Agung Nugraha – Rimbawan Antropolog
— Difasilitasi oleh para relawan, Presiden Joko Widodo di depan ratusan ribu khalayak ramai menyampaikan pidato politiknya, Minggu, 14 Juli 2019 di Jakarta. Sebuah pidato yang sederhana, fokus namun sangat lugas.
Khas seorang Jokowi yang memiliki karakter seorang pekerja keras dan eksekutor. Sama sekali tidak ada nuansa berbunga – bunga gaya seorang orator, apalagi terkesan PHP gaya politisi obral janji. Realistis dan apa adanya. Bahkan, sebagian orang -bisa jadi- merasa tersindir dan terancam. Terutama mereka yang masih berharap dengan kondisi anti perubahan dan “status quo”.
Arahnya jelas. pesannya gamblang. Indonesia ke depan harus mampu merebut momentum di era kesejagatan hari ini. Menjadi Negara maju atau Negara pecundang. Menjadi Negara yang disegani masyarakat global, dihormati dan diperhitungkan dunia. Ataukah hanya menjadi Negara pinggiran yang mendekati Negara gagal. Semua dikemukakan dengan jernih, termasuk berbagai kondisional yang diperlukan untuk meraihnya.
Banyak pengamat yang memuji visi pembangunan Jokowi lima tahun ke depan. Politisi, bahkan menilai sebagai sebuah pidato brilian. Tak sedikit pula masyarakat awam yang ikut menyatakan persetujuannya, dengan mendukung pernyataan dan komitmen Presiden Jokowi.
Langkah seragam yang kini dilakukan oleh semua pihak -lembaga dan institusi- tentu saja merespon pidato sang Presiden RI. Menjabarkan sekaligus memaknainya secara kontekstual sesuai dengan relasi (baca : Kepentingan) masing – masing. Tidak sedikit pula politisi, professional, intelektual, aktivis LSM, dan pihak lainnya yang juga merespon positip pidato itu.
Harapannya, selain sebagai bentuk dukungan, tentu saja juga berharap akan bisa terangkut gerbong Presiden RI dalam pentas politik lima tahun ke depan. Memang, pasca rekonsiliasi yang tercermin dari pertemuan Jokowi – Prabowo di atas MRT, agak sulit menilai rekam jejak pihak mana yang dulu oposisi, dan kini menjadi –bunglon- “die hard” Jokowi.
Jujur, semua kini telah melebur menjadi satu. Dan itulah awal dimulainya pertarungan politik baru. 34 kursi pembantu Presiden dalam bentuk Kementerian dan Lembaga Negara sesuai konstitusi, puluhan posisi penasehat dan staf khusus Presiden, penasehat dan staf khusus Menteri, hingga ribuan kursi direksi dan komisaris BUMN yang sangat empuk dari sisi sosial ekonomi.
Belum lagi para pembisik yang berkeliaran di pusat – pusat kekuasaan dengan menjadi “pencari rente”, makelar kasus atau broker jabatan politik/BUMN. Sebuah pasar sosial dengan komoditas politik kekuasaan dengan omset yang luar biasa besar. Trilyunan rupiah.
Bisa jadi, yang dulu menjadi “die hard” Jokowi justru kini kalah dalam pertarungan baru, dan akhirnya tersingkir. Yang dulu pembenci justru kini pendukung dan meraih posisi. Ya, itulah hukum besi politik. Bukan tidak mungkin, mantan “die hard” Jokowi yang tersingkir lalu berbalik menjadi pengkritik utama karena pamrihnya tak terpenuhi dan menggumpal menjadi kekecewaan dalam bentuk raihan pepesan kosong.
Kehutanan tidak boleh tinggal diam. Apalagi ketinggalan kereta. Memang sedih, soal lingkungan dan Kehutanan secara eksplisit tidak tersentuh dalam pidato Jokowi. Pertanyaannya, inikah senjakala kehutanan ? Pertanyaan berikutnya, haruskah Kehutanan pasrah menjemput kematian ? Sebaliknya, bisakah Kehutanan menyangkal realitas dan bahkan melawannya ? Wallahualam.
