Dr. Ir. Bambang Hendroyono MM – Sekretaris Jenderal, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI
— Indonesia adalah zamrud khatulistiwa. Sebuah negeri kepulauan dengan kelimpahan sumberdaya alam yang terdiri atas 17.504 buah pulau besar dan kecil. Indonesia merupakan pemilik hutan tropis terbesar ketiga dunia dengan potensi megabiodiversity-nya. Indonesia juga dikenal sebagai negara besar, berpenduduk terbesar keempat dunia dengan keberagaman sosial budaya komunitas. Indonesia memiliki tak kurang dari 300 suku bangsa dan 742 bahasa beserta dialeknya.
Sesuai amanat konstitusi, hutan dikelola bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal itu sesuai fakta historis kultural bahwa masyarakat sejak berabad – abad lamanya telah menjadikan hutan sebagai bagian dari sumber peradabannya. Mulai dari masyarakat berburu meramu, berladang berpindah, bertani menetap hingga masyarakat industri. Bahkan masyarakat post industry dengan problema hari ini berupa pemanasan global dan perubahan iklim. Seluruhnya tak bisa lepas dari keberadaan dan peran sumber daya hutan.
Secara sosiologis, masyarakat merupakan bagian integral dari ekosistem sumberdaya hutan dengan segenap sistem tata nilainya. Hutan telah membantu mendorong terbangunnya kelembagaan sosial masyarakat. Berikut etika, norma beserta seluruh adat istiadatnya yang kemudian berkembang menjadi perangkat hukum adat. Seluruhnya menopang harmonisasi kehidupan masyarakatnya.
Terakhir, secara yuridis keberadaan masyarakat desa hutan diakui dan dilindungi hak – hak penguasaan dan pengelolaannya atas sumberdaya hutan. Dari dulu hingga saat ini. Baik dalam perspektif hukum adat maupun hukum positip formal. Mulai dari sumber hukum tertinggi setingkat konstitusi, hingga perundang-undangan sebagai peraturan turunan di bawahnya.
Dialektika yang berkembang hari ini, apakah visi hutan lestari masyarakat sejahtera sudah paripurna. Tercapai seutuhnya sebagaimana amanat konstitusi ? Lebih jauh, banyak gugatan atas potret kehutanan hari ini yang tengah didera berbagai permasalahan berat dan kompleks. Dialektika sekaligus potret hutan dan kehutanan dewasa ini menuntut kehadiran Negara yang mewujud dalam sosok pemimpin beserta aspek kepemimpinan. Yang benar-benar akan mampu menggerakkan semua komponen lembaga dan organisasi kehutanan guna mengatasi dan menanggulangi beragam permasalahan kronis yang melanda.
Dialektika Dinamika Kepemimpinan Kehutanan
Sejarah pengurusan, pemanfaatan dan pengelolaan hutan di Indonesia dari waktu ke waktu mengalami dinamika sejalan dengan perkembangan peradaban. Mulai dari zaman pra sejarah, era kerajaan nusantara, era kolonialisme, era pra kemerdekaan, hingga pasca kemerdekaan RI. Dalam sejarah kontemporer, pengelolaan hutan mengalami fluktuasi turun naik sesuai dengan perjalanan setiap rezim pemerintahan dan peran sentral kepemimpinannya.
Kepemimpinan, tak terkecuali kepemimpinan kehutanan mengalami dinamika sesuai perkembangan paradigma yang dianut masing – masing rezim pemerintahan. Apapun paradigma dan konsep yang dianut, sebuah pembelajaran penting yang tak terbantahkan adalah bahwa pemimpin wajib berubah. Menyesuaikan dengan dinamika dan tuntutan perkembangan zaman. Dalam konteks itu, penting memahami perkembangan dan perubahan kepemimpinan kehutanan dari masa ke masa. Hari ini, kepemimpinan kehutanan harus berani berubah. Bahkan menjadi pelopor perubahan secara menyeluruh.
Gagasan perubahan total dalam bentuk revolusi mental kepemimpinan kehutanan konvensional, yang semula berbasis pada karakter kepemimpinan transaksional sudah tidak mungkin diterapkan di era kehutanan milenial hari ini. Bahkan lebih dari itu, kepemimpin bertipe transformasional pun sudah out of date. Tidak sesuai lagi dengan kompleksitas dan beratnya persoalan-persoalan kehutanan hari ini. Keduanya harus berubah mewujud menjadi model kepemipinan transglobal. Sebuah tipe kepemimpinan yang memiliki pengaruh universal dan melintasi batas kemanusiaan, budaya serta negara.
