Peluncuran Buku “Semburat Cahaya Istimewa: Inovasi dan Kreasi Pengelolaan Hutan KPH Yogyakarta”
Dalam sesi peluncuran buku, Aji Sukmono B. Nurjaman, S.Hut, M.P. selaku Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Provinsi DIY menuturkan bahwa pihaknya selama ini selalu berkolaborasi dengan Fakultas Kehutanan UGM dalam pengelolaan hutan di DIY. Beliau juga menjelaskan bahwa buku Semburat Cahaya Istimewa: Inovasi dan Kreasi Pengelolaan Hutan KPH Yogyakarta berisi dokumentasi kegiatan yang dilakukan di KPH Yogyakarta. Dokumentasi tersebut menggambarkan sinergitas multisektor antara pihak-pihak yang berkepentingan atas hutan, termasuk di dalamnya kolaborasi bersama masyarakat setempat. Kedepan beliau berharap pengelolaan hutan dapat dioptimalkan agar dapat selaras dengan pilar ekologi, sosial, dan ekonomi.
Talk Show Sesi 1 “Pemanfaatan Hutan di Era UUCK dan Dampaknya Terhadap Posisi KPH”
Setelah sambutan dan peluncuran buku, sesi pertama talkshow dibuka oleh Dr. Ani Adiwinata yang merupakan peneliti di CIFOR. Publikasi beliau sebagian besar berfokus pada tema sosial ekonomi dan analisis kebijakan kehutanan. Dalam kesempatannya, beliau memperkenalkan seluruh pembicara, antara lain: Dr. Andi Chaeril Ichsan, Ir. Madani Mukarom BSc.F,M.Si, Dr. Ir. Kuncoro Cahyo Aji, M.Si, dan Dr. Ir. Hery Santoso, M.P. Sesi pertama berlangsung cukup seru dengan model talk show hybrid (kombinasi daring dan luring). Talk show luring diselenggarakan di Zomia Coworking Space, sebuah cafe yang terletak di Fakultas Kehutanan UGM.
Talk show pertama diawali oleh Dr. Andi Chaeril Ichsan yang menyampaikan pandangannya terkait aspek fundamental perubahan pengelolaan hutan di tingkat tapak. Beliau memaparkan bahwa setidaknya terdapat tiga rezim kebijakan yang mempengaruhi performa pengelolaan hutan tersebut. Pertama, ada di UU No.32 Tahun 2004, dimana kewenangan kabupaten cukup kuat dan pembangunan KPH yang sesuai prasyarat dasar masif digalakkan. Kedua, pasca terbitnya UU No. 23 Tahun 2014, terjadi perubahan fundamental pada sistem pengelolaan hutan di Indonesia yang dicirikan dengan proses peralihan kewenangan yang signifikan, sehingga banyak menimbulkan berbagai persoalan yang berimplikasi pada ketidaktuntasan penyiapan prasyarat dasar pendirian KPH.
Selanjutnya, UU No. 11 Tahun 2020 atau sering dikenal sebagai Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang memusatkan kewenangan pengelolaan kehutanan pada pemenuhan kebutuhan ekonomi. Dalam hal ini, kewenangan terbesar berada di pusat, provinsi, dan private sector. Disisi lain, terdapat persoalan yang juga belum tuntas. Idealnya, KPH mampu memenuhi persyaratan dasarnya yang meliputi kepastian kawasan, kapasitas organisasi, dan perencanaan pengelolaan hutan. Namun demikian, hasil studi menyatakan pada awal operasionalisasinya, KPH dihadapkan pada permasalahan administrasi yang menyangkut kepastian kawasan. Saat ini terjadi ketidaksinkronan informasi dan kewenangan dalam konteks aturan turunan UUCK. Misalnya saja PP No. 23 dengan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam hal ini, tugas dan wewenang pemerintah daerah terkait pengelolaan hutan cukup jelas. UUCK tidak merevisi hal-hal fundamental mengenai tugas dan fungsi KPH. Pasal 17 dan 21 menyangkut KPH tidak anulir di dalam UUCK, sehingga KPH tetap memiliki kedudukan hukum yang relatif kuat.
