Diah Y. Suradiredja – Ketua Harian Dewan Kehutanan Nasional periode 2006-2014
— Membaca laporan utama Tempo pekan lalu bertajuk “Atur-atur Nomenklatur”, tersurat rencana Presiden Joko Widodo mereka ulang struktur kementerian dalam kabinet periode 2019-2024. Idealnya, pemerintahan jilid kedua merupakan hasil refleksi dan evaluasi kinerja kabinet sebelumnya.
Pada periode kedua, Presiden Jokowi seharusnya lebih leluasa melakukan pembenahan kelembagaan dan birokrasi kabinet. Jikapun ada perombakan, semangatnya tak sekadar populis, tapi juga harus mampu menjawab permasalahan nyata semua sektor ekonomi. Karena itu, rencana Presiden menata ulang nomenklatur kementerian perlu disambut, dengan beberapa catatan.
Konsolidasi sektor ekonomi strategis berbasis lahan
Pertumbuhan ekonomi masih harus menjadi prioritas kebijakan nasional, terutama sektor-sektor berbasis lahan yang agaknya masih menjadi primadona. Tapi ia menghadapi paradoks dewasa inl. Kontribusi sektor kehutanan, yang menguasal dua pertiga lahan, terhadap pendapatan nasional terus menurun, bahkan sampali di bawah 1 persen. Sudah saatnya peranan ekonomi sektor berbasis lahan ditingkatkan dengan cara memperkuat dan memperluas manfaatnya bagi rakyat, dengan tetap memperhatikan kebajikan ekologi. Yang terakhir ini masih menjadi tantangan besar di sektor ekonomi berbasis lahan.
Sementara itu, perkebunan, terutama Sawit, yang sering dituduh sebagai penyebab kerusakan hutan, justru menjadi primadona baru. Kita telah menguasal hampir 60 persen pangsa pasar sawit dunia. Dalam perekonomian nasional, sawit menjadi kontributor terbesar devisa negara. Ke depan, sawit semestinya menjadi komoditas strategis nasional untuk program biodiesel dan penyediaan lapangan kerja baru.
Sinergi dan koordinasi yang baik antar- sektor berbasis lahan menjadi krusial karena masifnya budi daya sawit di kawasan hutan. Digitasi citra satelit yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2018 menunjukkan sekitar 3,47 juta hektare perkebunan sawit berada dalam kawasan hutan, baik hutan produks1, lindung, maupun konservasi. Ini masalah pelik yang harus segera diatasi dalam kabinet Presiden Jokowi perlode kedua.
Dengan kenyataan seperti itu, mengintegrasikan sektor perkebunan ke struktur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bisa dilihat menjadi alternatif mengatasi problem pelik tersebut. Integrasi ini secara langsung atau tidak langsung akan mensinergikan kegiatan ekonomi strategis berbasis lahan. Penggabungan ini juga akan berdampak pada penyelesaian ketelanjuran tumpang- tindih kewenangan dan konflik lahan.
Integrasi pun akan mendorong percepatan penyelesaian penguasaan lahan dalam kawasan hutan seperti amanat Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017. Sebagai contoh, saat ini ada 23.349 desa di seluruh Indonesia di dalam dan sekitar kawasan hutan yang berisiko tinggi merambah kawasan hutan dan berpotensi menimbulkan sengketa. Penyelesaian konflik lahan bisa memperbaiki akses masyarakat terhadap lahan melalui berbagai skema reforma agraria dan perhutanan sosial.
Penguatan daya saing industri
Dengan mengelola sekitar 64 persen daratan dan pernah menjadi penopang utama ekonomi nasional, sektor kehutanan sepatutnya kembali berjaya. Sejarah mencatat, pada 1993, kontribusi sektor kehutanan terhadap pendapatan negara mencapal 3,5 persen.
Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (2019) menunjukkan, dari total luas kawasan hutan produksi 68,82 juta hektare, hanya 30,50 juta hektare atau 44,30 persen yang telah dibebani 1zin; 1,28 juta hektare atau 1,9 persen dalam proses perizinan; dan sisanya, 37,04 juta hektare atau 53,8 persen, belum dioptimalkan. Sumber daya hutan yang tersedia seolah-olah teronggok begitu saja dan tak terkelola dengan baik.
