(05/04) Keith Bettinger, Ph.D., peneliti serta konsultan bagi UNDP dan USAID, menjadi invited speaker dalam pertemuan kedelapan dari Online Course Environment, Development, and Governance in Indonesia: Theories, Issues, and Trends. Online Course ini merupakan kolaborasi Sebijak Institute UGM, Forest and Society Research Group Universitas Hasanuddin, Dala Institute, dan American Institute for Indonesian Studies (AIFIS). Dalam pertemuan ini, Keith memaparkan dan mendiskusikan presentasi penelitiannya yang bertajuk “Political Ecology and National Parks in Indonesia” yang berfokus kepada fenomena di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Sebelum membahas mengenai penelitiannya, Keith terlebih dahulu bercerita mengenai topik pertemuan kali ini yang menjadi fokus risetnya di Indonesia dalam rangka studi doktoralnya. Berasal dari Louisiana, Amerika Serikat, Keith sudah lama memiliki ketertarikan dengan taman nasional, termasuk dalam pembelajaran international development dan juga studi doktoralnya dalam bidang Geografi di University of Hawaii. Keith juga mengungkapkan bagaimana ia memilih Indonesia sebagai lokasi studi karena adanya kesempatan dan didukung oleh bahasa yang lebih mudah dipelajari jika dibandingkan dengan negara lainnya seperti Kamboja.
Selanjutnya, Keith mulai membahas mengenai studinya dengan diawali oleh introduksi umum terkait TN Kerinci Seblat. TN Kerinci Seblat berdiri pada medio tahun 1990-an, memiliki luas sekitar 1,3 juta hektare yang meliputi empat provinsi dan 15 kabupaten/kota (berdasarkan catatan Keith di tahun 2012). TN Kerinci Seblat memiliki peran penting dalam hal lingkungan, termasuk di dalamnya perlindungan daerah aliran sungai (DAS), jasa ekosistem, dan perlindungan ekosistem serta habitat hewan-hewan seperti badak, harimau, tapir, dan burung. Saat ini, TN Kerinci Seblat telah dinobatkan UNESCO menjadi bagian dari Warisan Hutan Hujan Tropis Sumatra (Tropical Rainforest Heritage of Sumatra).
TN Kerinci Seblat memiliki wilayah yang relatif luas dengan didominasi zona inti dan zona rimba yang pengelolaannya terbatas. Keith menyebut bahwa adanya taman nasional di dalam wilayah daerah membuat Pemerintah Daerah (Pemda) kabupaten/kota tidak memiliki kontrol dan kewenangan atas wilayah tersebut (karena pengelolaan taman nasional tidak berada di Pemda kabupaten/kota). Hal ini terasa lebih signifikan lagi pada kabupaten/kota yang sebagian besar wilayahnya merupakan bagian dari taman nasional. TN Kerinci Seblat juga menghadapi berbagai masalah, di antaranya perambahan untuk kultivasi, jalan, pembalakan liar, penambangan liar, dan permasalahan sumber daya serta manajemen lainnya.
Ada beberapa latar belakang teoretis yang menjadi highlight dalam mempelajari persoalan ini, salah satunya adalah proses statemaking dan reverse statemaking, termasuk di dalamnya idealisme Indonesia sebagai negara Bhinneka Tunggal Ika dan motif serta faktor-faktor dalam kebijakan desentralisasi. Persoalan ini juga berkaitan dengan perkembangan paradigma pembangunan yang masih bergantung pada ekstraksi komoditas. Selain itu, perbedaan sudut pandang dan pemahaman atas fungsi taman nasional membuat adanya kontestasi sumber daya.
Berdasarkan hal tersebut, Keith dalam penelitiannya berusaha mempelajari bagaimana desentralisasi dan otonomi daerah memengaruhi konservasi di TN Kerinci Seblat, dilihat dari hubungan TN Kerinci Seblat dengan daerah sekitar dan juga memahami taman nasional sebagai objek kontestasi politik. Secara ringkas, studi ini berorientasi untuk memetakan dan memahami kontestasi lokal dan mikropolitik terkait akses dan kontrol yang berhubungan dengan TN Kerinci Seblat. Dalam studinya, Keith menggunakan metodologi campuran yang mengombinasikan review literatur, review kebijakan (termasuk dokumen perencanaan), kunjungan desa, observasi, wawancara informan kunci, dan ikut serta dalam pekerjaan Polisi Hutan (Polhut) yang berfokus menindak perburuan (poaching).
Melalui penelitiannya, Keith menemukan bahwa peta wilayah TN Kerinci Seblat tidak sejalan dengan realitanya, di mana terdapat banyak permukiman dan kultivasi yang dilakukan secara terang-terangan di wilayah taman nasional. Di sisi lain, Bupati sebagai kepala daerah kurang sejalan dengan pengelola TN dan tidak menjadikan TN sebagai prioritas kebijakan sehingga cenderung terjadi pembiaran, bahkan dukungan atas hal tersebut. Hal ini membuat pengelola TN dan Polhut tidak memiliki power yang mencukupi, salah satunya diindikasikan oleh adanya kasus pembakaran pos Polhut oleh warga setelah ada warga yang ditangkap Polhut akibat melakukan perburuan di TN.
Lebih jauh lagi, Keith menyebut bahwa tanaman yang dikultivasi di wilayah TN Kerinci Seblat bervariasi, mulai dari cabe, karet, kelapa sawit, hingga pohon-pohonan lain. Adanya tanaman jangka panjang ini tentunya memerlukan investasi awal yang besar. Keith menyebut bahwa kemauan warga untuk melakukan investasi awal yang besar ini mengindikasikan keyakinan (certainty) warga bahwa penanaman di wilayah TN memiliki risiko yang rendah, bahkan meski warga menyadari bahwa hal tersebut ilegal.
