Agung Nugraha – Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute
— Suku Anak Dalam (SAD) atau Orang Kubu merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang dikenal sebagai Indigenous People atau masyarakat adat yang tinggal di wilayah Jambi. Tepatnya di empat kabupaten, yaitu Merangin, Batanghari, Tebo dan Sarolangun (Anonimous. 2012). Komunitas SAD yang dikenal pula dengan sebutan Orang Rimba atau “Orang Rimbo” merupakan kelompok masyarakat yang kelangsungan kehidupannya masih sangat bergantung terhadap sumberdaya hutan (Soetomo. 1995). Orang Rimba hidup di hutan dengan cara mengumpulkan dan memungut hasil – hasil hutan maupun berburu binatang buruan.
Tak mengherankan apabila Orang Rimba lekat dengan tahapan kebudayaan masyarakat berburu dan meramu (BTN Bukit Duabelas. 2012).
Pembangunan kehutanan yang gencar dilaksanakan pemerintah melalui kegiatan pengusahaan hutan alam berbasis HPH pada dekade 1970-an yang dilanjutkan industrialisasi kehutanan pada periode 1985-an bisa dikatakan sama sekali tidak menyentuh kehidupan komunitas Orang Rimba. Konsep pembangunan kehutanan yang menjadi target dan tujuan para teknokrat yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi menegaskan dengan sangat jelas mengapa aspek sosio kultural masyarakat adat –termasuk Orang Rimba- tidak menjadi bagian penting indikator pembangunan. Faktanya, tujuan makro pertumbuhan ekonomi tidak menyentuh kepentingan kesejahteraan komunitas mikro Orang Rimba.
Perbedaan orientasi sosio kultural kehidupan komunitas Orang Rimba dengan target yang hendak diraih melalui pemanfaatan hutan alam beserta industrialisasinya jelas tidak memungkinkan keduanya bisa saling berjalan berdampingan. Sebaliknya, seringkali pengusahaan hutan dan industrialisasi kehutanan bukan hanya meminggirkan, bahkan justru secara sosial, ekonomi dan kultural menegasikan peran hutan bagi kelangsungan kehidupan Orang Rimba. Sebuah realitas yang sering ditemukan dalam berbagai proyek dan program pembangunan kehutanan maupun pembangunan berbagai sektor lain –seperti perkebunan, pemukiman- yang cenderung abai terhadap aspek sosio kultural masyarakat lokal.
HTI : Keberlanjutan Industri Vs Kelangsungan Hidup Komuniti
Tahap pertama kebijakan ekstraksi hutan alam tropis berbasis HPH telah menimbulkan ekses deforestasi dan degradasi hutan dalam bentuk meningkatnya luasan kawasan hutan rusak dan tidak produktif. Meskipun laju deforestasi dan degradasi hutan kini mengalami penurunan, namun proses kerusakan hutan masih terus berlangsung sebagai akibat berbagai faktor penyebab. Mulai dari massifnya perambahan hutan, maraknya penebangan liar, bencana kebakaran hutan dan lahan tahunan, hingga konversi hutan menjadi areal non kehutanan. Termasuk berbagai faktor penyebab lainnya yang seringkali bersifat politis dan non teknis.
Kerusakan hutan berdampak nyata terhadap kian menurunnya keanekaragaman hayati. Juga terancam hilangnya habitat berbagai satwa liar endemik setempat. Yang tak kalah dahsyat, realitas kian terpinggirkannya Orang Rimba dari pusat-pusat kehidupan sosial, ekonomi dan budayanya pasca perubahan drastis kerusakan ekosistem hutan alam. Meskipun pasca reformasi –konon- pemanfaatan hutan berubah dalam hal paradigma, namun ideologi pembangunan kehutanan masih tetap sama. Bertumpu pada orientasi kepentingan pertumbuhan ekonomi yang bersifat sangat kuantitatif jangka pendek. Karenanya seringkali abai terhadap kelestarian ekologi dan sosial yang bersifat jangka panjang.
Dalam upaya mempertahankan peran ekonomi kehutanan, sekaligus mengatasi dampak deforestasi dan degradasi lahan hutan, terbitlah kebijakan pembangunan hutan tanaman industri pada tahun 1990 melalui PP No. 7 Tahun 1990. Secara konseptual, Iskandar (2005) menyatakan bahwa pembangunan hutan tanaman industri setidaknya memiliki empat tujuan utama. Pertama, meningkatkan produktivitas kawasan hutan produksi yang kritis dan tidak produktif. Kedua, membangun hutan untuk menghasilkan bahan baku industri hasil hutan. Ketiga, membangun industri hasil hutan yang hasil-hasil industrinya dapat dipasok ke pasar global. Keempat, memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat.
