Ahmad Maryudi – Sebijak Institute
— Beberapa waktu lalu saya diundang dalam sebuah diskusi tentang Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Saya diminta untuk menjawab pertanyaan “apakah SVLK mampu menjadi instrumen untuk pembenahan tata kelola kehutanan di Indonesia”. SVLK memang dikreasikan sebagai instrumen untuk memberantas pembalakan liar (haram) melalui perbaikan tata kelola hutan (forest governance).
Sebuah pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab dalam waktu paparan yang hanya sekitar 15 menit. Sebelum memulai paparan, saya memagari diri bahwa yang saya sampaikan lebih banyak dari kacamata akademisi. Dan tidak ada pandangan tunggal di kalangan akademisi.
Dua kutub ekstrim
Faktanya ada dua kutub ekstrim di kalangan akademisi dunia. Kutub pertama adalah perspektif incrementalist, yang meyakini SVLK dan inovasi serupa mampu menjadi batu pijakan yang kokoh untuk perbaikan tata kelola kehutanan. Cukup banyak ilmuwan yang berada di kutub ini, semisal poros Yale (Cashore)-Amsterdam (Zeitlin)-Florida (Overdevest).
Di kutub berlawanan ada poros Oxford (McDermott)-Copenhagen (Rutt)-Joensuu (Ramcilovic-Suominen), yang memandang SVLK sebagai “environmental fad”, yang dianalogikan sebagai sekedar “tren fesyen” dan tidak mendorong perubahan subtantif. Atau kasarnya, produk gagal!
Uniknya mereka teman-teman baik saya. Saya sering terlibat perdebatan sengit dengan mereka (dalam koridor ilmiah tentunya). Lalu posisi saya di kutub yang mana?
Tata kelola atau Pranata dan Tata Kuasa?
Dalam diskusi tersebut saya sampaikan bahwa saya cukup terusik dengan terjemahan “forest governance” yang hanya sekedar “tata kelola kehutanan”. Dalam tulisan berjudul “Renting legality: How FLEGT is reinforcing power relations in Indonesian furniture production networks”, kami mendefinisikan istilah tersebut sebagai ”struktur sosial untuk mengatur dan menegosiasikan hubungan tata kuasa atas sumberdaya hutan”.
Bagi saya, inti dari forest governance adalah 1) pranata dan 2) bagaimana hubungan kuasa dalam sistem pranata itu dibangun dan dinegosiasikan. Kalangan akademisi seluruh dunia umumnya bersepakat, pranata dan tata kuasa kehutanan yang baik harus mencerminkan prinsip-prinsip inklusivitas (pelibatan para pihak), transparansi, akuntabilitas dan legitimasi.
Sistem pranata hibrid
15 tahun yang lalu– jauh sebelum peluncuran SVLK- dalam sebuah seminar internasional, saya menyampaikan perlunya sistem pranata dan tata kuasa hibrida yang memadukan peran pemerintah dan mekanisme pasar.
Pemikiran saya ini didasari lambatnya perkembangan sertifikasi pengelolaan hutan berkelanjutan/ lestari. Ya, sertifikasi hutan merupakan non-state market driven (NSMD) governance. Sertifikasi adalah intrumen kebijakan neo-liberal, yang medelegitimasi institusi pemerintah. Kemunculan sertifikasi lebih karena kristalisasi ‘kekecewaan’ atas kebijakan berbasis pemerintah, yang banyak dipersepsikan gagal dalam mendorong pengelolaan hutan yang baik-adil-berkelanjutan.
Sistem pranata sertifikasi (baca: standar/ kriteria-indikator pengelolaan hutan berkelanjutan) diinisiasi dan dibangun oleh para pegiat sosial-lingkungan kehutanan, dengan mekanisme penilaian dilakukan oleh lembaga independen (pihak ketiga). Agar sertifikasi diterima (baca: pengelola hutan/ industri mengimplementasi prinsip dan standar kelestarian), pasar didorong untuk memberikan penghargaan (baca: insentif finansial), dengan membeli produk tersertifikasi lestari (sebisa mungkin dengan harga premium).
Faktanya, sistem pranata dan tata kuasa non-pemerintah tersebut tidak mendapatkan sambutan yang luas. Dan bahkan sampai tahun ini, kurang dari 15% hutan dunia yang telah tersertifikasi.