Salah satu problem utama yang menjadi pembahasan dalam paparan Keith adalah persoalan pembangunan jalan di wilayah TN. Berdasarkan catatan Keith, ada 33 jalan yang diajukan Pemda di mana jalan-jalan tersebut melintasi wilayah TN (sebagian di antaranya ditolak). Ada beberapa justifikasi dari pengajuan tersebut, di antaranya keperluan jalur evakuasi, keterikatan kultural, dan pembangunan ekonomi. Selain itu, ada indikasi bahwa di balik pengajuan tersebut terdapat kepentingan politis.
Kepentingan politis ini berkaitan dengan kebijakan desentralisasi yang menempatkan berbagai kewenangan di daerah dan memunculkan kebutuhan untuk mendorong perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dalam hal ini, ekstraksi menjadi salah satu upaya andalan dalam meraup PAD, sementara ekstraksi memerlukan jalan sebagai prasarana transportasi. Keith lalu mempresentasikan beberapa contoh kondisi real di TN Kerinci Seblat, termasuk pembangunan jalan dan kerusakan lingkungan yang ada.
Kepentingan pengelolaan TN yang menghambat kepentingan sosial ekonomi masyarakat ini juga menjadi objek politisasi oleh calon kepala daerah. Keith menyampaikan beberapa contoh topik yang dikampanyekan oleh calon kepala daerah terkait hal ini, seperti menjanjikan masyarakat untuk dapat bertani di taman nasional, akan membangun jalan melintasi taman nasional, konversi lahan basah lindung menjadi sawah, dan juga pembagian lahan. Atas dasar “aspirasi masyarakat”, gagasan dan propaganda mengenai pembangunan tersebar di masyarakat untuk menjustifikasi pertumbuhan ekonomi, termasuk dengan “memusuhi” kepentingan pengelolaan taman nasional.
Di sisi lain, kebutuhan masyarakat akan jalan yang melintasi TN memang reasonable dan nyata adanya. Keith memaparkan contoh kasus di jalan Muara Labuh-Kambang dan Renah Kemumu, di mana ada berbagai masalah seperti kepentingan rute evakuasi dan pembangunan ekonomi serta konektivitas transportasi. Selain itu, jarak yang jauh (karena memutari TN) dan harga BBM tinggi juga membuat biaya transportasi tinggi. Permasalahan tersebut pada akhirnya mampu diatasi dengan pembangunan jalan yang melintasi TN, terlepas dari kontroversi dan penolakan dari berbagai pihak termasuk pemerintah pusat, khususnya otoritas kehutanan.
Keith juga membahas mengenai fenomena pemekaran daerah yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Pemekaran daerah ini terjadi dalam berbagai tingkatan, mulai dari provinsi hingga desa. Salah satu faktor yang mendorong adanya inisiatif pemekaran ini adalah adanya keinginan dari daerah untuk menjadi “pusat” alih-alih wilayah perifer. Bagi wilayah yang mengalami pemekaran, pembangunan menjadi faktor penting demi mendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satu upaya yang umum dilakukan adalah pembangunan jalan yang membentuk pola baru bagi distribusi komersial dan meningkatkan konektivitas daerah, sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Di sisi lain, pembangunan sebagai outcome dari pemekaran ini menimbulkan dampak bagi faktor-faktor yang dianggap kurang berkontribusi dari segi ekonomi, termasuk di dalamnya eksistensi taman nasional. Di samping persoalan jalan dan pemekaran, Keith secara sekilas membahas mengenai migrasi rural dan ekonomi perbatasan (frontier economy), termasuk di dalamnya fenomena komodifikasi lahan dan pergesekan antara migran dengan warga lokal.
Setelah paparan, pertemuan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab bersama peserta Online Course. Diskusi tersebut mencakup berbagai topik, termasuk bagaimana relasi antara TN Kerinci Seblat dengan masyarakat dan Pemda. Selain itu, Keith bersama peserta juga membahas mengenai metodologi yang digunakan oleh Keith dalam penelitiannya.
Topik yang cukup menarik perhatian dalam sesi diskusi adalah pembahasan mengenai kemungkinan pemberian wewenang pengelolaan TN kepada daerah, mengingat bahwa salah satu persoalan mengenai taman nasional adalah kurangnya kewenangan yang dimiliki Pemda atas wilayah taman nasional yang berada dalam daerahnya. Keith menyebut bahwa outcome dari hal tersebut akan sangat bergantung kepada kondisi kabupaten/kota yang dimaksud (different outcome on different place). Bagi daerah yang didominasi taman nasional, kemungkinan perambahan sesuai kepentingan dan prioritas daerah akan cenderung lebih besar. Hal ini dapat dipahami mengingat selama ini kontrol daerah atas wilayah taman nasional tersebut cenderung lemah sehingga tidak dapat dimanfaatkan sesuai kebutuhan. Ditambah lagi, concern terkait kepentingan konservasi sering kali hanya beredar di tingkat pusat dan kurang menjangkau Pemda sehingga concern di daerah relatif rendah. Selain itu, kebijakan Pemda cenderung berfokus kepada tujuan jangka pendek alih-alih tujuan jangka panjang seperti konservasi.
Pertemuan kesembilan Online Course Environment, Development, and Governance in Indonesia: Theories, Issues, and Trends akan dilaksanakan pada Senin, 12 April 2021 dengan topik “Fisheries and the Ocean” yang menghadirkan Dr. Desiree Simandjuntak sebagai invited speaker. Pertemuan ini dapat disaksikan oleh masyarakat umum melalui live streaming di akun YouTube Forest and Society.