Untuk menjelma menjadi seorang pemimpin transglobal, seseorang harus memiliki 6 kecerdasan intelegensia sehingga bukan saja akan mampu memetakan beragam persoalan. Namun juga mampu menetapkan pendekatan penyelesaiannya. Sharkey (2012) menyatakan bahwa keenam jenis kecerdasan tersebut meliputi kecerdasan kognitif (Cognitive intelligence), kecerdasan moral (Moral Intellegence), kecerdasan emosional (Emotional Intellegence), kecerdasan budaya (Cultural Intellegence), kecerdasan bisnis (Bussiness Intellegence) dan global intelegensia (Global Intellegence).
Kecerdasan tanpa dukungan keteladanan perilaku kepemimpinan yang prima tidak akan mampu menghasilkan penyelesaian persoalan secara tuntas dan permanen. Karena itu, selain didukung kecerdasan, pemimpin transglobal juga harus memiliki lima karakter perilaku. Kelima perilaku tersebut mencerminkan (1) Ketahanan terhadap ketidakpastian (Uncertainty Resilience), (2) Konektivitas tim (Team Connectivity), (3) Fleksibilitas pragmatis (Pragmatic Flexibility), (4) Responsivitas perspektif (Perspective Responsiveness) serta (5) )Orientasi bakat (Talent Orientation) (Ibid).
Sejalan dengan gerakan reformasi dan dinamika globalisasi dewasa ini yang menuntut perubahan penyesuaian, diperlukan perubahan kepemimpinan di segala sektor dan tingkatan organisasi. Tak terkecuali di sektor kehutanan. Harapannya agar menjadi lebih responsif dan kolaboratif terhadap perubahan sehingga tetap adaptif bahkan terus berkembang. Penuh inovatif dalam bentuk langkah-langkah terobosan yang out of the box sehingga sangat kompetitif dalam ketatnya persaingan global. Pada akhirnya kepemimpinan akan menjadi jauh lebih produktif.
Pemimpin Transglobal di Tingkat Tapak
Di negara yang masih kuat menganut paham paternalistik seperti Indonesia, faktor kepemimpinan menjadi sebuah keniscayaan. Ketika sistem interaksi komunitas masih didominasi hubungan patron klien antara pemimpin dan massa pendukungnya, maka aspek kepemimpinan menjadi sangat dominan sebagai faktor penentu keberhasilan capaian visi dan misi organisasi. Dalam konteks kehutanan, kepemimpinan transglobal adalah sebuah terobosan baru yang out of the box. Ia diyakini akan menjadi kunci keberhasilan pembangunan kehutanan ke depan.
Setidaknya terdapat lima rasionalitas mengapa kepemimpinan transglobal menjadi kunci keberhasilan pembangunan kehutanan masa depan. Kelima rasionalitas di atas mewujud pada kepemimpinan yang mampu meningkatkan produktivitas hutan. Melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat dan reformasi tata kelola hutan yang baik yang sepenuhnya didukung oleh pasrtisipasi masyarakat.
Adalah fakta. Persoalan kehutanan memang ada di tingkat tapak. Sumbernya salah satunya adalah kemiskinan masyarakat desa hutan. Sudah saatnya para rimbawan terjun ke lapangan. Berinteraksi secara intens bersama masyarakat di akar rumput membangun hutan. Membangun dari desa dan wilayah pinggiran guna mewujudkan hutan lestari dan rakyat sejahtera melalui instrumen reforma agraria dan perhutanan sosial. Baik dalam bentuk Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Adat hingga Kemitraan Kehutanan.
Pemimpin transglobal kehutanan harus mewujudkan jalan ideologis menuju kedaulatan politik bersama masyarakat. Sekaligus mewujudkan kemandirian ekonomi dengan memberdayakan masyarakat (Jokowi. 2014). Capaian dalam konteks kehutanan bisa berujud kedaulatan air, ketahanan pangan serta ketahanan energi. Termasuk indutri manufaktur hasil hutan kayu dan non kayu. Sekali lagi, hutan sumber kehidupan bukan ilusi. Hutan sumber kemakmuran juga bukan asumsi. Semua riil sebagai perwujudan amanat konstitusi.
Menebar Benih Pemimpin Transglobal Kehutanan
Ditengah pesatnya tuntutan kompetisi di era global, disadari sepenuhnya akan pentingnya peningkatan SDM kehutanan ke depan untuk Indonesia maju. Hal ini sejalan dengan komitmen Presiden Joko Widodo di periode kedua kepemimpinannya yang mengedepankan pembangunan SDM unggul di era kesejagatan. Sudah saatnya semua pihak menyemai benih kader-kader kepemimpinan transglobal di dunia kampus kehutanan di berbagai wilayah di Indonesia.
