Agung Nugraha – Direktur Eksekutif Wana Aksara
— Jagat politik nasional kembali heboh di minggu ketiga bulan September 2019. Adalah cover sebuah majalah berita mingguan yang mengundang pro – kontra. Di satu pihak, sampul itu dinilai wajar sebagai sebuah produk jurnalistik bernilai seni yang diakui dan dilindungi undang-undang. Sementara di kubu sebaliknya, tak kalah garang. Menyatakan bahwa cover itu refleksi penghinaan atas simbol negara : Presiden RI. Yang substansinya juga diatur UU.
Sebagai negara demokrasi pasca reformasi, yang memiliki kebebasan berpendapat atas jasa besar Alm. Presiden Habibie, rakyat pantas bangga dengan dialektika intelektual ini. Sembari berharap –pers- pilar keempat demokrasi tetap memiliki kekuatan menjaga kekuasaan yang selalu terbuka terhadap kritik. Bukan mengedepankan intervensi kekuasaan atas nama penegakan hukum. Karena sejatinya Indonesia adalah negara demokrasi keempat dunia. Yang diakui bahkan dirujuk masyarakat internasional dengan tata nilai adi luhungnya. Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Yang tak kalah menarik, tentu saja latar belakang sampul kontroversial tersebut. Mengkaji konten majalah berikut dialektika yang mewarnainya. Ternyata hal itu merujuk pada rasionalitas sikap dan keputusan Presiden Jokowi. Terkait Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Terdapat dua substansi. Pertama, keputusan Presiden meloloskan sepuluh nama Capim KPK periode 2019-2023, yang –beberapa diantaranya- oleh kalangan pegiat anti korupsi dan masyarakat sipil lainnya dinilai “bermasalah.” Kedua, keputusan Presiden yang menyetujui usulan DPR terkait revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Keduanya, menurut para pegiat anti korupsi dianggap melemahkan KPK. Bahkan berpotensi akan “mengakhiri” riwayat lembaga anti rasuah yang merupakan “anak kandung” reformasi 1998.
KPK : Kepentingan Politik Kerakyatan
Dalam politik, terdapat sebuah adagium yang dipahami sebagai hukum. Bahwa, dalam dunia politik hanya kepentinganlah yang mampu menyatukan para pihak dalam sebuah kebersamaan. Siapapun, kapanpun dan dimanapun. Tidak peduli betapa besar dan nyata perbedaan, bahkan pertentangan ideologinya. Sepanjang kepentingannya beririsan, kebersamaan atau koalisi adalah sebuah keniscayaan. Tidak terbantahkan.
Barangkali, konsep diatas bisa digunakan untuk menyimak gonjang-ganjing KPK hari ini. Bagaimana hikayat hubungan politik KPK dengan Presiden, DPR dan partai politik. Ya, melihat fenomena adagium politik di atas, tampaknya tercermin dari potret perbandingan interaksi Presiden Jokowi dengan KPK pada awal masa pemerintahan periode pertama. Selanjutnya, dengan interaksi yang sama periode kedua pemerintahannya.
Relasi Presiden Jokowi dan KPK di periode pertama, Jokowi sungguh cerdas dan taktis. Ia mampu memanfaatkan keberadaan KPK untuk membantu penguatan posisi politiknya yang saat itu dianggap “hanyalah petugas partai.” Belum lagi lemahnya dukungan parlemen yang kala itu dikuasai sepenuhnya oleh kubu oposisi. Mereka berhasil menyapu bersih hampir seluruh jabatan strategis DPR dan MPR RI. Sedikit banyak, Jokowi “tersandera” karena kuatnya kewenangan parlemen dalam hal kontrol, budget dan legislasi.
