. Saat ini, tercatat lebih dari 16 juta hektar lahan telah tertanami oleh komoditas ini (KPK, BIG, LAPAN, 2018).
Sumber yang sama juga mencatat bahwa ekspansi sawit tidak hanya terjadi di lahan – lahan yang dialokasikan untuk perkebunan (KBNK/APL) saja, namun juga merambah hingga Kawasan hutan. Baik itu hutan produksi, hutan lindung, dan bahkan Kawasan konservasi. KPK mencatat ada 3,47 juta hektar sawit yang ditanam di Kawasan hutan di seluruh Indonesia.
Tuduhan pemicu deforestasi
Persoalan ekspansi sawit ke dalam hutan, dan konversi hutan menjadi kebun sawit, telah menjadi sorotan dunia sejak dua dekade terakhir. Berbagai kritikan, kecaman, dan kampanye negatif terus dikumandangkan di dunia internasional, yang mengesankan bahwa ekspansi sawit di Indonesia adalah penggerak utama (major driver) deforestasi dan pemusnahan satwa liar.
Kelapa sawit juga diidentikkan dengan kebakaran hutan dan lahan, menggantikan HTI dengan tanaman Acacia mangium yang sebelumnya sering disorot sebagai penyebab kebakaran. Semua karena sawit, begitu yang ditangkap dengan baik oleh media internasional, terutama Eropa, untuk menggambarkan kerusakan hutan tropis yang terjadi.
Stigma negatif ini bahkan pada akhirnya berakibat pada penetapan Renewable Energi Directive (1) dan (2) yang pada intinya tidak memasukkan bahan bakar berbahan dasar kelapa sawit dalam skema subsidi renewable energi di Eropa, yang akan berakibat pada tingginya harga bahan bakar dari sawit.
Dampak langsungnya tentu adalah minyak sawit tidak akan lagi menjadi pilihan untuk menjadi bahan baku untuk bio–energy di Eropa. Lebih jauh lagi, sentimen negative tentang kelapa sawit sudah cukup jauh tertanam di public Eropa, sehingga kesan mengkonsumsi produk sawit adalah ikut merusak hutan dan membunuh satwa liar sudah berkembang di sana.
Narasi perang dagang
Menghadapi kritikan bertubi – tubi tersebut, pemerintah Indonesia dan para pelaku usaha sawit tak kalah reaktif. Narasi perang dagang, dan argumen – argumen yang menunjukkan bahwa tanaman penghasil minyak yang lain (kedelai, rapeseed/canola, jagung, bunga matahari) lebih rakus lahan kerap kita dengar.
Selain itu, gambaran bahwa sawit ini adalah sandaran hidup masyarakat miskin yang tinggal di sekitar kebun juga sering disampaikan. Data BPDP (2018) menunjukkan bahwa industri kelapa sawit melibatkan 4,2 juta tenaga kerja langsung, dan 12 juta tenaga kerja tak langsung.
Sumber yang sama juga menunjukkan terdapat 2,4 juta petani dengan melibatkan 4,6 juta tenaga kerja untuk memproduksi kelapa sawit. Agenda pengentasan kemiskinan, dampak ekonomi untuk petani dan serapan tenaga kerja ini menjadi argumen yang sering dikedepankan pemerintah dan para pelaku industri untuk melindungi sawit dari serangan dunia internasional.
Sekilas, dua acara pandang itu merupakan kampanye dan counter kampanye yang setara. Namun demikian, jika dilihat lebih cermat, dua cara pandang yang berbeda tersebut tidak akan menghasilkan apapun.
Sawit Indonesia dikritik karena deforestasi dan ancamannya pada keanekaragaman hayati, tidak dapat dibenturkan dengan kenyataan bahwa ekonomi sawit banyak membantu para petani untuk memperbaiki taraf hidupnya. Berbagai kasus Hak Asasi Manusia seperti tenaga kerja anak, perebutan tanah rakyat, dan berbagai kasus lain akan kembali muncul untuk menjadi peluru baru, ketika tameng yang digunakan tidak tepat.
Apa yang terjadi di lapangan?
Menyebut ekspansi kelapa sawit sebagai salah satu pemicu deforestasi bisa jadi tidak salah. Terlalu banyak fakta yang menunjukkan bahwa kebun kelapa sawit yang ada, berasal dari Kawasan hutan. Luasan Pelepasan Kawasan hutan (PKH) untuk perkebunan kelapa sawit skala besar, saat ini telah mencapai 5,9 juta hektar, meskipun 1,4 juta hektar di antaranya sampai saat ini masih berujud hutan alam (Saputra, 2019).