Apapun itu, realitasnya Kehutanan memang tidak lagi dipandang sebagai sumber potensi. Kehutanan tampaknya tidak lagi diyakini menjadi sumber solusi oleh Jokowi. Karena itu, tidak bisa tidak, Kehutanan harus mampu berjuang meresponnya dengan mambangun korelasi dan rasionalitas. Memaknai setiap paragraph, kalimat dan kata agar secara implisit bisa terkait dengan peran hutan dan kontribusi kehutanan bagi kemakmuran rakyat. Diperlukan para “pujangga besar” Kehutanan yang mampu merangkai kata dan menggubah kalimat, yang akan mampu meyakinkan sang Presiden akan dahsyatnya peran hutan dan kehutanan di tingkat lokal, nasional bahkan global.
Ada beberapa langkah penting dan mendesak yang perlu dilakukan agar pembangunan kehutanan dalam lima tahun ke depan lebih membumi sebagai bentuk operasionalisasi visi Presiden Joko Widodo. Bukan hanya berisi jargon – jargon kosong yang bersifat sloganis. Konsep konsep indah yang justru kedodoran di tingkat implementasi.
Apa saja langkah mendesak itu ?
PERTAMA, merubah secara radikal wajah kehutanan yang oleh kalangan awam selalu dinilai identik dengan belantara yang ganas, mudah menyesatkan, siap memangsa, dan …… penuh ketidakpastian. Merubah DNA kehutanan menjadi lebih ramah, terbuka, dan tentu saja bisa diprediksi (Baca : pasti). Hal ini penting, karena selama ini kehutanan dinilai tidak bersahabat dengan investasi. Jangankan investasi untuk sektor lain, investasi dari internal kehutanan sendiri (HPH, HTI, RU, LK, dsb) saja seringkali juga dinilai ruwet dan tidak mudah. Konon, selain perlu kesabaran juga sangat perlu ketebalan. Semua mahfum.
Hal ini penting karena kalangan kehutanan sendiri selama ini selalu menyatakan dengan kebanggaan –semunya- bahwa kehutanan merupakan solusi atas berbagai problematika masyarakat dan Negara, seperti ancaman krisis pangan, krisis energi, kelangkaan air, kelangkaan daging, termasuk krisis lingkungan. Besarnya dimensi manfaat hutan dan luasnya kawasan hutan di berbagai wilayah Indonesia, tentulah terbuka untuk investasi bagi pemenuhan berbagai kepentingan sekaligus solusi berbagai ancaman berbagai krisis di atas.
KEDUA, orientasi keberpihakan kebijakan pembangunan kehutanan yang selama ini dinilai lebih berat kepada para pemilik modal dan korporasi besar, dan hanya pada sebuah komoditas hasil hutan yang seragam (Baca : Kayu) harus secara radikal bergeser lebih kepada akomodasi kepentingan masyarakat lokal, pembelaan petani gurem dan perlindungan masyarakat terbelakang. Termasuk di dalamnya tentu saja penguatan masyarakat adat. Sementara untuk komoditas harus lebih bersifat multi produk, sesuai potensi dan nilai ekonominya di pasar.
Hal ini juga sangat penting, karena selama ini Kehutanan memegang amanat konstitusi, yaitu memakmurkan rakyat. Kenyataannya, sudah sejak dekade 1970-an hutan dikelola secara massif dengan cara ekstraktif, namun kemakmuran masyarakat tak kunjung terwujud. Sebaliknya, masyarakat justru dinilai kian marginal bahkan tercerabut dari lingkungan alam dan akar budayanya. Alih alih menghasilkan hubungan harmonis, konflik vertical dan horizontal kehutanan justru lebih dominan.
Tentu saja hal ini menjadi tamparan tak terbantahkan. Bahwa profesi kehutanan belum mampu membuktikan kompetensinya dalam mensejahterakan masyarakat sekitar hutan. Termasuk melestarikan hutan itu sendiri yang selama ini diakui menjadi kompetensi dasar para rimbawan.