Dengan potret posisi politik di atas, betapa Jokowi sangat “piawai” memainkan kartu truf KPK sebagai lembaga yang sangat kredibel di mata publik dan masyarakat Indoesia. Ditambah dengan dukungan beberapa tokoh bahkan guru bangsa saat itu -yang berdiri di belakang Jokowi- membuat Jokowi “mampu” dan “berani” membuat keputusan-keputusan terobosan. Out of the Box. Mencerminkan perwujudan sistem tata negara presidensial, yang selama ini tersandera oleh sistem parlementer.
Ya, Presiden Jokowi adalah eksekutif tertinggi yang tidak bisa didikte siapapun. Tentu saja sepanjang untuk kepentingan rakyat. Karenanya, KPK bukan hanya sekedar akronim lembaga yang diharapkan mampu memberantas salah satu virus dan penyakit yang mengancam kemajuan dan keberlanjutan semua bangsa di dunia. Korupsi. Karena independensi dan kredibilitas KPK beyond semua institusi konvensional negara pra reformasi yang diharapkan mampu mendorong terwujudnya pemerintahan yang bersih. Akronim KPK bisa bermakna Kepentingan Politik Kerakyatan. Bagaimanapun, vox populi vox dei. Suara rakyat adalah refleksi kehendak Sang Khalik yang harus diperjuangkan dan ditegakkan.
Di periode pertama kepemimpinannya, Jokowi berhasil membuktikan dirinya sebagai seorang eksekutif sejati. Itulah hebatnya. Bagaimanapun, meminjam istilah Fachry Ali (2019), Jokowi hanyalah seorang Presiden Pasca Elite. Artinya, bukan dari kalangan elite. Baik elit parpol, DPR, pengusaha besar atau titisan darah biru dinasti politik. Bukan satupun.
Jokowi tak lebih dari rakyat biasa. Hanya seorang tukang kayu. Pengusaha meubel. Yang kemudian mampu bertransformasi menjadi seorang pemimpin dengan kinerja kepemimpinan yang merakyat. Sukses membangun wilayah dan merubah mentalitas warganya. Merangkak dari Walikota Solo, Gubernur DKI dan akhirnya menjadi orang nomor satu di nusantara : Presiden RI. Buah kepercayaan rakyat Indonesia melalui Pilpres secara langsung.
Pertanyaannya, bagaimana dengan awal periode kedua kepemimpinan Jokowi ? Jujur. Tak kalah gaduh. Namun kegaduhan kali ini nuansanya berbeda. KPK bukan lagi menjadi koalisi yang mendukung penguatan posisi politik sang presiden. Hari ini Jokowi didukung penuh parlemen. Plus memiliki barisan koalisi parpol berderet sebagai pendukungnya. Yang dari hari ke hari terus bertambah. Semua ingin merapat.
Konstelasi perubahan tersebut tampaknya memberikan konsekuensi yang berbeda pula. Bahkan, kini petanya justru berubah total. KPK –dan para pegiat anti korupsi dan masyarakat sipil- merasa “ditinggal” oleh keputusan Presiden Jokowi. Mereka merasa masa depan KPK kelabu. Berada dalam “ancaman”.
Politik koalisi terbangun karena terjalin kesamaan kepentingan. Hal itu melahirkan adagium politik berikutnya. Bahwa, dalam berpolitik “tidak ada makan siang gratis”. Semua ada kalkulasinya. Ada koalisi, tentu ada transaksi. Ujungnya, bisa jadi bagi – bagi konsesi. Dalam kondisi ini, secara psikologis kehadiran KPK ibarat salah “ruang dan waktu”. KPK bukan hanya tidak dibutuhkan. Namun bisa jadi justru sebagai faktor penghalang. Entahlah. Hanya rumput yang bergoyang yang bisa menjawabnya.
