(29/03) Rangkaian Online Course Environment, Development, and Governance in Indonesia: Theories, Issues, and Trends kembali berlanjut dengan pertemuan ketujuh pada hari Senin, 29 Maret 2021. Online Course ini merupakan kolaborasi Sebijak Institute UGM, Forest and Society Research Group Universitas Hasanuddin, Dala Institute, dan American Institute for Indonesian Studies (AIFIS). Bertajuk “Plantation Governance, Politics, and Justice in Indonesia”, pertemuan ini menghadirkan Dr. Ahmad Dhiaulhaq, seorang peneliti post-doctoral di KITLV Leiden, Belanda.
Setelah menceritakan latar belakang ketertarikannya dalam isu mengenai plantation yang diawali dari penelitian terkait konflik, Dr. Ahmad memulai pemaparan intinya dengan membahas mengenai definisi plantation sebagai penyatuan lahan, tenaga kerja, dan modal dalam jumlah besar untuk memproduksi monocrops untuk pasar dunia (definisi dari Prof. Tania Murray Li). Dr. Ahmad juga menyinggung mengenai sifat plantation yang secara tersirat bersifat kolonial, dengan penyerahan produksi kepada pemain besar karena masyarakat setempat dinilai kurang mampu berproduksi dengan efisien. Plantation merupakan bentuk produksi yang berbasis perencanaan dan pengaturan semua aspek, mulai dari keruangan, kehidupan, hingga mentalitas di dalamnya.
Perkembangan plantation di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah kolonialisme, kapitalisme, dan modernisasi. Menggunakan kelapa sawit sebagai contoh, Dr. Ahmad menceritakan bagaimana kelapa sawit bermula sebagai kultivasi skala kecil di Afrika Barat pada awal abad 19 dan muncul di Indonesia pada awal abad 20 sebagai tanaman komersial di pesisir timur Sumatera. Seiring berjalannya waktu, jejak sejarah (termasuk di dalamnya penguasaan negara atas tanah) membentuk kerangka regulasi yang menjadi faktor penting dari ekspansi sawit di Indonesia.
Di balik kontroversi karena anggapan ketidakseimbangan revenue ekonomi dan dampak sosial lingkungan yang timbul, plantation khususnya kelapa sawit merupakan salah satu komoditas penting bagi Indonesia. Sebagai produsen palm oil terbesar di dunia, sawit memberi pemasukan besar bagi negara, mencakup lahan yang luas, dan memberi nafkah bagi jutaan orang secara langsung maupun tidak langsung. Akan tetapi, plantation kelapa sawit juga menjadi bidang yang selama ini berkutat dengan berbagai konflik.
Dalam beberapa dekade terakhir, penelitian mengenai plantation banyak berfokus kepada isu sosial dan lingkungan dari timber dan palm oil. Hal ini tak lepas dari perkembangan concern mengenai standar berkelanjutan (sustainability) yang mendesak industri plantation melalui berbagai aktivisme transnasional, kampanye global, dan tuntutan pasar. Seiring munculnya berbagai konsekuensi sosial, lingkungan, dan ketenagakerjaan dari plantation, perkembangan berbagai instrumen kebijakan privat (seperti FSC dan RSPO) serta self-regulation dari industri diharapkan dapat mendorong peningkatan dalam hal-hal tersebut.
Menutup sesi pertama pemaparan, Dr. Ahmad menyebut beberapa isu dan topik yang menjadi kunci dari penelitian dalam bidang ini. Isu dan topik tersebut di antaranya mengenai dampak lingkungan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), sistem regulasi dan sertifikasi, konflik dalam plantation, land dispossession, hukum lingkungan, dan dampak ekonomi serta pembangunan dari plantation. Ada berbagai aspek yang dapat menjadi kunci, di antaranya adalah determinasi posisi (pihak menang-kalah, dipertahankan-dikorbankan, diuntungkan-dirugikan), tingkat kesuksesan dan keefektifan proses, dan bagaimana suatu proses membentuk kondisi tertentu.
Dalam sesi tanya jawab pertama, Dr. Ahmad berdiskusi dengan peserta mengenai beberapa hal. Salah satu yang menjadi pembahasan adalah persoalan-persoalan umum yang ada dalam hal pengelolaan plantation, termasuk persoalan biaya, relasi dan keberpihakan, ketegasan penindakan, dan urgensi penguatan transparansi serta akuntabilitas pengelolaan. Selain itu, peserta juga mengutarakan informasi-informasi penting yang memperkaya paparan Dr. Ahmad.
