Diah Y. Suradiredja – Ketua Harian Dewan Kehutanan Nasional, Periode 2006 – 2012
— Dalam minggu ini, publik terutama pemerhati lingkungan dikagetkan dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution yang mengungkapkan beberapa pengusaha mebel kayu dan rotan mengusulkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) tidak diberlakukan untuk produk yang akan diekspor ke negara yang tidak meminta verifikasi. Sebuah kebijakan yang akan diambil tanpa melihat pada perjuangan Indonesia untuk keluar dari stigma sebagai negara yang buruk dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Sejarah panjang bagi Indonesia, saat di stigmakan sebagai Negara yang tidak perduli dengan kelestarian hutan. Pembalakan Haram! Illegal Logging (IL), yang mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan, berdampak pada terjadinya ‘boikot’ terhadap produk-produk perkayuan yang diperdagangkan.
Menengok ke Sejarah Tahun 1992, sejak Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, berbagai kampanye keras ditujukan ke Indonesia untuk menangani IL dengan pengelolaan hutan lestari. Berbagai lembaga penggiat lingkungan menyuarakan dan memperjuangkan konsep pembangunan berkelanjutan yang berlandaskan pada upaya pembangunan ekonomi, dengan tetap memperhatikan kepentingan sosial dan perlindungan ekosistem.
Sepuluh tahun kemudian, Pemerintah Indonesia menyuarakan komitmentnya melalui Deklarasi Bali pada Tahun 2002. Secara tegas Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyatakan bahwa Pemberantasan IL dilakukan dengan kerangka FLEG (Forest, Law Enforcement and Governance). Aksi awal dilakukan melalui berbagai kerjasama bilateral pemberantasan IL dengan negara-negara konsumen seperti Inggris, Amerika Serikat, Jepang dan Cina.
Aksi FLEG yang dilakukan Indonesia juga mendapat perhatian dari negara-negara konsumen melalui berbagai aksi seperti Goho-wood Jepang (2006), amandemen Lacey Act AS (2008), perjanjian kemitraan sukarela (Voluntary Partnership Agreement-VPA) – FLEGT (Forest Law Enforcement Governance and Trade), Uni Eropa (2003), serta ILPA-Illegal Logging Prohibition Act, Australia (2012).
Tidak cukup dengan berbagai kerjasama bilateral, pada tahun 2003, Pemerintah (Kementerian Kehutanan) bersama para pihak (multistakeholder) memulai pembangunan sistem sertifikasi hutan dan penjaminan legalitas kayu Indonesia. Program Kehutanan Multipihak, merupakan pendekatan lunak – soft approach pemberantasan IL melalui perbaikan tata kelola (governance), sebagai pelengkap terhadap pemberantasan IL melalui penegakan hukum (hard approach) yang sudah dilaksanakan sebelumnya.
Pembahasan panjang dilalui bersama semua pihak, dan merupakan satu-satunya kebijakan Pemerintah yang melalui pembahasan panjang dengan berbagai dinamikanya. SVLK dilahirkan sebagai sebuah sistem yang memastikan penjaminan legalitas kayu Indonesia yang dikelola dari hutan lestari. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009, tentang SVLK didasarkan pada 3 prinsip; yaitu : tata kelola (governance), keterwakilan (representativeness) dan keterbukaan (transparency).
Membangun Sistem, Membenahi Moral
Tidak benar jika SVLK dianggap “pesanan asing”. Sejak awal, SVLK adalah sebuah pendekatan untuk menegakkan good forestry governance, yang dibangun ditengah-tengah kerisauan akan buruknya sistem tata-usaha kayu yang berasal dari kawasan hutan negara di pasar kayu baik yang berorientasi ekspor maupun domestik. Sebagai bagian dari penegakan good forestry governance, maka asumsinya terdapat sejumlah persoalan terhadap pengelolaan tata-usaha kayu yang diperdagangkan, dimana terdapat bad governance di setiap sisi yang perlu diperbaiki.
Persoalan carut marut dari hulu ke hilir terpetakan oleh semua pihak. Empat ranah yang parah dan menjadi area aksi pembenahan adalah (1) Proses dan Dokumen Perijinan, mulai dari tingkat tapak sampai dengan konsumen akhir; (2) Koordinasi dan hubungan kelembagaan terkait dengan data rekonsiliasi kayu yang dibalak sampai pajak negara yang harus dibayar; fungsi control kelembagaan : siapa mengontrol LS/ auditor/Pemantau dan apakah mekanisme, prosedur dan tools nya tersedia dan berfungsi; (3) Complain mechanism, sebagai instrument tanggung-gugat dalam sistem yang terpadu; dan (4) Transparansi data dan informasi sector kehutanan, perdagangan, perindustrian dan bea cukai.
Untuk menjamin independensi dan akuntabilitas, maka verifikasi dilakukan oleh lembaga independen yaitu Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LV-LK) yang terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).