Walaupun secara konseptual kebijakan pembangunan hutan tanaman industri bertujuan untuk mengatasi degradasi dan deforestasi, sekaligus mempertahankan keberlanjutan peran dan kontribusi industrialisasi, namun sekali lagi hal tersebut kurang bahkan belum berpihak pada kepentingan komunitas mikro Orang Rimba. Kebijakan kehutanan berbasis HTI belum banyak menyentuh perspektif upaya menjaga bahkan melindungi kelangsungan hidup Orang Rimba. Padahal, disadari sepenuhnya justru Orang Rimba sebagai salah satu komuniti asli hutan tropis Jambi yang secara langsung paling rentan menerima ekses negatip dampak ekstraksi pemanfaatan hutan.
Lebih jauh, ancaman kelestarian fungsi lingkungan juga berdampak terhadap kelangsungan dan keberlanjutan hidup komuniti Orang Rimba. Menyempit bahkan hilangnya ekosistem hutan alam yang selama ini menjadi ruang hidup (Bediom atau Labensrauum) membuat Orang Rimba kian tersisih. Eksistensi kelembagaan yang kian lemah, berbagai budaya yang bertumpu pada keberadaan hutan semakin lama tidak lagi mampu dioperasionalkan. Sementara itu masuknya nilai-nilai budaya masyarakat modern yang belum sepenuhnya bisa diterima Orang Rimba dipaksa untuk menjadi bagian dari sistem dan tata nilai baru yang harus dioperasionalkan dalam ekosistem hutan yang berubah sangat cepat. Orang Rimba mengalami disorientasi sosio kultural sebagai akibat cepatnya perubahan bentang alam kawasan hutan yang menjadi ruang hidupnya.
Dialektika Orang Rimba : Modernisasi Vs Konservasi
Tampaknya, terdapat gagap budaya dan ketidakmampuan dari para pihak dalam memperlakukan Orang Rimba. Pendekatan-pendekatan teknis sektoral -antara lain kehutanan dan perkebunan- yang dibungkus dalam peta jalan modernisasi selama ini dinilai gagal dalam memajukan Orang Rimba. Berbagai kebijakan dan program yang telah dikembangkan oleh para pihak, termasuk pemerintah pusat -Kementerian Kehutanan, Kementerian Sosial dan Kementerian Dalam Negeri- maupun Pemerintah Daerah belum bahkan tidak kunjung menghasilkan perubahan nilai kehidupan Orang Rimba sebagaimana diharapkan.
Bukan hanya pendekatan Pemerintah saja yang dinilai gagal. Pun, termasuk upaya-upaya yang telah dilakukan dunia usaha melalui berbagai kegiatan pemberdayaan berbasis program CSR. Juga selalu kandas. Umumnya berakhir dengan kegagalan. Berhasil sesaat, namun tidak benar – benar menghasilkan perubahan. Bahkan tidak sedikit yang kembali pada lingkungan dan kultur tradisionalnya yang kemudian berujung pada ledakan konflik.
Ya, Orang Rimba yang tidak mampu atau sulit mempertahankan kehidupan menetapnya sebagai pintu masuk menjadi manusia modern dipastikan akan kembali ke hutan. Implikasi berikutnya, mereka menuntut agar kawasan hutan yang telah ditetapkan ijin pemanfaatannya oleh Pemerintah untuk berbagai kepentingan, agar dikembalikan fungsinya sebagai bediom atau ruang hidup Orang Rimba. Ironisnya, sebagian dari kawasan hutan tersebut telah berubah menjadi kawasan perkebunan, hutan tanaman atau ijin restorasi.
Salah satu hasil kajian dan identifikasi yang dilakukan berbagai pihak, menunjukkan bahwa kegagalan utama Orang Rimba untuk bisa hidup menetap dikarenakan gagal melakukan transformasi nilai-nilai sosio kultural sebagai masyarakat berburu meramu menjadi masyarakat menetap. Sementara secara sosio ekonomi, kegagalan proses transformasi nilai nilai kultural Orang Rimba dikarenakan tidak ditopang kemampuan menghasilkan kebutuhan hidupnya secara mandiri dan berkelanjutan. Dengan kata lain, kelompok Orang Rimba yang belum mampu hidup menetap dengan mengembangkan pola hidup pertanian -dan perkebunan- sama artinya belum sesuai dengan tahapan perkembangan peradaban kehidupan awalnya : berburu meramu yang bersifat nomaden.
