(01/03) Sebagai bagian dari kegiatan Online Course Environment, Development, and Governance in Indonesia: Theories, Issues, and Trends, pada hari Senin tanggal 1 Maret 2021 diselenggarakan pertemuan ketiga dengan tajuk “Dutch Colonial Land Use and Governance in Indonesia 1602-1945”. Rangkaian Online Course ini merupakan kolaborasi dari Sebijak Institute UGM, Forest and Society Research Group Universitas Hasanuddin, Dala Institute, dan American Institute for indonesian Studies (AIFIS). Pertemuan ketiga ini menghadirkan Dr. Bart Verheijen, Assistant Professor bidang sejarah kolonial dan global dari Leiden University, Belanda sebagai invited speaker.
Dalam paparannya, Dr. Bart membahas mengenai bagaimana land use dan pemerintahan berjalan selama masa kolonial Belanda di Indonesia. Perspektif historis (khususnya dari kepentingan pihak kolonial Belanda) yang diambil dalam paparan ini sangat menarik karena menyuguhkan sudut pandang baru yang tak banyak tersajikan dalam buku dan kajian sejarah di Indonesia. Secara garis besar, Dr. Bart membagi masa kolonial Belanda di Indonesia menjadi tiga fase, yaitu era awal yang identik dengan VOC, koloni modern, dan era liberalisasi serta politik etis.
Pada tahun 1602, berdirilah Dutch East India Compagnie alias Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang selanjutnya memonopoli rempah-rempah di Asia Tenggara untuk diperdagangkan di Eropa dengan harga tinggi. Uniknya, meski VOC merupakan perusahaan privat yang didanai oleh pemegang saham (bukan pemerintah Belanda), tetapi VOC memiliki kewenangan ala politisi, seperti menandatangani perjanjian, berperang, dan memerintah. Power ini memuluskan jalan VOC dalam monopoli dagang melalui berbagai cara, seperti kontrak dengan pemimpin lokal, mengontrol produksi (misalnya dengan menghancurkan lahan pertanian), dan mengatur harga.
Kolonialisme pada masa ini cenderung berfokus kepada aspek agrikultur di Jawa seperti kerja tanam paksa dan kontrol dagang, alih-alih penguasaan lahan. Salah satu tokoh yang menonjol pada fase ini adalah Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC yang menyerang Jayakarta (cikal bakal Batavia/Jakarta) dan menguasai wilayah-wilayah di Jawa, Ambon, dan Ternate. J. P. Coen jugalah yang bertanggungjawab atas genosida sebagai respons atas pemberontakan di Pulau Banda pada 1621.
Pada tahun 1796, VOC bangkrut sebagai implikasi dari kompetisi dagang dengan Inggris, perang melawan Prancis, dan korupsi internal. Kolonialisme di Indonesia juga sempat bergeser ke tangan Inggris (di bawah Sir Stamford Raffles) pada 1800-1815 akibat Perang Napoleon. Kembalinya Belanda ke Indonesia mulai 1815 menandai mulainya kolonialisme modern di Indonesia. Seiring dengan era baru ini, sistem administrasi modern juga diimplementasikan sejak abad 19.
Di masa ini, seluruh wilayah Jawa menjadi teritori Belanda dan berada di bawah kekuasaan Raja Belanda serta menjadi sumber pemasukan negara (bukan perusahaan dagang). Sistem land tax dihadirkan menggantikan kerja paksa dan monopoli dagang ala VOC, tetapi akhirnya gagal karena petani cenderung memilih bertanam padi ketimbang komoditas ekspor seperti rempah. Pada 1830, Johannes van den Bosch (Gubernur Jenderal Hindia Belanda) menerapkan sistem kultur (cultuurstelsel) yang menempatkan pemerintahan sebagai penguasa lahan dan memonopoli produk melalui pengaturan dagang oleh perusahaan dagang Belanda yaitu Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM).
Sistem berbasis perdagangan komoditas seperti nila, gula, kopi, teh, tembakau, dan kertas ini sangat sukses, bahkan menyumbang 25% pendapatan negara Belanda. Dalam fase ini, kolonisasi menjadi bagian dari kepentingan nasional dan juga kapitalisme global. Akan tetapi, sistem ini menimbulkan beban masalah seperti kemiskinan, kelaparan, kerusakan lingkungan, dan abuse of power oleh orang-orang Belanda maupun pemimpin lokal yang menjadi pengumpul produk serta pajak. Kondisi ini menimbulkan banyak protes, salah satu yang paling ikonik adalah Max Havelaar (1860) karya Multatuli.
Gelombang protes ini mengarah kepada politik etis dan liberalisasi mulai tahun 1870. UU Agraria dan UU Gula yang disahkan di tahun yang sama menandai era berkembangnya bisnis privat dan estate production, seiring dengan kebijakan yang mendorong investor Eropa menyewa lahan dan melarang pembelian. Merebaknya perdagangan dengan basis komoditas mentah (karet, kopra, timah, dan minyak) ini juga mendorong ekspansi ekonomi perusahaan ke pesisir timur Sumatera. Masa ini juga identik dengan politik etis yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup populasi koloni melalui pendanaan infrastruktur dan edukasi, pelonggaran ekonomi, serta penyetaraan hubungan. Meski begitu, posisi inferior rakyat Indonesia tetap eksis (khususnya dalam hal kebebasan politik) sehingga mendorong hadirnya gerakan nasionalisme terorganisasi seperti Budi Utomo (1908).
Dr. Bart juga menyebut bahwa periode pasca-1870 ini sebagai tonggak imperialisme modern. Di era ini, kolonisasi Eropa dan Amerika Serikat terhadap wilayah Afrika dan Asia meningkat pesat. Salah satu bagian dari kolonisasi intensif adalah penguasaan penuh Belanda terhadap wilayah-wilayah Indonesia pasca-1870.
Secara ringkas, monopoli dagang, pengaturan Belanda terhadap kultivasi dan kerja paksa, juga liberalisasi ekonomi serta kepemilikan lahan membentuk sistem ekonomi dan penggunaan lahan era kolonial. Kolonisasi ini menjadikan Indonesia sebagai sumber profit yang dikuasai pemerintahan kolonial Belanda. Di sisi lain, kesatuan wilayah koloni Belanda yang terbentuk sejak 1910 juga menjadi batas dan pondasi bagi Republik Indonesia yang berdiri setelahnya.
Selain paparan materi, pertemuan ini juga diselingi oleh diskusi dan tanya jawab yang dimoderatori oleh Dwi Laraswati dari Sebijak Institute. Proses pemaparan materi dan diskusi bersama Dr. Bart yang berlangsung dalam Bahasa Inggris tampaknya tidak menyurutkan antusiasme peserta, dilihat dari derasnya diskusi dan tanya jawab yang berlangsung. Sebagai penyambung dari pertemuan ini, pada hari Senin tanggal 8 Maret 2021 pukul 13.00 WIB dilangsungkan pertemuan keempat Online Course dengan topik “Access and Property Theory for Land Use Governance in Indonesia” yang menghadirkan environmental social scientist Dr. Rodd Myers, Ph.D. Pertemuan-pertemuan Online Course ini dapat diakses secara bebas melalui live streaming di platform YouTube pada saat agenda berlangsung.