Setelah pemaparan tersebut, moderator mempersilahkan Dr. Ir. Kuncoro Cahyo Aji, M.Si selaku Ketua Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi DIY untuk menyampaikan pandangannya dari segi praktisi pemerintahan. Pertama, beliau memaparkan tentang struktur kelembagaan KPH yang merupakan bagian dari pembangunan daerah yang termasuk dalam Rencana Pengelolaan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dalam hal ini, partisipasi masyarakat memiliki andil yang cukup besar. Pihaknya menyampaikan, UUCK dimungkinkan mengubah kelembagaan dari public sector menjadi private sector. Di satu sisi, DIY memiliki undang-undang keistimewaan yang memungkinkan pemerintah daerah untuk mengatur sendiri urusannya dalam merespon UUCK dan aturan turunannya (strategi adaptif). Beliau berpesan agar daerah lain juga turut menyelaraskan fungsi ekologi dan ekonomi supaya masyarakat dapat menjadi aktor utama penjaga hutan yang sejahtera.
Pemaparan berikutnya disampaikan oleh Dr. Ir. Hery Santoso, M.P selaku anggota Kelompok Kerja Perhutanan Sosial Nasional. Sosial ekonomi masyarakat berubah dari ekonomi subsisten menjadi ekonomi komersial. Hal itulah yang melatarbelakangi masyarakat sekitar hutan melakukan transisi komoditas dengan nilai ekonomi lebih tinggi. Namun sayangnya, hal ini tidak dipotret dengan baik oleh pengambil kebijakan yang memusatkan orientasi pada ekonomi subsisten. Tanpa bisa menjawab tantangan ini, lahan hanya akan menjadi beban. Kedua, beliau memaparkan mengenai kemampuan perhutanan sosial. Secara general, UUCK membuka peluang untuk penyelesaian paradoks kebijakan yang saling menegasikan. Meskipun demikian, dalam konteks perhutanan sosial, UUCK dapat menjadi bagian dari penyelesaian perkebunan di dalam kawasan hutan. Namun demikian, beliau menyangsikan upaya ini belum dapat menyelesaikan lanskap ekonomi dan sosial yang memiliki orientasi komersial, kecuali rencana aksi perubahan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) tidak difokuskan pada lahan-lahan kosong.
Paparan selanjutnya disampaikan oleh Ir. Madani Mukarom BSc.F,M.Si selaku Ketua Asosiasi KPH Indonesia. Dalam penuturannya, beliau menyebutkan bahwa dalam proses omnibus law yang menghasilkan UUCK, KPH hanya terlibat dalam proses sosialisasi saja. Adanya dinamika kebijakan dalam UUCK relatif meredupkan semangat kepala KPH. Beliau menambahkan bahwa keberhasilan kelola hutan ditentukan oleh kelembagaan KPH serta sinergitas kelompok yang cukup kuat. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), pihaknya menyatakan bahwa pemerintah daerah telah bersiap apabila diberikan mandat perhutanan sosial.
Dr. Andi Chaeril Ichsan menanggapi dengan dua kesimpulan umum. Pertama, pancaroba yang dihadapi disebabkan akselerasi sumber anggaran dan salah satu sektor yang terdampak adalah kehutanan. Implikasinya, terjadi delegitimasi yang menegaskan kesan terburu-buru dalam pembentukannya (konteks Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2021, dan turunannya). Di samping itu, beliau memandang terdapat beberapa potensi, yaitu ada ruang bagi pemerintah daerah untuk melakukan proses perizinan berusaha (tertuang dalam Pasal 181, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.8 Tahun 2021), revenue tambahan akan banyak masuk ke dalam kas nasional sementara daerah harus membuat strategi untuk meningkatkan pendapatan daerah.
