Agung Nugraha – Rimbawan Antropolog
— Jelas sudah arah pembangunan nasional lima tahun ke depan. Tidak akan ada lagi tempat untuk minyak dan kayu. Keduanya telah usai. Pernyataan lugas itu disampaikan Presiden Jokowi pada Konggres V PDIP di Bali, 8 Agustus 2019. Sebuah kode keras sekaligus lampu merah kepada dua industri ekstraktif yang kini berada di persimpangan jalan.
Dua industri ekstraktif di atas kini memang tengah terengah – engah. Perannya semakin lemah. Kontribusinya pun kian parah. Tak cukup mampu membantu mendongkrak berbagai target ekonomi nasional. Mulai kontribusi pertumbuhan ekonomi dan kinerja ekspor. Hingga penyediaan lapangan usaha dan penyerapan tenaga kerja.
Sebaliknya. Alih alih berperan dan berkontribusi positip, ekonomi kayu (baca : hutan) malah kini menjadi beban. Sumber kegalauan Presiden. Tengok bencana kabut asap yang tak kunjung reda. Titik api terus bertambah. Sebagian asapnya bahkan sudah merambah batas negara jiran. Lagi lagi semua dampak bencana kebakaran hutan dan lahan.
Kondisi ini semakin mengukuhkan posisi hutan dan kehutanan dalam konstelasi geopolitik nasional dewasa ini. Sebagai sebuah sektor yang kelahirannya seakan akan dikutuk untuk di “kuyo-kuyo”. Menjadi kambing hitam atas berbagai persoalan yang melanda negeri. Bencana asap sejatinya bagi Rimbawan bukan hanya perih di mata, namun juga sangat perih di hati.
Tentu saja sangat pahit. Semua seakan – akan mengalami “amnesia” bahwa di masa lalu hutan adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Berkontribusi dan berkorban untuk menjadikan Indonesia sehingga bisa menjadi NKRI hari ini. Lupa bahwa Indonesia dalam berbagai literatur dikenal kaya sumberdaya hutan. Karenanya dijuluki zamrud khatulistiwa yang diperebutkan para kolonialis dunia. Hutan menjadi sumber kehidupan yang mengalirkan beragam manfaat ekonomi, ekologi dan sosial. Dari dulu hingga kini.
Itulah faktanya. kehutanan pasca dekade 1990-an memang terjun bebas. Hingga berada di titik nadir. Setelah pernah dicatat sejarah sebagai sektor yang “digdaya”. Sebagai sektor yang setara dengan minyak : sektor emas hijau. Dengan kontribusi devisa nasional terbesar kedua dari sektor non migas saat itu. Setelah ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT). Dan mampu menjadi gantungan 4 juta orang tenaga kerja langsung tak langsung. Mampu menghidupi 16 juta orang keluarga. Dengan segala multiplier effect-nya.
Potret Kehutanan hari adalah sebuah potert buram. Tak pernah lepas dari masalah. Ironisnya selalu menjadi pihak yang salah. Mulai deforestasi, degradasi, penebangan liar dan penyelundupan kayu illegal. Belum lagi ancaman kepunahan keanekaragaman hayati dan konflik tenurial. Hingga bencana rutin tahunan kebakaran hutan dan lahan yang kembali berulang terjadi dalam hari – hari ini.
Semua persoalan itu sejujurnya melibatkan berbagai pihak. Kelompok kepentingan yang sangat kompleks. Dengan tingkatan posisi sosial politik yang beragam. Bukan hanya di tataran lokal atau nasional saja. Melainkan juga dalam konteks regional bahkan global. Berkelindan. Kusut. Tidak jelas mana ujung mana pangkal.
Sudah jamaknya. Telunjuk tudingan atas carut marutnya kehutanan diarahkan pada dua aktor utama. Keduanya dinilai memonopoli dominasi hutan dan kehutanan. Dari hulu hingga hilir. Dari dulu hingga kini.
Sudah tentu telunjuk petama mengarah kepada para pelaku usaha kehutanan. Ia selama ini distigmakan tak lebih dari “binatang ekonomi”. Hanya menguras kekayaan Negara. Demi maksimalisasi pundi pundi keuntungan. Prakteknya jelas abai kelestarian lingkungan. Termasuk kesejahteraan masyarakat.
Walaupun, pengusaha hutan bekerja keras atas dasar aturan dan kebijakan Negara. Termasuk persetujuan dan pengawasan pemerintah. Kenyataannya, hampir semua raksasa pemilik bisnis kehutanan di masa lalu kini ambruk. Sebagian beralih ke sektor bisnis lain. Sebagian diantaranya Juga berbasis lahan.
Telunjuk kedua mengarah pada Negara (Baca : Pemerintah). Tentu saja yang dimaksud adalah birokrasi kehutanan yang selama ini menjadi pemegang wewenang pengurusan hutan. Stigma umum, birokrasi kehutanan sarat dengan perilaku yang jauh dari tata kelola hutan yang baik (Baca : KKN). Sistemnya tertutup, ekslusif, dan sangat kaku. Dampaknya, justru menghasilkan kinerja yang jauh dari visi dan amanat konstitusi. Hutan tidak lestari, sementara rakyat jauh dari sejahtera dan Mandiri.
