Ahmad Maryudi – Sebijak Institute
— Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pertanahan masih berlangsung di DPR dan ditargetkan akan disahkan menjadi UU tahun ini. RUU Pertanahan menyangkut kepentingan banyak sektor, termasuk sektor kehutanan.
Forum Pimpinan Lembaga Pendidikan Tinggi Kehutanan Indonesia (FOReTIKA) sempat mengusulkan penundaan pengesahan RUU Pertanahan, dan meminta pembahasan lanjutan melibatkan akademisi kehutanan secara komprehensif. Mereka mengkhawatirkan RUU ini nantinya akan mengancam eksistensi sumberdaya hutan Indonesia.
UU Pokok Agraria dan UU Kehutanan
Membahas RUU Pertanahan tidak bisa dilepaskan dari UU Pokok Agraria No. 5/ 1960 yang merupakan kerangka regulasi yang pertama kali dikeluarkan pemerintah untuk mengatur alokasi dan penggunaan lahan di Indonesia. UU ini mengatur (salah satunya) pemisahan penguasaan lahan oleh negara dan privat (hak milik). Semangat awal dari UUPA adalah untuk mengatur semua pengelolaan sumberdaya alam berbasis lahan, termasuk hutan dan sektor kehutanan.
Namun ini ini dikerdilkan oleh berbagai undang-undang sektoral, termasuk UU Pokok Kehutanan No. 5/ 1967, yang dikeluarkan oleh pemerintahan Orde Baru. UU Kehutanan secara khusus mengatur bahwa kawasan yang telah ditunjuk sebagai hutan negara tidak lagi menjadi subyek dari UUPA, namun berada di bawah yuridisksi dan kontrol Direktorat Kehutanan (saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/ KLHK, selanjutnya disebut KLHK).
“Tuan tanah”
UU No. 5/ 1967 justru menjadi tonggak konflik sektoral. Di kawasan yang ditunjuk sebagai hutan (termasuk di kawasan konservasi) telah ada beragam penggunaan, seperti tambang, pemukiman transmigrasi. Hal ini mendorong otoritas kehutanan untuk melaksanakan program Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), yang mengukuhkan KLHK sebagai “tuan tanah”, dengan ditunjuknya lebih dari dua-pertiga lahan di tanah air sebagai kawasan hutan (saat itu 143 juta hektar) tanpa melihat realitas di lapangan.
Bahkan TGHK banyak dilakukan di atas meja saja. Contoh miris terjadi di Kalimantan Tengah. Setiawan dkk (2016) mencatat bahwa hampir seluruh wilayah propinsi ini masuk sebagai kawasan hutan. Bahkan ada kabupaten yang seluruh lahannya berada dalam zona kawasan hutan.
Beragam upaya sinkronisasi tata guna lahan membentur tembok yang sangat kokoh. KLHK adalah salah satu kementerian yang paling berpengaruh di masa Orde Baru. Tidak heran, saat itu kehutanan masih menjadi sektor primadona penghasil devisa pelumas pembangunan.
Ambil saja contoh UU No. 24/ 1992 tentang Penataan Ruang, yang memberikan kewenangan kepada Bappenas dan Kementrian Dalam Negeri (bukan KLHK), untuk melakukan perencanaan spasial dan menentukan penggunaan lahan melalui Rencana Tata Ruang dan Wilayah. KLHK merespon UU No. 24/ 1992 meluncurkan peta Padu Serasi, yang sejatinya hanyalah TGHK polesan.
Penolakan terhadap TGHK masih terjadi sampai sekarang. Peta versi KLHK masih tetap dijadikan rujukan utama alokasi dan penggunaan kawasan hutan, tanpa memperhatikan dinamika di lapangan.
Pintu Masuk
Mahkamah Konstitusi melalui SK No. 45/ / PUU-IX/ 2011 mengabulkan permohonan penghapusan frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 UU Kehutanan No 41/ 1999 (pengganti UU No. 5/ 1967) sehingga bunyinya menjadi “kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”.
Implikasinya adalah penentuan kawasan hutan tidak sekedar melalui penunjukaan, seperti yang dilakukan KLHK via TGHK, tetapi juga harus melalui seluruh rangkaian proses pengukuhan, termasuk konsultasi antar sektor.
Keputusan MK 45/ 2011 sebenarnya bisa dijadikan pintu masuk bagi untuk menyelesaikan permasalahan konflik sektoral. Yang terjadi justru KLHK sangat agresif melakukan penetapan semu. Menurut Statistik KLHK tahun 2013, kawasan hutan yang telah ditetapkan kurang dari 12%. Dalam yang sangat singkat, hampir semua kawasan telah ditetapkan. Sebuah capaian yang “menakjubkan”.
Seorang sumber dari internal KLHK, dikutip oleh Myers dkk (2017), menyebutkan bahwa proses konsultasi sering dilewati, dan penetapan kawasan berdasar pada peta digital dengan pengecekan lapangan hanya dari masukan pemerintah daerah. Sumber ini menyatakan bahwa hal ini akan menjadi bom waktu yang siap meledak setiap saat.
Faktanya saat ini banyak kawasan hutan yang sudah tidak lagi bervegetasi cukup yang mencerminkan kondisi ideal hutan. Bahkan, cukup banyak kawasan hutan yang secara de facto sudah dipergunakan peruntukan lain. Baru-baru ini Kehati Foundation meluncurkan buku berjudul “Hutan Kita Bersawit” yang menyebutkan tidak kurang 3 juta hektar kawasan hutan telah bertransformasi menjadi kebun sawit.
RUU Pertanahan ini justru harus diperkuat dengan semangat koordinasi antar sektor. RUU ini harus dijadikan pintu masuk alternatif, setelah kesempatan dari Keputusan MK 45/ 2011 terlewatkan.
PR terlewat
Bahkan ada PR lain yang seperti terlewat di RUU Pertanahan ini, yakni berkenaan dengan hutan adat. Menurut MK 35/ 2012, hutan adat merupakan hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara.
Walaupun beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo telah melakukan terobosan dengan memberikan 9 masyarakat adat status hutan adat seluas 13 ribu hektar, namun belum ada upaya konkrit untuk segera mengimplementasikan keputusan MK tersebut.
Sampai Oktober 2016, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Badan Registrasi Wilayah Adat, dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif telah memetakan hampir seribu hutan adat, yang mencakup luasan lebih dari 7 juta hektar yang sebagian besar tumpang tindih dengan kawasan hutan (negara) saat ini.
Perencanaan jangka panjang
Kekhawatiran RUU Pertanahan akan mengancam eksistensi hutan mungkin berlebihan. Tawaran Bappenas untuk rasionalisasi kawasan hutan -yang ditentang keras KLHK- sebenarnya merupakan hal yang cukup masuk akal untuk memfasilitasi koordinasi antar sektor.
Indonesia masih akan tetap menjadi salah satu negara dengan kawasan hutan terluas di dunia; KLHK masih bisa fokus dan bekerja keras untuk menjaga eksistensi hutan yang relatif masih baik kondisinya. Dan yang paling penting adalah membuat perencanaan jangka panjang.
Misalnya dalam jangka 50 tahun tidak diperbolehkan lagi perubahan status dan peruntukan lain yang telah disepakati bersama. Bagi kehutanan hal ini akan lebih baik. Daripada tetap ngotot mempertahankan status kawasan tanpa adanya kepastian, setiap saat selalu rentan dengan kepentingan politik tertentu untuk merubah hutan.