Dr. Ahmad lalu melanjutkan pemaparannya dengan berbagi hasil penelitiannya mengenai konflik dan akses terhadap hukum mengenai kelapa sawit di Indonesia. Proyek penelitian ini dijalankan oleh 19 peneliti dari universitas dan lembaga nonpemerintah dengan dikoordinasi KITLV. Penelitian ini mengungkap puzzle bahwa inisiatif penyelesaian konflik sering kali tidak benar-benar menyelesaikan persoalan (khususnya dalam hal inequality penguasaan lahan dan SDA) sehingga perasaan ketidakadilan memicu konflik baru, mengakibatkan konflik lahan yang berulang dan tak selesai.
Berbeda dari penelitian lain yang umumnya melakukan studi kasus secara in-depth, penelitian ini cenderung melihat pola umum dari penyebab konflik terkait kelapa sawit beserta strategi penyelesaian dan outcome dari konflik. Pengumpulan data dilakukan dengan berbasis interview dan juda data sekunder seperti publikasi, dokumen, dan studi akademik. Dari total 544 kasus yang dihimpun, penelitian ini berfokus kepada 150 kasus yang terseleksi berdasarkan ketersediaan data dan pilihan acak.
Penelitian dari tim Dr. Ahmad menyebutkan bahwa konflik kelapa sawit di Indonesia berkaitan erat dengan institusi negara yang terinformalkan (informalized state institution), yaitu institusi yang kapasitas pelaksanaan hukum dan regulasinya terlemahkan akibat favor exchange dari aktor state dan non-state. Argumen yang diutarakan dalam studi ini adalah hubungan kolusi intensif yang bersifat clientelistic antara perusahaan dan otoritas negara menjadi penghalang bagi politik berbasis aspirasi masyarakat. Adanya hubungan ini membuat masyarakat kehilangan perlindungan hukum yang efektif atas hak-haknya (khususnya terkait lahan) dan menghambat penyelesaian konflik, termasuk pengembalian hak.
Eksistensi plantation di Indonesia berhubungan erat dengan penerapan sistem konsesi yang terbentuk dan eksis sebagai hasil dari dinamika sejarah. Salah satu yang sangat berpengaruh adalah kebijakan kolonial domeinverklaring yang menempatkan lahan tanpa kepemilikan formal sebagai milik negara. Orientasi pengelolaan sumber daya lahan milik negara untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat”, ditambah ketidakmungkinan kawasan hutan untuk dimiliki secara privat dan pendaftaran lahan yang tak kunjung selesai, memungkinkan negara menerapkan sistem konsesi, termasuk untuk plantation.
Berdasarkan analisis data, penelitian tim Dr. Ahmad menemukan bahwa dari berbagai potensi penyebab konflik terkait plantation kelapa sawit, penyerobotan lahan (without consent) dan permasalahan profit-sharing (berbasis plasma) menjadi penyebab kasus yang mendominasi. Hal ini menandai bahwa konflik industri dengan masyarakat cenderung disebabkan oleh mekanisme perolehan dan pengelolaan lahan konsesi, alih-alih kelapa sawit itu sendiri. Permasalahan ini diperburuk dengan tidak adanya solusi alternatif yang ditawarkan perusahaan (khususnya dalam kasus pengusiran) dan pemerintah yang kurang kooperatif.
Menanggapi fenomena tersebut, strategi protes dari masyarakat didominasi oleh demonstrasi kepada pemerintah lokal (untuk mendorong pemerintah mendesak perusahaan), hearing, pendudukan lahan, dan penyerangan properti. Upaya protes ini cenderung membesar seiring dengan pengabaian dan represi. Di sisi lain, salah satu strategi perusahaan dalam mengatasi adalah melibatkan kooptasi pemimpin masyarakat (untuk mengarahkan proses dan mendapat consent komunitas) yang justru menyebabkan konflik dan memperrumit penyelesaian. Selain itu, kolusi dengan pihak berwenang juga menjadi salah satu strategi demi mendapatkan privilege, regulatory favor, dan terhindar dari penindakan pelanggaran. Kemungkinan adanya fasilitasi atas represi dan kriminalisasi masyarakat kontra juga menjadi salah satu bagian dari kolusi tersebut.