Ada beberapa penyebab. Pertama, standar kelestarian yang dianggap terlalu berat, khususnya bagi negara-negara tropis dengan kompleksitas permasalahan pengelolaan hutan. Kedua, tingkat enforcement sertifikasi sangat rendah, karena skemanya adalah sukarela. Ikut alhamdulillah, tidak yang monggo. Ketiga, pasar pun (konsumen) belum memberikan dukungan yang cukup, dengan membeli produk tersertifikasi (lestari). Ya begitulah, konsumen lebih memilih produk murah non-premium.
Verifikasi legalitas (SVLK di Indonesia) mencoba menambal hal tersebut, dan mencoba menggabungkan sistem pranata pemerintah dengan mekanisme pasar. Standar (awal) adalah memastikan legalitas kayu saja (bagian kecil dari konsep kelestarian). Sistem pranata SVLK dibangun dan dimiliki oleh institusi pemerintah dengan skema mandatory (wajib). Untuk menjaga akuntabilitas sistem, verifikasi dilakukan oleh lembaga independen terakreditasi. SVLK diharapkan juga menjadi instrumen untuk penetrasi pasar. Karakter-karakter inilah yang saya istilahkan sistem pranata hibrid.
Pelibatan parapihak dalam desain SVLK
Desain SVLK memakan waktu yang sangat panjang, dimulai tahun 2002 sampai akhirnya secara resmi diluncurkan tahun 2009. Dan setelahnya pun berbagai perbaikan dan penyempurnaan terus dilakukan. Di awal proses, perlu waktu setahun lebih hanya untuk mendefinisikan kata “legal”.
Proses panjang tersebut melibatkan ragam pihak, seperti: pemerintah, pengusaha dan industri (besar, sedang, kecil, bahkan mikro), masyarakat sipil, petani hutan, akademisi, dan sebagainya. Perlu diingat awal perumusan kebijakan SVLK adalah masa euphoria reformasi.
Dari sisi keragaman, bisa dikatakan “semua” terlibat dalam proses tersebut. Prinsip inklusivitas tergambar disitu. Benar, tidak semua yang terlibat benar-benar mewakili suara kelompoknya.
Contohnya, beberapa LSM, khususnya yang aktif mengangkat isu hak asasi manusia, pelan-pelan menarik diri. Bahkan nada minor masih terdengar sampai sekarang. Misalnya terkait dengan suara industri kecil dan mikro yang katanya tidak banyak didengar. Ada suara sumbang L4 (lu lagi lu lagi), ini tidak perlu dipungkiri. Saya sampaikan, mungkin istilah yang cocok untuk menggambarkan proses desain SVLK adalah “inclusively exclusive”.
Tapi yang perlu diingat, proses tersebut sudah menjadi antitesis terhadap sejarah panjang pengabaian suara publik dalam proses-proses kebijakan. Hal ini tentu perlu diapresiasi, terlepas dari berbagai kekurangannya, demikian tutur saya dalam diskusi tersebut.
Peran pemantau independen
Dalam diskusi tersebut saya juga menggarisbawahi keunikan (baca: keunggulan) SVLK, khususnya terkait dengan peran pemantau independen untuk menjaga kredibilitas dan legitimasi sistem. Hanya di Indonesia saja, pemantau independen ditempatkan secara formal dalam desain sistem.
Dalam diskusi tersebut saya tidak menampik beberapa nilai minus terkait peran pemantau independen. Semisal, rendahnya keterbukaan informasi, keselamatan pemantau, dan pembiayaan dan keberlanjutan pemantauan.
Tanpa teman
Dengan SVLK, produk kayu Indonesia kini bisa melenggang di pasar Uni Eropa. Dan beberapa negara lainnya mulai menunjukan atensi serupa. Bagaimanapun, SVLK sudah mendapatkan pengakuan global, walaupun kita juga tidak bisa menafikan bahwa hal ini kadangkala kental unsur politisnya. SVLK tidak sempurna, itu pasti. Tapi kalau dibilang produk gagal koq rasanya terlalu sadis.
Di akhir paparan, saya sampaikan bahwa SVLK seperti berjalan sendiri, tanpa teman. Saya meyakini, perbaikan pranata dan tata kuasa kehutanan tidak mungkin dibebankan ke SVLK semata. Ada berbagai inisiatif kebijakan, seperti pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD+), kehutanan sosial dan reforma agraria, yang sebenarnya juga untuk membangun sistem pranata untuk mengatur hubungan tata kuasa yang baik.
SVLK sudah meletakkan pondasi yang kokoh, harus dilengkapi dan disinergikan dengan kebijakan lain secara lebih holistik, sebagai kesatuan bangunan “forest governance” yang megah. Demikian pungkas saya.
Keren Prof.. seperti membaca ringkas jurnal