Dalam konteks ini, kesalahan tentu bukan melulu ada di pundak Orang rimba. Justru Pemerintah dan para pihaklah yang dinilai memiliki andil paling besar dalam kegagalan membangun transformasi perubahan sisio kultural Orang Rimba. Ya, aparat pemerintah, manajemen perusahaan serta pihak lain terkait tidak cukup memiliki disiplin ilmu dan menguasai instrument perubahan sosio kultural. Pada akhirnya, desain program pembangunan, pemberdayaan dan program-program lain yang sejenis tidak memiliki pemahaman yang cukup atas karakter sosio kultural Orang Rimba. Sudah pasti hal itu berujung pada kegagalan program.
Hari ini, dialektika potret Orang Rimba bahkan berada dalam dualisme sosio-kultural. Di satu sisi, sebagian dari mereka masih menjalankan ritual budaya yang mencerminkan identitas mereka sebagai komunitas nomaden yang hidup dari memungut dan berburu hasil hutan. Hal itu antara lain dicirikan dengan ritual melangun dan besale dengan berbagai proses adaptasinya. Termasuk menjalankan ritual dan kepercayaan mereka walau sebagian telah bercampur dengan agama dan kepercayaan barunya. Namun di sisi lain, dalam kesehariannya Orang Rimba juga tak pernah lepas dari berbagai unsur kehidupan masyarakat modern. Termasuk dalam hal gaya hidupnya yang –seringkali- tak kalah konsumtif dari kelompok-kelompok masyarakat Jambi lainnya.
Dalam perpesktif antropologis, dualisma perspektif keberadaan Orang Rimba sekaligus pilihan kelangsungan masa depan kehidupannya menghasilkan keterbelahan paradigma. Di satu sisi, kelompok antropolog penganut arus utama ideologi “relativitas kebudayaan” menuntut agar keberadaan dan pola kehidupan Orang Rimba dijaga apa adanya. Tetap dikonservasi. Asli, tanpa perubahan sama sekali. Seorang antropolog yang menganut antropologi sebagai sebuah basic science selalu menjunjung tinggi konsep relativitas kebudayaan. Bahwa, setiap masyarakat atau kelompok masyarakat dimanapun dan kapanpun memiliki nilai dan keunikan kultural tersendiri yang wajib dihormati dan dihargai. Bahwa suku bangsa yang secara fisik terlihat sangat tradisional dan tampak tertinggal, belum tentu juga terbelakang dalam hal spirit, etika, etos dan nilai – nilai sosio kultural lainnya (Shweder. 2000, dalam Marzali, 2009).
Sementara di sudut lainnya, seorang antropolog yang menganut ideologi antropologi sebagai sebuah disiplin ilmu terapan, harus berani memberikan pilihan sikap. Konsekuensi untuk berani menilai. Termasuk menentukan posisi atas sebuah komunitas. Dalam konteks ini, sang antropolog harus berani menyatakan mana nilai yang baik dan mana nilai yang buruk. Juga mana nilai yang maju dan sebaliknya mana nilai yang kurang maju. Karena itu, kewajiban kelompok masyarakat yang sudah maju dan modern -menurut pandangan antropologi pembangunan ini- harus bisa membawa kelompok-kelompok masyarakat yang masih tradisional, primitif dan terbelakang kepada kemajuan. Harapannya tentu saja agar setara dengan masyarakat modern lainnya sebagaimana nilai-nilai kebudayaan yang bermuara pada kemajuan kemanusiaan.
