Pergeseran paradigma dari government menjadi governance telah banyak mempengaruhi proses kebijakan kehutanan di Indonesia. Pemerintah tidak lagi menjadi satu-satunya aktor yang paling berkuasa atas suatu kebijakan, tetapi tercipta celah bagi aktor non pemerintah atau swasta untuk turut berpartisipasi. Akhir akhir ini, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau dalam literatur internasional disebut sebagai non-government organisations (NGOs) diindikasikan sebagai salah satu aktor yang paling berpengaruh dalam proses kebijakan, misalnya pada kebijakan perhutanan sosial dan reforma agraria serta kebijakan sistem verifikasi dan legalitas kayu (SVLK) di Indonesia.
Pergolakan kebijakan perhutanan sosial di Indonesia dipandang menjadi sesuatu yang sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam. Pada periode 1990an, hak pengelolaan hutan di Indonesia masih berpusat pada negara dan perusahaan-perusahaan berskala besar. Hutan menjadi salah satu penyumbang devisa negara terbesar untuk pembangunan ekonomi. Namun sayangnya, pengelolaan tersebut justru mengarah pada kerusakan-kerusakan hutan yang permanen serta perilaku birokrasi dan pengusaha yang korup. Di sisi lain masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mengalami pemiskinan akibat dibatasinya hak dan akses terhadap sumber daya hutan. LSM disebut-sebut sebagai aktor yang paling konsen dalam memperjuangkan kelestarian hutan serta hak-hak masyarakat lokal.
Lambat laun akhirnya masyarakat diberikan hak dan akses oleh pemerintah untuk memanfaatkan sumber daya hutan meskipun masih berupa hak pemanfaatan pada waktu itu. Hebatnya, pada pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla, perhutanan sosial dan reforma agraria resmi menjadi nawacita pemerintah. Pemerintah Indonesia secara tegas mengalokasikan kawasan hutan seluas 13.847.722 Ha untuk kedua program tersebut. Untuk perhutanan sosial, masyarakat diberikan izin pemanfaatan kawasan hutan dalam waktu 35 tahun serta dapat diperpanjang, bahkan pemerintah secara resmi mengeluarkan sertifikat hak milik untuk tanah obyek reforma agraria (TORA). LSM kembali disebut-sebut sebagai salah satu aktor yang paling berpengaruh atas keluarnya kebijakan-kebijakan ini. Maka dari itu, sejauh mana LSM berperan di dalam proses kebijakan perhutanan sosial dan reforma agraria menjadi sangat menarik untuk diteliti. Penelitian ini akan dilakukan oleh salah satu kandidat doktor dari Sebijak Institute yaitu Sari Rahayu. Dia akan mengambil fokus pada sejauh mana LSM berperan dalam proses formulasi kebijakan sampai melahirkan kedua kebijakan ini.
Tak kalah menarik dari kebijakan perhutanan sosial dan reforma agraria, proses kebijakan SVLK di Indonesia juga sangat dinamis. SVLK muncul sebagai respon terhadap masifnya pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal, yang mana menimbulkan praktik kolusi dan korupsi di kalangan birokrat dan pengusaha semakin meluas. Sedangkan sertifikasi sukarela yang digaungkan untuk memperbaiki tata kelola kehutanan misalnya FSC dan PEFC serapannya sangat rendah. Oleh sebab itu, negara-negara maju (konsumen produk kayu tropis) seperti Uni Eropa akhirnya memprakarsai pendirian forest law enforcement, governance and trade (FLEGT) yaitu sebuah skema penegakan hukum untuk perdagangan produk kehutanan. FLEGT dipromosikan melalui kerjasama sukarela atau voluntary partnership agreement (VPA) antara Uni Eropa dengan negara-negara pengimpor produk kayu termasuk Indonesia. Pendirian instrumen legalitas kayu nasional merupakan prasyarat dari FLEGT. Pemerintah Indonesia akhirnya mendirikan SVLK pada tahun 2009 sebagai instrumen wajib yang bertujuan untuk menjamin bahwa kayu yang diangkut, diolah dan dipasarkan berasal dari sumber yang legal.
Pendirian SVLK dan proses implementasinya diindikasikan tidak lepas dari pengaruh kuat LSM. Studi di berbagai negara tropis yang menjalin kerjasama dengan Uni Eropa melalui skema FLEGT menunjukkan bahwa LSM memang berperan aktif, bahkan turut menjadi motor utama dalam instrumen legalitas nasional. Namun, kebanyakan studi tersebut belum mampu menjelaskan secara terperinci sejauh mana LSM berperan dan bagaimana ukuran-ukuran perannya. Maka dari itu, salah seorang kandidat doktor Sebijak Institute bernama Dwi Laraswati akan menelusuri sejauh mana LSM berperan dalam proses kebijakan SVLK di Indonesia, dengan berfokus pada sejauh mana tingkat keterlibatannya dalam semua tahapan siklus kebijakan, power atau kuasa LSM dalam mempengaruhi pengambilan keputusan SVLK sebagai instrumen wajib beserta proses implementasinya, dan terakhir yaitu menganalisis bagaimana LSM membangun jejaring untuk mendukung peran mereka.