Tidak ada yang membantah premis di atas. Menyatunya birokrasi yang merepresentasikan kepentingan politik dengan sektor bisnis yang mencerminkan kepentingan ekonomi. Dipastikan menghasilkan potret kehutanan buram sebagaimana hari ini. Pertanyaan bahkan gugatan yang kemudian pantas dikemukakan adalah dimana letak kesalahannya ? Apa yang menjadi faktor penyebabnya ? Pertanyaan yang lebih substansial adalah bagaimana mengatasi sekaligus mencari sumber dari muara kompleksitas persoalan kehutanan ini.
Mengacu pidato Presiden Jokowi di atas maka kunci jawabannya terletak pada SDM. Dengan kata lain, solusi atas segala persoalan hutan dan kehutanan terletak pada sumber rekrutmen rimbawan. Baik di gerbong birokrasi maupun di sektor bisnis. Termasuk di berbagai profesi kehutanan lainnya.
Ya semua harus kembali berkaca pada dunia pendidikan kehutanan. Konon, sumbernya kebijakan dan kebajikan.
Pertanyaannya selanjutnya. Apakah dunia pendidikan kehutanan yang selama ini menjadi sumber pencetak SDM kehutanan (Baca : rimbawan) telah siap menjawab tantangan Jokowi ? Lebih jauh, apakah dunia pendidikan kehutanan sudah memiliki konsep (Baca : Blueprint) bahkan sudah mengoperasionalkannya. Harapannya, dalam waktu singkat sudah akan built – in dengan revolusi industry 4.0. Dalam versi adaptasi : Revolusi Kehutanan 4.0.
Untuk memperoleh jawaban itu, tampaknya perlu melihat kembali posisi dan kondisi obyektif dunia pendidikan kehutanan. Secara umum. Garis besarnya.
PERTAMA. Kampus kehutanan masih menjadi menara gading yang belum sepenuhnya membumi. Dunia pendidikan kehutanan sejauh ini menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Istilah populernya Bussiness As Usual alias BAU. Ditengah berbagai persoalan kehutanan yang akut dan kronis, bahkan mendekati crucial, tidak ada sense of cirisis. Minimal dalam bentuk lontaran – lontaran kritis dan berani dari padepokan kampus kehutanan. Kampus kehutanan terkesan adem ayem. Semua asyik masyuk dengan dunia dan urusan masing masing.
Para Begawan kehutanan di padepokan perguruan tinggi sudah cukup puas dan bangga dengan status akademik (baca : gelar) yang disandang, serta ilmu dan teori yang dikuasainya. Tentu tidaklah semua. Namun umumnya para Begawan kehutanan memandang jauh dari menara gading semua fenomena kehutanan di era global hari ini. Dengan pendekatan kacamata teori yang –sejujurnya- sudah mulai usang dan tidak relevan.
Konektivitas soal produktivitas lahan, siklus tebang, jangka benah, teknik silvikultur, teknik pemanenan, perlindungan hutan, sosiologi pedesaan, dan beragam konsep dan teori lainnya. Semua itu diperhadapkan dengan dinamika sosial, ekonomi, politik dan berbagai aspek lainnya yang bersifat faktual. Ironisnya, tidak gayut lagi dengan konsep dan teori.
Pada akhirnya, semua konsep dan teori yang diterapkan menjadi tidak membumi. Tidak kontekstual. Dan tentu saja tidak menghasilkan output sebagaimana harapan. Betapa tidak ? Hipotesisnya saja sudah berubah total. Tidak mungkin lagi menggunakan asumsi lama. Begawan kehutanan harus melihat dinamika dan menyatu dengan perubahan kehutanan hari ini. Sembari melakukan “adjustment” atas konsep dan teorinya yang asumsi dan hipotesisnya sudah jauh berbeda. Bahkan sama sekali baru.
KEDUA. Jarak dunia pendidikan dengan dunia kehutanan riil semakin jauh. Bahkan ekstrimnya mulai berseberangan. Globalisasi dan pesatnya perkembangan teknologi IT telah menyebabkan perubahan drastis pada lingkungan strategis. Bahkan perubahan yang tak pernah diduga bentuk dan kecepatannya. Kampus kehutanan dan kehutanan kampus dituntut responsif menghadapi dinamika perubahan.
Persaingan bisnis (ekonomi), tuntutan lingkungan seperti pemanasan global dan perubahan iklim (lingkungan), tekanan global akibat karhutla (politik internasional) hingga konflik konflik lahan yang bernuansa sosial budaya. Sangat kompleks. Dan bisa mengancam keberagaman hingga NKRI yang sudah menjadi kesepakatan harga mati.
Semua terus berjalan dan membutuhkan penanganan cepat dan segera. Bukan bulanan apalagi tahunan sebagaimana dikesankan sebagai karakter kehutanan yang bersifat “long term” alias jangka panjang. Keputusan harus diambil dalam jangka harian bahkan dalam hitungan jam.