Sistem ini juga membangun Mekanisme Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan. LSM di bidang kehutanan dan masyarakat yang berdomisili di sekitar lokasi unit manajemen yang diverifikasi menjadi lembaga pemantau independen (LPI). LPI tersebut dapat mengajukan keberatan kepada pihak-pihak yang ditunjuk dalam penyelesaian keberatan (LP-VI, KAN dan Kementerian Kehutanan).
Sistem SVLK ini juga mengembangkan system insentif bagi unit manajemen antara lain berupa pembebasan dari kewajiban SVLK apabila unit manajemen tersebut telah memperoleh sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan untuk penilaian periode awal verifikasi akan didanai oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pembenahan Hulu Hilir Pada awal sistem dibangun, bad governance yang terindikasi ”hanya” terjadi di kawasan hutan negara yang ditandai dengan maraknya IL, namun ternyata legalitas kayu-kayu yang berasal dari negara lain yang masuk ke Indonesia juga memiliki persoalan tersendiri. Bahkan hutan hak, yang pada dasarnya merupakan kayu yang paling sah di sisi hukum, paling tidak kayu yang berasal dari hutan hak di Pulau Jawa.
Perkembangan lalu lintas peredaran kayu dan produk perkayuan di dalam negeri termasuk yang berasal dari impor sangat kompleks. Untuk memastikan agar semua rantai produksi, peredaran dan perdagangan memiliki status legal, sehingga tidak ada kekhawatiran akan status legal dari produk-produk yang dihasilkan, maka SVLK diberlakukan dari hulu ke hilir. Selain itu, SVLK tidak hanya terkait bahan baku legal ‘saja’, melainkan ‘usahanya’ juga harus legal ‘sesuai dengan aturan yang berlaku’; dalam rangka mewujudkan good forestry governance.
Dari keseluruhan rantai pasok, Industri Kecil dan Menengah (IKM) memiliki peran penting, terutama industri skala rumah tangga yang keberadaannya ribuan di beberapa sentra produksi seperti Jepara dan Jogjakarta. SVLK melindungi mereka dengan kepastian usahanya. Sistem ini memaksa pemerintah daerah memberikan pelayanan yang cepat dan mudah pada prosesproses perijinan usaha kecil. Mereka “jemput bola” melalui didirikannya Klinik SVLK, agar terlepas dari jeratan mafia ijin yang lama melekat pada jaringan tata-niaga usaha mebel dan kayu.
Bahkan selain menyediakan dana untuk sertifikasi IKM dan Kelompok Sertifikasi usaha Rumah Tangga, Pemerintah mempermudah dengan Kebijakan Permenhut tentang Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP), yang meringankan IKM untuk memenuhi SVLK dan mereka bisa export dengan menggunakan Dokumen DKP.
Pengakuan Dunia terhadap SVLK Dalam kurun waktu 10 tahun, SVLK telah ‘meningkatkan daya saing product’ dari sisi legalitas, sehingga ‘dapat’ memenuhi ‘tuntutan legalitas’ yang diberlakukan oleh pasar. SVLK diposisikan sebagai ‘merek nasional’ produk perkayuan Indonesia. Dengan SVLK produk perkayuan Indonesia menempati posisi ‘baru’ sebagai ‘produk-produk legal’, yang diproduksi dari hutan yang dikelola secara lestari.
Sebagai ‘produk legal’ produk perkayuan Indonesia dapat memasuki ‘pasar-pasar regulated’ (pasar yang mempersyaratkan legalitas), tanpa perlu di due diligence. SVLK juga memasuki ‘pasar-pasar non regulated’ seperti Cina, negara-negara middle east, India dan sebagainya. SVLK telah mendapatkan pengakuan dari 2 pasar regulated, yaitu Australia dan Uni Eropa (UE). Pengakuan Australia terhadap SVLK berarti produk perkayuan Indonesia dapat memenuhi pemberlakuan ILPA (Illegal Logging Prohibition Act) oleh Australia sejak 2014; sehingga produk perkayuan Indonesia yang diekspor ke Australia tak perlu di due diligence lagi.
UE memberikan pengakuan terhadap SVLK melalui pemberian hak penerbitan Lisensi FLEGT sejak 15 Nopember 2016. Dengan lisensi FLEGT, pemberlakuan European Union Timber Regulation yang mewajibkan importir UE melakukan due diligence terhadap kayu dan produk kayu yang masuk ke UE, tidak berlaku bagi produk perkayuan Indonesia. Produk perkayuan Indonesia dapat memasuki pasar 28 negara anggota UE tanpa perlu di due diligence. Sampai saat ini, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang sudah mendapatkan lisensi FLEGT dari UE, diantara 15 negara yang mengikat perjanjian dalam konteks FLEGT-VPA untuk mendapatkan lisensi. Dengan keluarnya Inggris dari UE, Inggris tetap memberikan pengakuan terhadap SVLK, melalui penandatanganan perjanjian kerjasama FLEGT-VPA Indonesia-Inggris, Maret 2019
Selain Australia dan UE, Jepang juga memberlakukan Gohowood 2006, namun kerjasama Indonesia-Jepang melalui penandatanganan kesepakatan dalam perdagangan kayu belum ada karena implementasi aksi Jepang lebih diserahkan pada business to business. Amerika Serikat (AS) juga memberlakukan Amandemen Lacey Act tahun 2008; namun ketika Indonesia mengajak AS bekerjasama dalam implementasinya, atase perdagangan AS yang ada di Jakarta mengatakan bahwa implementasinya lebih diserahkan kepada business to business, tidak pada perjanjian antara negara.
