Ahmad Maryudi – Sebijak Institute
— Hari-hari penuh rumor (dan harap, bagi sebagian orang) jelang pengumuman Kabinet Kerja jilid 2: dari nomenklatur kementerian yang menaungi sektor kehutanan sampai dengan nahkodanya. Banyak harapan yang digantungkan kepada nahkoda kementrian yang mengurus sektor kehutanan, termasuk untuk menuntaskan agenda strategis dan warisan PR lama yang belum terselesaikan, seperti agenda percepatan perhutanan sosial.
Beberapa waktu yang lalu dalam pertemuan dengan perwakilan masyarakat perhutanan sosial, Jokowi menegaskan komitmen pemerintah untuk menyelesaikan agenda perhutanan sosial. Ini merupakan bagian perwujudan dari cita-cita besar nan mulia Nawacita yang dicanangkan Presiden, yang ditujukan untuk mendorong pemerataan ekonomi dan mengurangi ketimpangan ekonomi melalui tiga pilar: lahan, kesempatan usaha, dan sumber daya manusia.
Capaian perhutanan sosial
Sampai dengan akhir periode pertama Jokowi, realisasi pemberian izin/ hak akses/ kemitraan (selanjutnya dalam tulisan ini disebut sebagai izin saja) perhutanan sosial mencapai kurang lebih 3.2 juta hektar. Walaupun masih jauh dari target 12.7 hektar, pencapaian Jokowi perlu diapresiasi. Sebagai perbandingan, menurut laporan the State of Indonesia’s Forests 2018, realisasi pemberian izin perhutanan sosial antara 2007 dan 2014 hanya sekitar 0.5 juta hektar. Selain itu, Jokowi lah yang pertama kali memberikan pengakuan formal terhadap beberapa hutan adat.
Realisasi janji distribusi lahan 12.7 hektar harus tetap menjadi prioritas dan perlu dikebut. Ini bukan pekerjaan yang ringan. Tantangan pertama adalah mencari kawasan hutan yang tidak dibebani atas hak-hak lain. Dalam revisi ketiga Peta Indikatif Dan Areal Perhutanan Sosial (SK No. 744/MENLHK-PKTL/REN/PLA.0/1/2019), pemerintah mengindikasikan ada kawasan hutan seluas 13.8 juta hektar yang dapat dipergunakan untuk perhutanan sosial.
Namun tidak ada jaminan bahwa areal tersebut sudah clear and clean. Banyak kasus kondisi aktual lapangan tidak sesuai dengan kriteria kualifikasi perhutanan sosial, dan masih tumpang tindih dengan peruntukan lain. Semisal kasus perselisihan status kawasan atas beberapa Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) untuk petani di Jawa. Konflik tenurial pun kadang tak terelakkan.
Kedua, prosedur administrasi birokrasi yang sering kali rumit dan panjang, dan memerlukan biaya transaksi yang tidak sedikit. Pemerintah telah menjanjikan penyederhaan dan percepatan perizinan perhutanan sosial, namun pelaksanaannya sering meleset. Oleh karena itu, debirokratisasi perizinan menjadi salah satu agenda yang mendesak untuk dilaksanakan.
Regulasi yang memampukan
Pemberian izin merupakan langkah awal agar kebijakan perhutanan sosial mampu berkontribusi dalam penyejahteraan masyarakat sekitar hutan. Banyak pihak mengasumsikan pemberian izin sebagai jaminan peningkatan akses. Hal ini keliru. Pemberian izin hanya sekedar memberikan jaminan bagi kelompok atau individu masyarakat akan “hak mereka untuk mendapatkan manfaat” atas lahan/ sumberdaya hutan.
Sedangkan akses, menurut Theory of Access”, merupakan “kemampuan untuk mengambil manfaat dari/ atas sesuatu”. Cukup banyak cerita dari lapangan, masyarakat tidak serta merta mendapatkan manfaat setelah diberi izin perhutanan sosial. Ironisnya, hal ini justru disebabkan regulasi pemerintah. Semisal petani Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Gunungkidul yang bertahun-tahun menunggu masa panen, walaupun sudah mengantongi izin pemanfaatan kayu. Belakangan banyak masyarakat desa yang mundur teratur setelah memahami persyaratan IPHPS.
Penerima izin dibebani ragam persyaratan administrasi dan teknis kehutanan yang sering dibahasakan dalam konteks kelestarian hutan, seperti pembuatan rencana karya, penetapan jatah tebang, dan sebagainya, yang kadangkala di luar kemampuan masyarakat pedesaan. Persyaratan harus disederhanakan, jangan disamakan dengan korporasi. Jangan sampai muncul kesan, pemerintah-lah yang justru mengambil untung dari partisipasi aktif masyarakat dalam menghijaukan dan menjaga hutan.
Kendala usaha produktif
Agar perhutanan sosial menjadi katalis penyejahteraan masyarakat desa hutan, pemerintah sering menekankan pentingnya usaha produktif. Penerima izin diharapkankan tidak membiarkan lahan terbengkalai.
Ini bukan perkara mudah dan sederhana. Masyarakat desa hutan sering terkendala akses informasi, teknologi, pasar, dan pendanaan sehingga banyak potensi hutan terbuang percuma tidak termanfaatkan. Penelitian mengenai skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Sumatera Utara menunjukkan bahwa areal perhutanan sosial terfragmentasi dan minim infrastruktur yang secara finansial kurang menarik karena tingginya biaya transportasi.
Demikian juga skema Hutan Kemasyarakatan di kawasan hutan lindung. Kadang tidak banyak hasil hutan non-kayu yang bisa dimanfaatkan. Masyarakat juga mempunyai keterbatasan pengetahuan, teknologi, akses pasar, dan perbankan untuk memanfaatkan jasa lingkungan, jika ada.
Dalam konteks usaha produktif, tentu ada satu dua cerita sukses -semisal Ekowisata Kalibiru di Yogyakarta dan usaha susu di Lumajang. Keberhasilan mereka ditopang dukungan dan asistensi yang intensif dari pihak luar, baik pemerintah, LSM, dan perbankan. Perlu diingat, ada ribuan kelompok penerima ijin yang masih kesulitan mendapatkan akses serupa.
Sosial sejati
Perhutanan sosial merupakan tatanan dan pranata baru kehutanan, digadang-gadang mampu menjadi wahana demokratisasi pengelolaan hutan. Sudah lama sumberdaya hutan di Indonesia dinikmati segelintir orang saja. Perhutanan sosial mempunyai potensi besar sebagai strategi pembangunan pedesaan yang inklusif, untuk mendorong percepatan penyejahteraan masyarakat desa yang masih miskin. Perhutanan sosial yang sejati bertumpu pada peningkatan akses terhadap sumberdaya, agar masyarakat desa hutan berdikari dan bermartabat hidupnya.
Pemerintah harus serius menggarap hal ini. Jangan hanya fokus pada pemberian ijin semata. Jika tidak, perhutanan sosial hanya akan menjadi kebijakan kehutanan konvensional dengan bungkus dan kemasan baru, tanpa perubahan substansi**
Prof Ahmad Maryudi adalah sosok yang tahu betul tentang hutan. Dan di tunjang oleh pendidikan akademik yang mumpuni. Oleh karena itu saya sangat setuju & mendukung jika beliau menulis opini tentang hutan, pengelolaan dan manfaat riil bagi masyarakat dan negara.