Pentingnya aktualisasi dan internalisasi nilai-nilai kepemimpinan transglobal dalam mendukung keberhasilan pembangunan kehutanan menjadi sebuah prioritas yang sangat mendesak. Baik SDM kehutanan untuk mengisi formasi jabatan di lingkup pemerintah di pusat maupun di daerah. Termasuk pemenuhan SDM di kalangan dunia usaha, asosiasi, konsultan, praktisi, maupun SDM kehutanan lainnya.
Dalam konteks tersebut, diperlukan sebuah konsep dasar sekaligus rancang bangun kepemimpinan transglobal di sektor kehutanan. Pada tataran berikutnya perlu strategi pengembangan sistem dan nilai kepemimpinan transglobal melalui mekanisme pendidikan dan pelatihan yang efektif dan optimal. Termasuk mekanisme monitoring dan evaluasinya secara berkelanjutan.
Disinilah pentingnya peran perguruan tinggi. Dunia kampus tempat penggemblengan kader-kader rimbawan muda. Dunia akademik cikal bakal dialektika intelektual rimbawan ideal. Karena itu, kepedulian sekaligus komitmen semua pihak untuk mengusung pentingnya upaya pengembangan SDM, termasuk SDM kehutanan unggul melalui jalur pendidikan dan pelatihan sungguh patut didukung.
Selain dunia kampus, lembaga pelatihan juga perlu memperoleh perhatian khusus.
Pelatihan berbeda dengan pendidikan dari sisi waktu maupun materi yang diberikan. Pelatihan memberikan materi yang bersifat lebih khusus (spesifik) dalam jangka waktu yang lebih pendek (short term). Metode pendekatan pembelajaran pada pelatihan juga lebih bersifat inconvensional dengan beragam teknik. Perbedaan lain, pendidikan menghasilkan gelar (degree) sementara pelatihan memberikan tak lebih dari sertifikat (non degree). Intinya, pelatihan dan pendidikan sama pentingnya. Melalui pendidikan dan pelatihan kepemimpinan diharapkan akan menghasilkan kader-kader pemimpin transglobal yang akan meningkatkan performa setiap rimbawan. Dimanapun, kapankun dan siapapun. Tanpa kecuali.
Disadari sepenuhnya sebagai sebuah negara dengan kultur kepemimpinan yang kuat, keberhasilan pembangunan kehutanan akan sangat dipengaruhi faktor kepemimpinan. Peran sentral pemimpin mewujudkan visi misi organisasi yang didukung penuh partisipasi publik adalah sebuah keniscayaan. Dalam semangat reformasi birokrasi menuju tata kelola kehutanan yang baik. Demi terwujudnya TRISAKTI dan NAWACITA. Dalam konteks kehutanan hal itu tercermin dari kedaulatan politik kehutanan, kemandirian ekonomi berbasis manfaat sumber daya hutan berkelanjutan, serta tradisi nilai-nilai kearifan yang berkebudayaan. Ketiganya dalam bingkai Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera.
Sebagai pamungkas, pada hakekatnya pemimpin transglobal adalah tipe kepemimpinan yang ditandai dengan kerja, kerja, dan kerja. Dalam konteks kehutanan, kepemimpinan transglobal mewujud pada kepemimpinan di tingkat tapak yang secara nyata mampu meningkatkan produktivitas hutan melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat dan reformasi tata kelola hutan yang baik. Target akhirnya adalah tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui program-program kehutanan yang aplikatif, terukur dan membumi. ***
Tulisan ini merupakan ringkasan buku dengan judul yang sama, yang akan diluncurkan 30 September 2019
Dgn ke enam KECERDASAN akan Mengantar HUTAN DAN KEHUTANAN MENJADI SEKTOR YG AKAN MEMBAWA KEMAKMURAN DAN KEJAYAAN BERKELANJUTAN UNTUK INDONESIA
Aamiin3 YRA
Buku bagus, untuk memberikan arahan pembangunan LHK di tingkat tapak, minimal 5 tahun kedepan. Yang lebih penting implementasinya di tingkat tapak o/ KPH2 yang sudah ada lembaganya saat ini.
This is one of other opini,… and very wise statement related to sustainable forest management and forestry, besides that foresters must be strong mentality to develop the whole forest and indonesian forestry