Dalam konteks dialektika dua paradigma di atas, sesungguhnya upaya untuk menerapkan paradigma pertama, yang menuntut agar Orang Rimba dikonservasi sedemikian rupa melalui perlakuan yang apa adanya, dan tidak boleh dilakukan perubahan telah gagal total. Betapa tidak, bentang alam hutan tropis sebagai syarat mutlak bagi operasionalisasi seluruh sistem dan tata nilai Orang Rimba sebagai masyarakat berburu dan meramu yang bersifat nomaen telah berubah menjadi lahan – lahan perkebunan, hutan tanaman, areal – areal perkampungan bahkan menjadi berbagai areal untuk berbagai kepentingan lainnya. Bagaimana bisa Orang Rimba memungut rotan dan jernang, serta berburu babi dan rusa bila tegakan yang ditemui sepanjang mata memandang adalah tegakan sawit, akasia dan tegakan monokultur lainnya. Bagaimana pula Orang Rimba akan bisa melangun dalam kurun waktu tertentu, sehingga tidak akan bertemu dengan kelompok Orang Rimba lainnya bila kenyataannya hutan alam mereka telah menipis bahkan habis ?
Tidak ada pilihan yang lebih tepat, selain mengajak saudara-saudara kita Orang Rimba untuk berubah dan melanjutkan kehidupannya dengan pola – pola kehidupan sosial bidaya yang lebih maju. Disamping tentu saja sesuai dengan perubahan ekosistem hutan tropis yang kini sudah semakin sedikit tersisa bentang hutan alamnya. Upaya tersebut adalah dengan memperkenalkan kultur pertanian menetap sekaligus perkebunan yang sesungguhnya juga telah menjadi mata pencaharian komunitas lokal setempat, khususnya para petani desa hutan di Jambi. Seperti bertanam padi, jagung atau umbi-umbian. Disertai dengan pengembangan budidaya karet.
Termasuk tentu saja membangun databased kependudukan sebagai salah satu prasyarat utama agar Orang Rimba bisa mengakses berbagai program yang akan mampu meningkatkan kualitas kehidupannya. Seperti program kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Bayangkan, bagaimana Orang Rimba bisa memperoleh akses ata spelayanan kesehatan dan pendidikan bila mereka tidak memiliki databased kependudukan sebagai pintu masuk untuk membuka kunci akses berbagai program sosial di atas. Tatkala Orang Rimba tidak memiliki data kependudukan –KTP- maka sama artinya ia bukan penduduk wilayah manapun. Dan, atas alasan pendekatan legal formal tersebut, negara bahkan bisa mengatakan bahwa mereka tidak bisa melindungi bahkan mengakui Orang Rimba sebagai warga mereka. Quo vadis ?
Merangkul Orang Rimba
Tidak terbantahkan. Sejalan dengan pesatnya dinamika pembangunan dan perubahan sosial, komunitas Orang Rimba termasuk salah satu kelompok masyarakat yang paling rentan dan perlu mendapatkan perhatian lebih dibandingkan dengan komunitas lain di Jambi khususnya. Di Indonesia umumnya. Presiden Jokowi bahkan secara serius menunjukkan komitmennya dengan menemui sebagian kelompok perwakilan orang Rimba di wilayah kabupaten Sarolangun pada tahun 2015 yang lalu.
Demikianlah, dalam studi sosial Wana Aksara (2015) di areal konsesi PT. Lestari Asri Jaya (PT. LAJ), sebuah perusahaan pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) yang beroperasi berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No. 141/Menhut-II/2010 dengan luas areal ± 61.495 Ha yang berlokasi di Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi, diketahui bahwa terdapat tiga komunitas Orang Rimba yang menetap di kawasan lindung (konservasi) areal konsesi PT. LAJ. Ketiganya yaitu, Tumenggung Buyung (32 jiwa),Tumenggung Hasan (56 jiwa), dan Tumenggung Bujang Kabut (29 jiwa).
Berdasarkan studi di atas, untuk mewujudkan komitmen perusahaan dalam mewujudkan sebuah pembangunan hutan tanaman karet berkelanjutan yang menerapkan prinsip-prinsip kelestarian fungsi produksi (Profit), keberlanjutan fungsi lingkungan (Planet) dan keberterimaan fungsi sosial (People), direkomendasikan tiga prioritas payung program CSR. Ketiga payung program prioritas tersebut diharapkan akan membantu mendorong peningkatan kualitas kehidupan komunitas Orang Rimba. Ketiganya meliputi, (1) program pendidikan, (2) program kesehatan, dan (3) program pemenuhan kebutuhan dasar kehidupan.