KETIGA, perubahan wajah dan orientasi keberihakan di atas pada akhirnya akan mampu mewujudkan visi keempat Presiden Jokowi sebagaimana terungkap dalam pidato politiknya : REFORMASI BIROKRASI. Ya, diakui atau tidak, reformasi birokrasi yang didengung-dengungkan oleh Pemerintah sejak era reformasi tak lebih dari pernyataan – pernyataan jargon dan sloganis yang tidak menyentuh pada tataran substansial di tingkat riil.
Perilaku buruk masa lalu yang ditengarai masih terlihat sampaii saat ini, yang tercermin dari sulitnya perijinan dan orientasi keberpihakan pada para pemilik modal dan hasil hutan kayu semata, telah menunjukkan secara kasat mata fakta konkrit atas penyimpangan perilaku birokrasi. Bukan hanya di tingkat pusat, melainkan juga di tingkat daerah. Termasuk para elite politik di daerah –baik eksekutif maupun legislative- yang secara sadar berani menggadaikan hutan untuk pemenuhan kepentingan politik sesaat.
Bagi Jokowi yang nota bene seorang rimbawan, pantas mengungkapkan tuntutannya agar para birokrat –kehutanan- berubah. Bahwa ada kearifan lokal “ngono yo ngono, ning ojo ngono”….. Semua birokrat –kehutanan- adalah “teman” sang Presiden dan akan sangat dahsyat bila Presiden memerintahkan langsung untuk mengejar para birokrat birokrat bermental “aji mumpung” sumber rumitnya perijinan dan investasi itu.
KEEMPAT. Membuktikan bahwa Kehutanan dengan perubahan system perijinan, orientasi keberpihakan, dan pilihan komoditas multi produk akan menjadi pintu masuk pembuktian bahwa sektor kehutanan telah menjelma menjadi sektor produktif. Berani melakukan langkah terobosan, inovasi dan adaptif terhadap perubahan lingkungan strategis.
Kehutanan akan menjadi sektor produktif yang mampu menyumbangkan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional yang kini ditetapkan sebesar 6 % per tahun. Dengan kata lain, idealnya kehutanan akan mampu memberikan nilai PDB yang lebih signifikan sekaligus diharapkan kembali mampu menjadi tulang punggung wilayah wilayah yang memiliki sektor ekonomi berbasis lahan.
KELIMA. Segera menyatukan langkah dan membangun soliditas rimbawan di semua lini dan lapisan. Sama halnya dengan rekonsiliasi Jokowi – Prabowo, maka politik identiitas di lingkup kehutanan karena berbagai perbedaan latar belakang harus diakhiri. Rimbawan harus berpikir pada tujuan yang jauh lebih besar dan strategis daripada hanya sekedar perebutan wahyu keratuan Manggala 1. Apatah artinya, sudah bertempur habis habisan, namun akhirnya semuanya tak memperoleh mahkota kekuasaan karena tampuk kursi kekuasaan diberikan kepada pihak lain.
Pada akhirnya, akan selalu ada tantangan bahkan perlawanan. Perlawanan itu, sekali lagi akan berasal dari mereka yang menolak perubahan, yang cinta status quo. Dan, ironisnya bisa jadi jumlah mereka tidak kecil, bahkan mungkin mayoritas. Mereka bisa jadi ada di birokrasi pusat dan daerah, kalangan dunia usaha, pengurus asosiasi, aktivis LSM, media massa, dan masih banyak lagi.
Sebagai penutup, berbagai konsep dan harapan di atas akan mampu diwujudkan menjadi sebuah realitas konkrit dalam pembangunan kehutanan, ataukan –meminjam istilah Geerzt- Kehutanan akan kembali terjebak pada proses proses involutif yang bersifat semu. Berputar – putar ke dalam dan tidak pernah benar benar melangkah maju ke depan menjadi penentu penyelesaian semua persoalan sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan NKRI ?
Semua akan tergantung pada kehutanan dan rimbawan itu sendiri. Namun harus diingat. Inilah momentum kehutanan berubah, atau kehutanan akan punah ditelan disrupsi globalisasi. Quo vadis kehutanan ?