Belum lagi 3,4 juta hektar (KPK, 2018) atau 3,1 juta hektar menurut KLHK luasan Kawasan hutan yang telah ditanami dengan komoditas kelapa sawit yang tersebar di seluruh Indonesia. Luasnya Kawasan hutan yang dikonversi menjadi kelapa sawit, terutama di Sumatera dan Kalimantan, tentu juga merupakan hilangnya habitat dari sebagian satwa liar di wilayah tersebut.
Belum lagi fakta – fakta perburuan beberapa jenis satwa seperti orangutan karena dipandang sebagai hama yang merusak tanaman kelapa sawit di Kalimantan dan gajah di Sumatera.
Di sisi lain, studi KEHATI bersama beberapa mitranya, seperti AURIGA, IRE Yogya, dan Yayasan JAVLEC Indonesia menunjukkan bahwa ekspansi sawit di Kawasan hutan selain dilakukan oleh perusahaan, dan juga oleh masyarakat setempat dan masyarakat migran yang membutuhkan lahan sebagai sarana untuk memperbaiki kualitas hidupnya.
Lebih dalam lagi, studi yang dilakukan KEHATI mengidentifikasi sawit yang dikuasai perusahaan dan “masyarakat/smallholder” dengan ciri – ciri sebagai berikut (Irfan Bakhtiar, 2019)
- Sawit Perusahaan
- Dikelola oleh CV, PT, atau bentuk perusahaan yang terdaftar dan memiliki struktur organisasi yang jelas;
- Luasan sawit perusahaan ratusan hingga ribuan hektar;
- Dapat terjadi karena pelanggaran terhadap HGU atau tumpang tindih penggunaan Kawasan
2. Sawit “Smallholder”
- Penguasaan dilakukan (dikendalikan) oleh individu atau keluarga;
- Luasan penguasaan bervariasi, mulai dari 2 hektar – ratusan hektar;
- Penguasaan (pengendalian) dilakukan oleh warga desa, warga sekitar desa, dan “investor” dari luar daerah
Sawit masyarakat
Seperti disebutkan di atas, luasan sawit “masyarakat/smallholder” sangat bervariasi, mulai dari 2 hektar sampai dengan ratusan hektar. Di lapangan, seringkali memang dijumpai pekerja yang melakukan aktivitas pertanian merupakan masyarakat pekebun yang memang mebutuhkan lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan perbaikan kualitas hiudp mereka.
Namun demikian, dijumpai pula fakta di banyak tempat bahwa para pekebun yang bekerja di lapangan itu tidak memegang kendali atas pengelolaan lahan perkebunan yang mereka olah. Banyak di antara mereka yang hanya pekerja. Hal ini yang menimbulkan pertanyaan tentang definisi sawit rakyat atau smallholder yang banyak disebut oleh pemerintah, luasannya mencapai 40% dari total luasan sawit di Indonesia.
KEHATI dan mitra – mitranya mencoba melihat situasi ini dengan lebih obyektif. Dari studi yang dilakukan di 12 desa di 5 provinsi di Sumatera dan Kalimantan, KEHATI menemukan tipologi penguasaan lahan dalam bentuk “sawit rakyat” ini sebagai berikut (Bakhtiar, 2018)
- 0 – 5 hektar: dapat disebut dengan pekebun (kecil). Pengelolaan dilakukan oleh dirinya sendiri bersama keluarga inti atau melibatkan pekerja dalam jumlah sangat kecil;
- 5 – 25 hektar: dapat disebut sebagai pelaku usaha kebun sawit. Pelaku usaha sawit ini terlibat langsung dalam praktek pengurusan kebunnya. Biasanya pengurusan kebun dilakukan dilakukan bersama keluarganya, dengan melibatkan pekerja dari luar dan (biasanya) migran;
- Lebih dari 25 hektar : dapat disebut dengan pengusaha perkebunan sawit. Sebagian pelaku usaha ini juga masih mengerjakan kebunnya sendiri bersama – sama dengan pekerja dari luar desa atau luar daerah. Namun demikian, sebagian besar di antara pengusaha ini hanya menyiapkan modal dan menyerahkan penurusan kebunnya pada pekerja dari desa dan dari luar desa (investor).
Berkaca dari berbagi fakta yang ada, persoalan sawit dan deforestasi ini memang sangat kompleks. Meskipun demikian, bukan berarti permasalahan ini tidak dapat diselesaikan.