Kerjasama tidak mungkin dibangun tanpa landasan sikap saling percaya. Dalam konteks membangun fondasi relasi dan interaksi yang lebih kuat terhadap komitmen perusahaan dalam upaya peningkatan pemenuhan kebutuhan dasar kehidupan Orang Rimba, pada tahun 2019 perusahaan bersama dengan Orang Rimba membuat sebuah kesepakatan bernama “Lampit Badewo”. Lampit Badewo merupakan simbol duduk di alas yang sama dengan posisi setara (equal) dalam ritual kesepahaman yang dilakukan. Kegiatan ini disimbolkan dengan penyerahan gulungan tikar (lampit) dari kelompok Orang Rimba kepada pihak perusahaan pemegang izin konsesi, yaitu PT. LAJ. Harapannya, kedua belah pihak bersama-sama bersinergi membangun penghidupan komunitas Orang rimba yang lebih baik dan membangun Hutan Tanaman Industri (HTI) yang berkelanjutan dan dapat diterima secara sosial budaya. Kegiatan ini memperoleh dukungan dari pemangku kepentingan, antara lain KPHP Tebo Barat, Pemerintah Desa setempat, Pokja SAD Tim Resolsui Konflik, KKI WARSI (LSM), dan seluruh masyarakat Orang Rimba.
Selanjutnya, agar program kesehatan bisa dilakukan secara lebih intens, terencana dan kontinu maka pada pada tahun yang sama, yaitu 2019, perusahaan bekerjasama dengan Puskesmas setempat menyepakati kerjasama kemitraan guna mendukung program pelayanan kesehatan kepada komunitas Orang Rimba. Kerjasama ini dituangkan dalam sebuah nota perjanjian kersama (MoU) yang disaksikan oleh Kepala KPHP Tebo Barat dan Pemerintah Daerah.
Untuk merealisasikan berbagai kesepakatan di atas, perusahaan bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Tebo, Puskesmas, dan Tim Resolusi Konflik PT. LAJ yang telah dibentuk Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, khususnya melalui Kelompok Kerja (Pokja) Suku Anak Dalam menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan gratis secara berkala dan kontinu untuk Orang Rimba. Pelayanan kesehatan yang diberikan berupa imunisasi, pemeriksanaan bayi dan ibu hamil, pemeriksaan dan pengobatan gratis, serta penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Sementara untuk merealisasi program pendidikan, dilakukan melalui pembagian buku-buku bacaan kepada anak-anak komunitas Orang Rimba.
Selanjutnya, dalam upaya mengembangkan ketercukupan pangan Orang Rimba sekaligus dalam upaya memperkenalkan sistem budidaya (domestikasi), baik tanaman pangan maupun perikanan. telah dibangun demplot pertanian terpadu (dengan perikanan) untuk menjadi proses belajar bagi komunitas Orang Rimba. Kemampuan budidaya tanaman dan perikanan maupun hewan ternak diharapkan akan mampu merubah secara perlahan dan bertahap pola hidup nomaden Orang Rimba.
Sebagai catatan penutup, tentulah berbagai komitmen di atas baru menjadi sebuah awalan. Jelas harus ditindaklanjuti dengan pembuktian komitmen dengan kerja-kerja lapangan yang jelas dan konkrit serta dalam periode jangka panjang sebagaimana periode masa konsesi perusahaan. Pekerjaan merubah aspek sosio – kultural Orang Rimba jelas bukan pekerjaan mudah. Apalagi sederhana. Termasuk tidak bisa berharap hal itu bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Faktor lain yang patut dicermati adalah bahwa PT. LAJ yang tak lain merupakan sebuah entitas bisnis, seringkali akan lebih didominasi oleh kepentingan ekonomi profit. Bukan kepentingan lingkungan apalagi sosial.
Namun, melihat komitmen dan intensitas kerja bersama para pemangku kepentingan di tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi yang terefleksi dalam berbagai kerja bersama di lapangan, yang sama sekali berbeda pendekatannya dengan entitas bisnis lain, jelas menjadi sebuah harapan akan terbangunnya sebuah modal sosial (Social capital) yang kuat. Setidaknya, pilihan paradigma pembangunan yang dijalankan perusahaan adalah pendekatan antropologi pembangunan, yang tidak sudi membiarkan komunitas Orang Rimba tetap tidak berubah dengan sistem dan tata nilai berburu meramunya yang berarti sama sekali tidak mengalami kemajuan. Dengan merangkul Orang Rimba, hal Itu merupakan sebuah pilihan terbaik secara sosio kultural bagi perusahaan untuk menyelesaikan potensi konflik yang mereka hadapi dengan maju dan sejahtera bersama. Tentu dalam bingkai kesepakatan dan kepercayaan.*****