Dalam upaya penyelesaian konflik, strategi yang paling sering digunakan adalah mediasi dan fasilitasi. Alternatif strategi lain yang digunakan antara lain pengadilan, negosiasi, dan mekanisme RSPO. Akan tetapi, mediasi ini dapat dikatakan sebagai strategi yang kurang efektif karena tercatat hanya 15% kesepakatan hasil mediasi yang terimplementasikan, baik penuh maupun parsial.
Outcome dari upaya penyelesaian konflik ini juga dominan kurang berhasil bahkan gagal, terlebih dari perspektif masyarakat. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi rendahnya tingkat keberhasilan, antara lain rendahnya kepastian lahan dankolusi sistemik perusahaan dengan pihak penguasa melemahkan mekanisme-mekanisme penyelesaian konflik. Selain itu, permasalahan internal masyarakat seperti problem kepemimpinan, resolusi komunitas, kekurangsesuaian kapasitas organisasi masyarakat lokal dalam resolusi konflik, dan kekurangmampuan masyarakat mengatasi kompleksitas konflik juga menjadi masalah tersendiri.
Dari aspek hukum, adanya berbagai celah dan juga upaya pelemahan hukum juga menghambat penyelesaian konflik. Beberapa fenomena yang terkait adalah mekanisme AMDAL terbaru yang meniadakan keperluan konsultasi dengan masyarakat, tidak adanya panduan detail dan mekanisme monitoring dalam hal free prior and informed consent (FPIC), dan kebijakan pembangunan plasma yang diperbolehkan dilakukan di luar area konsesi. Tak hanya itu, kelemahan hukum juga tampak dalam rumitnya persyaratan rekognisi hak lahan masyarakat adat dan diperbolehkannya pengajuan pelepasan kawasan hutan secara retrospektif bagi plantation ilegal.
Penelitian tim Dr. Ahmad menyimpulkan bahwa dalam konflik terkait kelapa sawit masyarakat lokal cenderung powerless dan kemungkinan penyelesaian yang dimilikinya sangat kurang efektif. Upaya-upaya korektif dalam hal ini juga sangat jarang. Penanganan konflik tersebut mengalami berbagai kesulitan yang timbul dari berbagai persoalan dalam kerangka hukum Indonesia, juga adanya institusi negara yang terinformalisasi akibat kolusi penguasa dan perusahaan. Oleh sebab itu, Dr. Ahmad menekankan perlunya melihat aspek politik dan ekonomi dari hubungan kolusif antara perusahaan, politisi, dan birokrat. Hal ini diperlukan untuk memahami tantangan dan prospek dari aspirasi dan protes masyarakat, khususnya terkait perubahan penggunaan lahan.
Setelah penyampaian kesimpulan, tanya jawab sesi kedua dilakukan bersama peserta pertemuan dengan membahas mengenai metode dan temuan dalam penelitian tim Dr. Ahmad. Mengenai metode, Dr. Ahmad mengakui bahwa pendekatan berbasis pola umum ini memang cenderung kurang menonjol dalam hal detail kasus yang tersirat bila dibandingkan dengan studi case by case, tetapi lebih menonjol dalam tergambarnya pola yang lingkupnya lebih menyeluruh. Salah satu pembicaraan menarik dalam diskusi ini adalah bagaimana masyarakat memilih strategi protes yang efektif berdasarkan probabilitas keberhasilan, termasuk besaran kekuatan “lawan” dan bekal bukti yang dimiliki masyarakat. Selain itu, diskusi mengenai implementasi FPIC di lapangan dan lemahnya bargaining power masyarakat Indonesia bila dibandingkan dengan negara lain juga menjadi topik diskusi yang hangat.
Pertemuan kedelapan Online Course Environment, Development, and Governance in Indonesia: Theories, Issues, and Trends akan dilaksanakan pada Senin, 5 April 2021 dengan topik “National Parks and Conservation” yang menghadirkan Dr. Keith Bettinger sebagai invited speaker. Pertemuan ini dapat disaksikan oleh masyarakat umum melalui live streaming di akun YouTube Forest and Society.