Kekhawatiran para aktivis anti korupsi sekaligus publik merujuk pada tidak ada lagi lembaga independen yang secara efektif akan mampu mengawasi bahkan mengawal praktek-praktek tata kelola pemerintahan yang baik. Salah satunya tercermin dari pemerintahan yang bersih dari KKN. Sesuatu yang 21 tahun lalu didobrak oleh semua elemen bangsa. Bahwa, karena bersifat luar biasa, dan tidak ada lembaga penegak hukum konvensional yang dinilai mampu, maka dilahirkanlah lembaga ad hoc sekelas KPK. Namun hari ini justru lembaga itu hendak dinafikan. Penyakit lama –korupsi- dikhawatirkan bisa kembali menggejala. Untuk kemudian menggurita. Menjauhkan negara dari visi dan amanat konstitusionalnya. Kemakmuran rakyat semesta.
Memang, dialektikanya menyatakan bahwa hal itu belum tentu benar. Namun keberadaan KPK yang memiliki pedang -super tajam dan tanpa pandang bulu- saja praktek korupsi tidak kunjung berkurang. Bagaimana kalau pedang itu ditumpulkan. Apalagi ditiadakan. Dalam konteks ini, wajar bila terdapat sinyalemen bahwa akronim KPK mulai bergeser. Bisik-bisik, KPK bukan lagi akronim Komisi Pemberantasan Korupsi. Melainkan Kepentingan Politik Kelompok. Mungkin juga Kepentingan Politik “Koalisi.” Jadi, bukan lagi Kepentingan Politik Kerakyatan. Tentu, jawaban atas tudingan itu membutuhkan bukti. Bukan sekedar janji. Sebagaimana ketidakpercayaan yang dituduhkan berbagai media dan majalah selama ini. Yang menyatakan suara hati dan nurani.
Pada akhirnya, sejarah cenderung berulang. Bung Karno pernah menyatakan bahwa perjuangannya meraih kemerdekaan akan lebih mudah karena melawan penjajah. Sementara perjuangan mengisi kemerdekaan akan jauh lebih sulit karena menghadapi bangsa sendiri. Analog dengan hal tersebut, lebih mudah bagi Presiden Jokowi untuk menghadapi kubu oposisi yang jelas berseberangan. Kini, di periode kedua kepemimpinannya akan lebih sulit bagi Presiden Jokowi karena bukan menghadapi oposisi. Melainkan harus menghadapi tantangan yang berasal dari teman koalisi sendiri. Wallahualam.
KPK Tidak Perlu Alergi Revisi
Sejatinya, apapun didunia ini tak ada yang sempurna. Tak ada gading yang tak retak. Kesempurnaan hanyalah milik dan hak Yang Maha Benar, Allah SWT. Karena itu, kita meyakini sepenuhnya bahwa segala sesuatu yang merupakan produk manusia tidak ada yang sempurna. Tanpa cacat tanpa noda. Dalam wujud aturan, kelembagaan atau apapun lainnya. Terkait dengan hal tersebut terhadap dua substansi keputusan Presiden Jokowi, mestinya mengedepankan hal – hal dibawah ini.
Pertama, KPK beserta masyarakat sipil pendukungnya seyogyanya bersikap lebih bijak. Tidak boleh mengedepankan kata “pokoknya”. Tujuh belas tahun sejak diundangkan, bisa jadi konteks situasi yang menjadi suasana batin lahirnya undang-undang KPK telah berubah. Pun kelembagaan beserta struktur berikut sistem tata nilai yang menjadi roh –KPK- harus pula tetap mampu memenuhi kebutuhan pemenuhan visi ke-Indonesiaan. Justru menjadi pertanyaan bila ada lembaga yang tidak mau berubah. Artinya sikap itu sendiri melawan kodrat. Tidak ada yang abadi di dunia ini melainkan perubahan itu sendiri. Dalam konteks ini, KPK dan masyarakat sipil pendukungnya pun harus legowo untuk diperlakukan sama dengan lembaga lain. Walau tetap tidak sama persis.