Berbagai tantangan di lapangan terus direspon dengan melakukan berbagai penyesuaian; antara lain: (1) penciptaan alternatif untuk sertifikasi secara kelompok bagi pelaku usaha kecil dan masyarakat; (2) penyediaan anggaran untuk sertifikasi secara kelompok, baik yang berasal dari APBN Kementerian LHK, Kementerian Perindustrian, CSR perusahaan serta pihak ketiga; (3) mendisain standar berdasarkan peraturan yang berlaku untuk masing-masing kategori usaha sehingga industri kecil tidak disamakan dengan industri besar; (4) membuka kesempatan untuk pembuktian dokumen angkutan kayu yang lebih mudah dengan DKP (Deklarasi Kesesuaian Pemasok); dan (4) memperluas cakupan norma penilaian agar lebih mudah dipenuhi. SVLK telah memposisikan Indonesia advance dalam penanganan IL, sehingga dalam berbagai forum internasional mampu tampil percaya diri sebagai Negara yang komit dalam menjaga kelestarian hutan.
Peluang vs Pembenahan Saat ini Pemerintah membahas tengah mengupayakan peningkatan ekspor permebelan, industri rotan dan kayu di tengah terbukanya peluang akibat imbas dari perang dagang Tiongkok- Amerika Serikat. Bank Dunia melaporkan bahwa industri mebel produk kayu dan rotan memiliki peluang masuk untuk mengisi pasar-pasar yang ditinggalkan.
Walau sebenarnya, tanpa kondisi inipun, ekspor industri furnitur Indonesia terus
memperlihatkan trend peningkatan yang positif. Data Kementerian Perindustrian
memperlihatkan trend tersebut: Tahun 2016 US$ 1,60 miliar; tahun 2017 US$ 1,63 miliar; dan tahun 2018 naik sebesar 4%, menjadi US$ 1,69 miliar atau setara dengan Rp 24 triliun
Ekspor furnitur pada 2019 diprediksi tumbuh di kisaran 10% sampai 15% tahun ini.
Pertumbuhan itu salah satunya disebabkan oleh meningkatnya permintaan pasar Amerika Serikat (AS) seiring bergulirnya perang dagang. Ketua Indonesia Furniture Promotion Forum (IFPF) Erie Sasmito mengatakan dengan pertumbuhan ekspor 10%-15%, secara nilai, ekspor furnitur tahun ini diperkirakan mencapai
US$ 1,8 miliar – US$ 2 miliar.
Penguatan bukan Pelemahan Pengurus Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) Bidang Pemasaran dan Hubungan Internasional Gunawan Salim mengatakan penyederhanaan dengan tidak diberlakukannya mandatori SVLK ke negara yang tidak meminta verifikasi, sangat membantu industri kecil dan menengah.
Usulan pelaku usaha mebel kayu dan rotan dalam rapat terbatas bertopik “Peningkatan Ekspor Permebelan, Rotan dan Kayu”, pada Tanggal 10 September 2019, untuk menghapus SVLK pada IKM dan tidak diberlakukan bagi produk ke negara yang tidak memberlakukan verifikasi kayu, sangatlah tidak tepat.
Beberapa pelaku usaha mebel kayu dan rotan mengeluhkan kepada Presiden terkait sulitnya perizinan dan produk yang terkena pajak, dan pembiayaan, terutama tingginya tingkat bunga pinjaman. Kesulitan tersebut dianggap sebagai kendala bagi eksport produk-produk tersebut. Ibarat “nila” persoalan tersebut terjadi hanya di beberapa pelaku usaha yang sejak awal tidak sepenuhnya berusaha di produk-produk berbasis kayu. Spekulan dan broker eksport sangat sulit terakomodasi dalam sistem SVLK, dan sulit dibenahi.
Dalam kurun 10 tahun, hambatan implementasi SVLK terutama bagi pelaku bisnis kecil dan menengah yang terkait pemenuhan standard legalitas dan biaya sertifikasi sepatutnya diatasi melalui bantuan pendampingan dan pembiayaan sertifikasi oleh pemerintah pusat bekerjasama dengan pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan lainnya sebagaimana yang telah bergulir hingga saat ini. Telah banyak investasi para pihak, waktu dan dana untuk mengajegkan sistem hulu hilir. Jika benar Pemerintah akan melakukan penghapusan tersebut, maka ibarat Nila setitik, rusak susu sebelanga!