Sebelum memasuki ulasan diskusi, masing-masing pembicara menyampaikan kesimpulan paparannya dengan tiga kata. Talk show sesi 1 ditutup dengan ulasan dari Bapak Rahmat selaku perwakilan dari Direktorat Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi KLHK, yang menyampaikan bahwa KPH adalah bagian dari Unit Pelaksana Teknis Daerah yang berperan penting dalam pengelolaan hutan lestari. Selanjutnya, Prof. Dr. Ahmad Maryudi selaku profesor kebijakan kehutanan UGM menambahkan, berbagai persoalan yang ada memerlukan sinergi antar perangkat untuk mengawal berbagai potensi permasalahan yang muncul pasca UUCK.
Talkshow Sesi 2. Potensi investasi di sektor kehutanan di era UUCK
Sesi kedua mengangkat tema potensi investasi di sektor kehutanan di era UUCK. Sesi ini dimoderatori oleh Dr. Agus Setyarso, yang merupakan Dosen Instiper Yogyakarta. Sebelum memulai talk show, moderator memperkenalkan 4 pembicara yang memiliki pengalaman di bidang yang mumpuni untuk mendiskusikan potensi investasi di sektor kehutanan. Pembicara pertama adalah Ir. Drasospolino, M.Sc beliau merupakan Direktur Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi, Ditjen PHPL, KLHK. Pembicara kedua yaitu Dr. Purwadi Soeprihanto S.Hut., M.E. selaku Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI). Dilanjutkan pembicara ketiga yaitu Dr. Arnanto Nurprabowo sebagai Staf khusus Menteri Investasi/BKPM. Terakhir, Dr. Fitrian Ardiansyah selaku Direktur Eksekutif Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (IDH).
Dr. Arnanto Nurprabowo, sesuai bidang ekspertisnya, menyampaikan mengenai kondisi iklim investasi kehutanan. Untuk Penanaman Modal Asing (PMA) berada di peringkat ke-22 dari investasi seluruh sektor di Indonesia, sedang untuk Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) berada di posisi ke-17 dari 38 sektor. Banyak investor yang serius ingin masuk, namun ruang-ruangnya terkunci oleh pihak swasta. Salah satu solusi yang ditawarkan oleh negara adalah Sistem Online Single Submission (OSS) melalui BKPM.
Dalam sesinya, Ir. Drasospolino, M.Sc memaparkan mengenai perizinan berusaha. Adanya perizinan merupakan terobosan dari kebijakan yang telah ada. Sebelum adanya terobosan ini, perizinan usaha dilakukan berdasarkan masing-masing jenis usahanya. Namun, dengan adanya kebijakan baru, dapat dimungkinkan lebih dari satu pemanfaatan hutan pada status kawasan hutan tertentu. Batasannya adalah kemampuan ruang dari hutan tersebut.
Sesi selanjutnya disampaikan oleh Dr. Fitrian Ardiansyah. Pihaknya menyampaikan bagaimana investasi berbasis usaha ini mampu mendorong sektor kehutanan. Investasi kehutanan sifatnya long term. Hal inilah yang menjadi risiko yang sangat dipertimbangkan oleh sektor perbankan. Oleh karenanya, diperlukan super finance yang bersifat mengikat. Beliau juga menuturkan, investasi lebih banyak dengan menyelesaikan prasyarat sebelum investasi masuk ke sektor kehutanan.
Selanjutnya, Dr. Purwadi Soeprihanto S.Hut., M.E. mengawali paparannya dengan key message masing-masing pembicara. Ia mendapat kesimpulan bahwa kehutanan adalah investasi jangka panjang, beresiko tinggi, dan memiliki return of investment yang rendah. Sektor kehutanan kurang optimal hanya bersandar pada kayu dengan cash flow yang lambat. Tantangan ke depan adalah mengubah mindset tersebut dengan mengoptimalkan tata kelola potensi dengan industri kehutanan modern.
Sesi ditutup oleh ulasan singkat dari Prof. Dr. Ahmad Maryudi selaku akademisi yang juga merupakan Ketua Sebijak Institute. Selama ini ada beberapa skema kebijakan yang mengakomodir sifat investasi kehutanan yang cenderung long term. Adanya tindakan-tindakan berskala kecil merupakan solusi dari permasalahan tersebut diharapkan dapat dikombinasikan dan diterapkan dalam skala yang lebih masif.
Sumber foto: tim dokumentasi Sebijak Institute