Ramli Ramadhan – Universitas Malang Muhammadiyah
— Pidato Presiden terpilih Jokowi mengenai visi-misi 5 tahun kedepan mendapat tanggapan beragam dari para pengamat, organisasi masyarakat, hingga beberapa tokoh yang selama ini kerap melontarkan kritik pada pemerintahan Jokowi. Tanggapan yang ramai terbentuk di media massa menunjukkan bahwa Jokowi sama sekali tidak mementingkan isu penegakan hukum dan kondisi HAM. Kasus Novel Baswedan yang diduga kuat melibatkan orang penting di tingkat nasional menjadi salah satu contohnya. Selebihnya kritik ditekankan pada beberapa diksi terutama berkaitan dengan ucapan “pro investor”. Sekali lagi, hal diatas memperlihatkan bahwa isu lingkungan maupun kehutanan tidak pernah menjadi isu seksi, minimal masuk dalam teks visi-misi dalam sejarah rezim Presiden selama ini. Mungkin dalam tataran program akan muncul di tingkat kementrian, namun tidak cukup untuk mengatakan bahwa rezim pemerintahan akan datang banyak bicara tentang lingkungan dan Kehutanan.
Mengapa isu lingkungan dan kehutanan menjadi penting, paling tidak selama 5 tahun kepemimpinan Jokowi, penulis mencatat hal penting menyangkut isu ini sehingga patut dipertimbangkan dalam visi besar 5 tahun kedepan. Selama kurun waktu 20 tahun terakhir, Indonesia mengandalkan sektor perkebunan sawit sebagai komoditas strategis bagi perekonomian negara. Tahun 2016 produksi minyak sawit mencapai 32 juta ton sekitar 24,3 juta ton diekspor dengan nilai ekonomi mencapai USD 16,2 miliar (Ditjenbun 2017 dalam Hutan Kita Bersawit). Catatan tersebut membuat sektor sawit penyumbang devisa hasil ekspor terbesar. Namun akibat salah urus dan pembiaran menyebabkan terjadi degradasi kualitas lingkungan yang berakibat pada deforestasi maupun kebakaran hutan. Dampaknya ialah komoditas sawit dianggap merusak hutan dan memperburuk lingkungan akibat pembukaan lahan yang masif.
Muncul sentimen di berbagai negara maju terkait kerusakan hutan di Indonesia sehingga berakibat harga jual sawit turun dan mengancam 17 juta lapangan kerja langsung dan tak langsung (Kemenko, 2019). Saat ini belum jelas arah kebijakan pemerintah terkait masalah ini semenjak diberlakukan moraturium penerbitan ijin usaha sawit. Pemerintah justru terlihat menyasar potensi pariwisata sebagai sektor alternatif untuk menunjang perekonomian nasional. Oleh karena itu ketimbang membuka keran investasi seluas-luasnya, Jokowi perlu memberi perhatian pada kerusakan lingkungan dan hutan yang sudah pada taraf mengkhawatirkan. Selama ini, investor yang masuk ke Indonesia lebih senang investasi pada industri ekstraktif tanpa memperdulikan efek lingkungan dan masyarakat sekitar.
Di tingkat global munculnya kembali “partai hijau” di Jerman, Inggris, dan Perancis dalam memperoleh kursi di parlemen Eropa seperti menjadi peringatan kepada negara dunia ketiga seperti Indonesia untuk mulai memperhatikan isu lingkungan dan keberadaan hutan tropis. Jangan sampai membuka investasi sama dengan kerusakan lingkungan dan kebakaran hutan. Karena akibatnya bisa panjang seperti baru-baru ini Mahkamah Agung (MA) memutuskan Presiden Jokowi dan beberapa menteri serta pejabat dinyatakan bersalah atas kasus kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah pada tahun 2015. Sejumlah aktivis lingkungan (citizen) menggugat pemerintah karena dianggap tidak bisa melindungi warganya memperoleh lingkungan yang bersih sehingga mengganggu aktivitas dan menimbulkan dampak penyakit. Selain itu penggugat menuntut pemerintah untuk mengumumkan perusahaan-perusahaan yang melakukan pembakaran hutan dan segera dilakukan pemulihan (restorasi) lahan.
Belum lagi kita bicara konflik antara masyarakat dan perusahaan yang banyak terjadi dan sering diabaikan pemerintah. Hal tersebut menjelaskan belum adanya keselarasan antara pembukaan pasar melalui investasi dengan tenaga kerja (lapangan kerja) maupun kesejahteraan masyarakat. Kasus ini memberi pelajaran bahwa investasi (bidang ekstraktif) yang terbuka dan tidak terkontrol dapat menyengsarakan warga negara sendiri. Jokowi harusnya menekankan pada pidatonya tentang investasi terbuka dengan memprioritaskan pada investasi bidang ekonomi non ekstraktif, ekonomi digital, maupun melalui pariwisata apabila bicara mengenai pertumbuhan ekonomi.
Narasi lingkungan dan Kehutanan tidak hanya bicara mengenai perbaikan kualitas lingkungan, ekologi dan green building. Lebih jauh, isu ini bicara mengenai pemerataan dan keterbukaan akses terhadap sumber daya (alam). Pemerintah sepertinya masih menggunakan rumus bahwa investasi yang besar menciptakan lapangan kerja yang besar pula. Padahal banyak rakyat yang dekat dengan sumber daya justru mengalami marjinalisasi karena tertutupnya akses mereka sehingga berakibat munculnya kesenjangan. Hilangnya isu pemerataan dalam visi-misi Jokowi bisa dibilang menutup kemungkinan akses yang terbuka bagi rakyat. Sebagai data terdapat 10,2 juta orang miskin yang berada di kawasan hutan, hal ini terjadi karena keterbatasan akses rakyat dalam memanfaatkan keuntungan (benefit) dari sumber daya hutan. Ironis apabila akses untuk rakyatnya sendiri dibatasi sedangkan untuk korporasi dibuka luas.
Kebijakan Perhutanan Sosial belum cukup meningkatkan pendapatan petani hutan karena beberapa hal. Pertama akses yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu dan kedua rerata lahan yang diberikan ijin ialah lahan marjinal yang tingkat kesuburan rendah dan tutupannya rendah. Setali tiga uang, program Reforma Agraria (RA) yang dikeluarkan melalui Perpres No.86 tahun 2018 belum menyentuh pada inti RA yaitu redistribusi lahan. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), RA masih jalan ditempat karena selama ini justru pemerintah memfokuskan pada percepatan pembagian sertifikat tanah.