Kedua, KPK dibangun atas dasar empat pilar kebangsaan : Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Tidak boleh ada satupun lembaga negara yang didirikan kemudian berjalan menyimpang, menolak apalagi hendak merobohkan satu diantara pilar atau bahkan seluruh pilar di atas. Dalam konteks ini, isu yang berkembang terkait dengan keberadaan unsur radikal dengan kelompok “Taliban” dalam tubuh KPK, harus bisa diklarifikasi dan dibuktikan. Secara obyektif dan menyeluruh. Sama halnya dengan masyarakat yang pro revisi UU KPK, maka pembuktian benar tidaknya sinyalemen pelemahan KPK adalah sebuah keniscayaan. Sama sama. Adil dan sekaligus fair.
Ketiga, berbagai kelemahan yang mengemuka pasca 17 tahun berdirinya KPK harus diakui sebagai fakta obyektif yang mutlak harus dicarikan solusinya. Ketidakcermatan, kesalahan prosedur dan sebagainya yang sangat merugikan warga masyarakat. Sekali lagi, KPK bukan lembaga tanpa celah. Apalagi tanpa salah. Namun, yang lebih penting adalah semangat dan kesadaran untuk memperbaiki demi terwujudnya cita-cita pemberantasan korupsi sebagaimana amanat reformasi.
Keempat, menjadi penting dalam konteks revisi dan perubahan UU KPK, jangan sampai ada penumpang gelap yang ikut menunggangi. Tak lain adalah para koruptor dan pencoleng keuangan negara yang sesungguhnya. Kelompok perompak kelimpahan kekayaan sumberdaya alam Indonesia. Ia bisa saja dari kalangan pengusaha hitam, politisi busuk, maupun oknum penguasa. Baik di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dengan diputuskannya agenda perubahan, mutlak harus diyakinkan bahwa kekhawatiran pegiat anti korupsi dan masyarakat madani atas rencana pelemahan bahkan pembunuhan secara sistematis KPK tidak akan dan tidak pernah terbukti.
Intinya, sebagai lembaga penegak hukum yang senantiasa mengedepankan bukti, maka sudah selayaknya KPK -dan masyarakat sipil lainnya- bisa membuktikan bahwa KPK tetap on the right track. Demi kemajuan dan kemaslahatan NKRI.
KPK dan Modal Sosial
Tak dapat disangsikan, Presiden Jokowi sangat ulung dalam menghimpun berbagai modal pembangunan. Semua dalam upaya mewujudkan Indonesia berdaulat, maju, adil dan makmur sebagaimana refleksi capaian TRISAKTI dan Nawacita.
Untuk mewujudkan semua itu, Presiden Jokowi telah memupuk modal fisik. Selama lima tahun periode pertama kepemimpinannya Jokowi menggenjot pembangunan infrastruktur. Mulai dari bendungan, irigasi dan embung, jalan nasional sekaligus jalan tol, jembatan dan jembatan gantung. Belum lagi infrastruktur fasilitas air minum, sanitasi dan persampahan, pos lintas batas negara, perumahan dan rumah susun serta berbagai infrastruktur fisik lainnya (Kementerian PUPR. 2019).
Selain modal fisik, Presiden Jokowi juga menggenjot modal finansial melalui peningkatan investasi dan kinerja ekspor. Harapannya agar terjadi surplus perdagangan dan surplus devisa negara. Berbagai kebijakan diterbitkan untuk mempermudah masuknya investasi, serta mendongkrak kinerja ekspor. Dan kini, Presiden Jokowi juga tengah memfokuskan pada upaya memupuk modal SDM sehingga bisa memiliki daya saing di tengah persaingan revolusi industry 4.0 di era global. Semua modal pembangunan telah lengkap untuk maju dan tinggal landas. Menyongsong menjadi negara maju sebagaimana lima tahapan pembangunan versi konsepsi Rostow (1960). Sesuai visi Indonesia 2045, Indonesia akan menjelma menjadi salah satu negara maju dengan PDB terbesar keempat dunia. Pertanyaannya, benarkah sudah semua modal ?
Bagaimana dengan modal sosial, atau social capital ? Modal sosial mutlak diperlukan dalam pembangunan sebuah negara. James s. Coleman (1988) menyatakan bahwa modal sosial merupakan bagian dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan yang terkoordinasi.
