Pungky Widiaryanto – Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
— Euforia peran hutan dalam perubahan iklim turut meramaikan negosiasi di tingkat internasional yang baru saja selesai digelar di Polandia. Pencegahan laju kerusakan hutan atau deforestasi dipercaya dapat mengurangi parahnya fenomena perubahan ikilm.
Sayangnya, gembar-gembor pentingnya hutan Indonesia dalam menurunkan emisi ini tidak disertai dengan upaya serius. Salah satu sumber permasalahan hilangnya hutan di Indonesia adalah masalah tenurial, termasuk kepastian dan keterbukaan administrasi kawasan hutan. Kasus “jual beli” kawasan dan konflik lahan seperti di Boven Digul dan Taman Nasional Tesso Nilo, hanya dua kasus yang kebetulan muncul di media massa. Banyak kasus lain di negeri ini.
Lebih dari 70 tahun Republik ini merdeka, masalah kawasan hutan tidak kunjung selesai. Hingga detik ini, hanya 70 persen kawasan yang sudah ditetapkan statusnya. Sisanya masih berada di area abu-abu. Maka, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seharusnya mendaftarkan kawasan hutannya yang sedang dibahas dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan akhir-akhir ini.
Di sisi lain, permintaan akan lahan terus meningkat , baik dari masyarakat, pengusaha, maupun pemerintah daerah. Ironisnya, KLHK sangat kaku dan kurang transparan dalam menata dan mengurusi kawasan hutan. Ego sektoral mempertahankan kawasan hutan ini ternyata tidak didasarkan dengan pertimbangan aspek lingkungan dan sosial yang selama ini selalu digaungkan.
Penataan kawasan hutan masih berpedoman kepada fungsi kawasan hutan sebagaimana Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), yang disusun pada 1980-an. Fungsi kawasan dibagi berdasarkan hasil skoring kelerengan, jenis tanah, dan curah hujan. Data dan petanya pun hanya menggunakan yang ada di era tersebut. Bahkan sangat sedikit disurvei pada level tapak.
Meski telah dilakukan pemutakhiran data, masih banyak kawasan hutan yang belum disesuaikan. Dengan kata lain, jutaan hektar fungsi kawasan hutan sekedar diturunkan dari peta tersebut.
Saat ini, pembagian fungsi kawasan hutan adalah 68 juta hektar berupa hutan produksi, 29 juta hektar hutan lindung, 22 juta hektar hutan konservasi. Namun, berdasar data yang dirilis oleh KLHK, sekitar 32 juta hektar di tiga fungsi hutan tersebut berstatus tidak berhutan atau beralih fungsi, seperti menjadi pemukiman, perkebunan, pertanian, dan lainnya. Anehnya, kawasan ini justru cenderung dibiarkan.
Jika benar hutan berfungsi untuk lingkungan, pembagian kawasan hutan seharusnya mempertimbangkan indeks jasa ekosistem, seperti nilai keanekaragaman hayati, nilai daya dukung dan daya tampung, dan nilai stok karbon, sebagai bentuk ratifikasi mitigasi perubahan iklim. Selain itu, hutan merupakan hajat hidup orang banyak dikelola negara dan untuk kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, pembagiannya juga harus mempertimbangkan alokasi reforma agraria, perhutanan sosial dan distribusi masyarakat saat ini.
Berdasarkan kajian kami, pembagian fungsi kawasan hutan seharusnya 61 juta hektar untuk dilindungi (hutan konservasi), 33 juta hektar untuk diusahakan, 6 juta hektar untuk direhabilitasi, serta 19 juta hektar untuk kepentingan masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat.
Berantakannya penataan kawasan hutan ini tidak hanya mempersulit terwujudnya pengelolaan hutan berkelanjutan dan menghambat pembangunan nasional. Ketidakjelasan tata batas dan status juga melemahkan upaya penegakan hukum terhadap korupsi. Untuk itu, diperlukan suatu redesain atau rasionalisasi kawasan hutan.
Pertama, pemerintah segera menetapkan alokasi kawasan hutan yang disepakati berbagai pihak, dan berdasarkan verifikasi lapangan. Ini untuk memberi kepastian dan konsensus kedaulatan alokasi kawasan hutan yang mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.
Kedua, data dan peta kawasan hutan harus masuk dalam Kebijakan Satu peta untuk menghindari tumpang tindih dengan sektor lain.
Ketiga, KLHK berpartisipasi dalam sistem pendaftaran tanah lengkap yang saat ini dibahas di RUU Pertanahan.
Keempat, pengelolaan kawasan hutan harus berbasiskan pemerintahan desa/kelurahan dan masyarakat hukum adat. Bagaimanapun, merekalah yang hidupnya sehari-hari berdampingan dengan hutan.
*) Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tempo, 31 Desember 2018. Dimuat di laman Sebijak Institute atas permintaan dari penulis. Opini ini merupakan pandangan pribadi