Faktanya, seperti ada jarak yang jauh. Antara konsep dan realitas. Kampus dengan teori – teoriinya dan kehutanan riil dengan problematika akutnya. Tidak nyambung.
Tidak mengherankan, SDM kehutanan yang masuk ke birokrasi atau dunia bisnis langsung menghadapi kegagapan perilaku. Bingung. Teori yang dibawa sangat jauh berbeda dnegan fakta yang dihadapi. SDM Rimbawan mengalami disorientasi. Bagi yang cepat berubah dan beradaptasi akan mampu bertahan bahkan berkembang. Namun banyak yang menyerah kalah. Memilih diam. Tidak berani mengambil resiko. Dan cukup puas dengan apa yang ada. Ujungnya menjadi sangat rapuh.
KETIGA. Kegagalan pembangunan karakter Rimbawan jebolan kampus kehutanan. Harus diakui, secara antropologis sistem pendidikan hari ini lebih berorientasi pada gelar. Sangat simbolik. Bukan kedalaman ilmu dan ketrampilan yang bersifat substansial. Alumni kehutanan hari ini memiliki prinsip; kuliah, ujian dan lulus.
Sungguh celaka. Tidak ada lagi pembangunan karakter. Mulai dari dialektika intelektual kampus. Keberanian demo kebijakan pemerintah. Membangun jaringan aktivis mahasiswa. Menulis artikel dan belajar melakukan investigasi ala wartawan independen. Magang menjadi pegiat LSM. Apalagi bergaul dengan masyarakat lewat program KKN atau riset yang berkualitas. Semua kehidupan dunia pendidikan kini diukur oleh efektivitas waktu dan efisiensi biaya. Visinya cepat lulus dan segera bekerja. Dengan gaji tinggi dan fasilitas lengkap. Bukan hanya pragmatis namun juga cenderung hedonis.
Itulah ironisnya. Pekerjaan yang diharapkan adalah pekerjaan yang berorientasi gaji dan fasilitas. Dan tentu saja di kota besar yang jauh dari kawasan hutan. Karenanya target paling dominan seorang Rimbawan muda adalah menjadi ASN atau manajer perusahaan swasta. Target jangka panjangnya menjadi pejabat atau direksi perusahaan. Memang tidak salah namun juga tidak sepenuhnya “pener”.
Yang memprihatinkan, Rimbawan muda enggan menjadi enterpreuner. Menjadi pelaku usaha. Menciptakan peluang usaha dan membuka lapangan kerja. Alasan klasiknya : tidak ada modal. Tidak ada bakat. Dan memang tidak dibangun karakternya saat kuliah di kampus kehutanan.
Ada hal yang lebih menyedihkan. Sebagai rimbawan muda, ketika diwawancara saat melamar pekerjaan. Yang ditanyakan pertama adalah apakah akan ditempatkan di hutan, dan apakah di hutan (site/lapangan) ada sinyal. Kalau tidak ada sinyal, maka sudah pasti wassaalam. OMG.
Dengan karakter demikian, pilihan menjadi seorang rimbawan sungguh sangat kontrakdiktif. Profesi Rimbawan. Namun tidak mau bekerja di hutan. Lebih memilih menjadi “rimbawan salon”. Rimbawan yang tidak mau baju dan sepatunya kotor karena lumpur. Tidak mau kakinya terperosok di tanah gambut. Tidak mau tangannya dihisap lintah. Dan, tidak mau menyatu dengan masyarakat lokal atau masyarakat adat yang dianggapnya lebih rendah dari sisi peradaban. Benar benar sesat pikir yang sangat konyol.
Tentu potret SDM rimbawan di atas adalah sebuah paradoks. Kegagalan membangun karakter seorang rimbawan yang menjadi awal keruntuhan jangka panjang sektor kehutanan. Seperti potret carut marutnya kehutanan yang kini terjadi.
Semestinya, dengan dinamika kehutanan di semua tingkatan, serta merespon pernyataan Presiden Jokowi tentang pentingnya SDM bagi pembangunan nasional lima tahun kedepan, dunia kampus telah mempersiapkan dan segera meresponnya.
Setidaknya telah membuat sebuah prototype kehutanan Indonesia lima tahun ke depan yang berbasis SDM professional, terampil dan kompeten dalam teknologi tinggi. SDM kehutanan yang penuh dengan terobosan ilmu pengetahuan dan teknologi, adaptasi sistem dan nilai global yang mampu menghasilkan birokrasi professional, menghasilkan pebisnis – pebisnis berdaya saing tinggi, dan pendamping masyarakat yang militan, kolaboratif dan konstruktif.
Tampaknya, semua pihak perlu melakukan refleksi atas potret pendidikan kehutanan nasional saat ini. Dan perlu pula segera merapatkan barisan untuk menindaklanjutinya. Bila tidak. Quo vadis pendidikan kehutanan Indonesia ?