Industri perkayuan nasional makin tertinggal di peta perdagangan internasional. Ekspor furnitur kita makin merosot. Padahal ekspor mebel Indonesia menempati posisi kelima dunia pada awal 2000-an. Nilai ekspor furnitur kita tertinggal jauh oleh Vietnam, negara yang sumber daya hutannya di bawah kita. Tak ayal, banyak pelaku usaha kehutanan beralih ke bisnis lain, seperti perkebunan kelapa sawit. Mereka meninggalkan kawasan hutan, yang dianggap tak lagi menjanjikan.
Sementara itu, pasar global masih terbuka lebar terhadap penyerapan komoditas- komoditas kehutanan. Food and Agriculture Organisation (FAO) memproyeksikan konsumsi produk perkayuan masih akan meningkat signifikan sampai 2030. Untuk itu, industri sektor kehutanan harus kembali digairahkan.
Penguatan industri bisa dimulai dengan menylapkan faktor pendukung (enabling conditions), yaitu reformasi tata kelola dan perbaikan iklim bisnis. Sayangnya, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa iklim bisnis di sektor kehutanan relatif buruk dan rumit. Kompleksnya prosedur administrasi dan birokrasi berimplikasi pada tingginya biaya transaksi yang harus dibayar pebisnis.
Peran sektor kehutanan juga bisa ditingkatkan dengan mengoptimalkan industri non-kayu dan jasa lingkungan. Kita mempunyai potensi yang luar biasa dalam dua bidang ini. Hutan tropis Indonesia merupakan salah satu pusat biodiversitas dunia. Saat ini kita juga mempunyai lebih dari 50 taman nasional yang bisa didorong sebagai pusat-pusat ekowisata.
Pasarnya pun sangat terbuka luas seiring dengan terus meningkatnya minat wisatawan terhadap pengalaman menyaksikan keindahan alam dan kekayaan hayati langka baik flora maupun fauna. Data FAO memperlihatkan 40-60 persen wisatawan internasional merupakan “wisatawan alam”.
Harmonisasi lingkungan hidup dan konservasi sumber daya hutan
Ide dasar penggabungan sektor lingkungan hidup dengan sektor kehutanan pada 2014 adalah bahwa kehutanan merupakan bagian darl lingkungan hidup. Untuk memastikan dan memperkuat mandat konservasi sumber daya hutan, keduanya harus digabungkan. Namun penggabungan ini belum mampu menghasilkan hubungan sinergis dan harmonis di antara keduanya. Isu-isu global, seperti deforestasi, degradasi lahan, sampah plastik, perubahan iklim, dan keanekaragaman hayati, belum bisa terangkai dengan baik dalam tatanan kerja institusi kementerian dan cenderung berjalan sendiri-sendir1, terpisah satu dengan yang lain.
Sebenarnya lingkungan hidup dan kehutanan—khususnya yang berkaitan dengan konservasi dan rehabilitasi sumber daya alam dan ekosistem hutan— bisa diintegrasikan ke dalam payung perlindungan, konservasi alam dan lingkungan hidup. Selain mendorong sinergl, integrasi ini kelak dapat merampingkan arsitektur birokrasi.
Era baru dengan semangat integrasi
Sektor kehutanan pernah digabungkan dengan sub-sektor perkebunan. Saat inl ada penjajakan kemungkinan menggabungkannya dengan sektor lingkungan hidup. Ini mengisyaratkan bahwa integrasi ketiganya sangat mungkin. Presiden Jokowi bisa berinisiatif menyusun nomenklatur baru yang menaungi ketiganya dalam Kementerian Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Perkebunan (KLHKP). Caranya bisa dimulai dengan penylapan rencana struktur organisasi untuk menjamin efisiensi. Struktur KLHKP bisa diefisienkan ke dalam beberapa bidang kerja, seperti pengendalian dan penataan lingkungan hidup; rehabilitasi hutan dan konservasi sumber daya alam; pengendalian pencemaran limbah, sampah, dan bahan berbahaya dan beracun; penataan ruang kawa-san hutan dan perhutanan sosial; pengelolaan industri perkebunan dan kehutanan; pengelolaan usaha perkebunan dan hutan tanaman; pengelolaan hutan alam lestari; serta pengembangan Inovasi dan pengendalian perubahan iklim.
Integrasi sektor kehutanan, perkebunan dan lingkungan hidup ke dalam satu kementerian akan memperkuat paradigma pembangunan yang berporos pada keseimbangan ekonomi, sosial, dan ekologi. Demi menghidupkan kembali mandat produksi dan konservasi sumber daya hutan, integrasi ini perlu segera dilakukan. Momentum terbaiknya ada saat ini, yaitu periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi.
*Dimuat di Majalah Tempo 31 Agustus 2019, dimuat di Sebijak atas ijin penulis