Strategi penyelesaian
Dengan tekad yang kuat dan kesadaran dari berbagai pihak terkait untuk dapat memperbaiki citra kelapa sawit Indonesia di mata dunia internasional, langkah – langkah penataan tidak dapat dihindari. Beberapa pilihan langkah penataan tersebut adalah:
Untuk Kawasan hutan yang sudah dilepaskan (PKH) dan sudah ditanami sawit, tidak banyak yang dapat dilakukan. Namun beda halnya dengan areal PKH yang senyatanya sampai saat ini masih berujud hutan alam. Sudah selayaknya kawasan seluas 1,4 juta hektar itu dipertahankan sebagai hutan alam, dalam bentuk Kawasan Ekosistem Esensial, atau dalam bentuk apapun yang memungkinkan, baik berstatus kembali menjadi Kawasan hutan atau tetap berstatus konsesi perusahaan (KBNK).
Pada Kawasan hutan yang saat ini telah ditanami dengan kelapa sawit atau telah berizin kebun sawit meski masih tercatat sebagai Kawasan hutan, penataan harus dilakukan, disesuaikan dengan keadaan dan situasi yang bervariasi di lapangan. Berbagai pilihan jalan keluar yang secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut:
- Untuk sawit perusahan:
- Penegakan hukum dan peraturan: pembatalan HGU / izin, pemeberian sanksi atau denda, dan pengenaan peraturan perpajakan;
- Pengambilalihan pengelolaan kepada BUMN, BUMD, atau BUMDesa dan pemberlakuan jangka benah untuk kebun di Kawasan hutan yang tidak dapat dikonversi;
- Redistribusi lahan: penyitaan lahan dan asset dan pembagian lahan kepada rakyat melalui skema TORA atau penyerahan kepada desa sebagai asset desa.
- Untuk Sawit “rakyat atau smallholder”:
- Pelaksanaan Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan dan Reforma Agraria (Peraturan Presiden No. 88/2017, Peraturan Presiden No. 86/2018 dan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perkenomian No. 3/2018);
- Implementasi Perhutanan Sosial (Peraturan Menteri LIngkungan Hidup dan Kehutanan No. 83/2016) dengan mengakomodir keberadaan sawit selama masa “jangka benah”; dan
- Pengelolaan Perkebunan oleh BUMDEsa sebagai Asset Desa (UU No. 6/2014 tentang Desa) untuk areal yang dikuasai oleh para investor. Sesuai dengan peraturan pengelolaan asset desa, Desa tetap dapat bekerja sama dengan investor dari luar dengan skema bagi hasil atau sewa.
Penutup
Berbagai catatan tentang kebun sawit, hutan, dan rakyat sudah selayaknya membuat kita semua berpikir bahwa memang ada persoalan dalam tata kelola perkelapasawitan di Indonesia. Persoalan sawit, konversi, dan deforestasi ini merupakan kenyataan yang tidak dapat kita pungkiri, namun bisa kita perbaiki.
Kita tidak dapat memutar waktu untuk kembali ke saat di mana belum terjadi konversi hutan menjadi sawit dan mengatakan pada dunia bahwa: “tidak ada deforestasi dan konversi hutan menjadi sawit”. Meskipun demikian, kita bisa memperbaiki keadaan dengan memperbaiki tata kelola perkelapasawitan terkait dengan hutan dan keanekaragaman hayati. Hanya dengan ini Indonesia dapat menunjukkan kepada dunia bahwa kita sedang berbenah, dan bertekad melindungi hutan dan keanekaragaman hayati yang tersisa.
Upaya inilah yang sebaiknya kita tunjukkan kepada dunia, sebagai modal diplomasi kita untuk menyelamatkan primadona ekonomi Indonesia, sekaligus memperbaiki nasib masyarakat yang hidup di sekitar hutan dan Kawasan perkebunan, serta menyelamatkan hutan dan sumberdaya hayati yang tersisa.
Menunjukkan upaya perbaikan ini bisa jadi tidak dapat serta merta menghentikan kesan negative terhadap sawit Indonesia di mata masyarakat internasional, terutama Eropa. Meski demikian, upaya ini diyakini dapat menjadi awal dari bertemunya perhatian para pihak di tingkat internasional.
Perbaikan di dalam negeri akan dapat menjadi bahan kampanye positif yang secara perlahan akan dapat mengubah pandangan para pihak internasional terhadap pengelolalan sumberdaya alam Indonesia, termasuk perkebunan kelapa sawit.
Perang dagang, jika memang itu yang terjadi, harus dihadapi dengan strategi yang jitu, yang meminimalisir hujan peluru ke arah kita, sembari menebarkan pesan – pesan perdamaian dan kompromi tanpa harus meladeni pertempurannya.