Lebih jauh, Fukuyama (1995) bahkan menyatakan pentingnya peran modal sosial dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Bahwa negara – negara maju bisa meraih kemakmurannya dikarenakan memiliki modal sosial yang tinggi. Besarnya modal sosial tercermin dari tingginya kepercayaan rakyat kepada para pemimpin dan lembaga-lembaganya.
Dalam konteks Indonesia, diakui atau tidak modal sosial yang tercermin dari tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemimpin dan lembaganya cenderung rendah. Betapa tidak, ditengah krisis dan sulitnya ekonomi, para elit lembaga negara justru berlomba mengusulkan pembangunan gedung mewah. Termasuk tuntutan peningkatan gaji, fasilitas dan tunjangan yang kian “wah”. Sementara kinerja mereka masih jauh dari optimal. Bahkan, beberapa dari oknum elit terkena OTT KPK. Itulah pangkal soal relatif rendahnya kepercayaan sebagai manifestasi modal sosial masyarakat.
Bagaimana dengan Jokowi ? Dengan kredo “kerja-kerja-kerja”, mantan Walikota solo itu telah memupuk modal sosial yang luar biasa besar. Blusukan dan terjun langsung ke masyarakat, mengontrol berbagai pembangunan infrastruktur di berbagai pelosok Indonesia merupakan manifestasi modal sosial. Kepercayaan publik dan rasa hormat rakyat banyak. Fenomena Jokowi dengan paradigma kerjanya mampu menepis salah satu persoalan besar kepemimpinan nasional selama ini. Tak lain rendahnya kepercayaan publik.
Jokowi memang berbeda. Ia menjalankan konsep walk the talk. Keteladanan. Apa yang diucapkan itulah yang dilakukan. Ia mempraktekkan gaya hidup sederhana. Termasuk istri dan anak-anaknya yang tak pernah memanfaatkan berlebihan fasilitas negara. Jokowi juga sangat merakyat. Langsung berinteraksi mendengarkan aspirasi rakyat. Tak berjarak. Manunggalig kawula ratu. Menyatu.
Persoalannya, hari ini Jokowi mengambil keputusan yang sedikit banyak berbeda dengan aspirasi dan harapan rakyatnya. Keputusannya terkait KPK, menjadi sebuah taruhan, apakah modal sosial yang dipupuknya selama satu periode pertama kepemimpinannya dulu masih akan sama besar. Baik ukuran dan nilainya. Tatkala salah satu lembaga kredibel yang membantu menjaga marwah kepemimpinannya yang pro pemberantasan korupsi yaitu KPK, justru –disinyalir- telah diamputasi.
Ini tentu bukan persoalan sederhana. Apalagi mudah. Rakyat, melalui berbagai media menyuarakan kekecewaannya. Hal ini bisa menjadi faktor yang akan mempengaruhi tingkat kepercayaan dan kepuasan masyarakat kepada sang RI 1. Bukan hanya itu, KPK ke depan akan menghadapi tantangan yang lebih berat. Adalah faktor kepercayaan juga yang menjadi salah satu beban yang diemban oleh para pimpinan KPK periode 2019-2023. Jokowi harus benar benar mampu meyakinkan bahwa sinyalemen “pelemahan” bahkan “pembunuhan” KPK adalah ilusi. Tidak pernah terbukti.
Memang, sejatinya KPK belum kiamat. Apalagi tamat. Untuk menyatakan kepemimpinan KPK tumpul juga masih terlalu dini. Lagi-lagi juga perlu bukti. Namun, berbagai perubahan konstelasi terkait KPK di atas jelas akan berpengaruh terhadap kepercayaan dan modal sosial kepada Presiden Jokowi. Dan terutama kinerja KPK ke depan. Kita tunggu. Quo vadis KPK ?***
Tulisan yang komprehensif dan kontekstual, terima kasih