(11/08) Sebijak Institute bekerja sama dengan Forest and Society Research Group UNHAS menyelenggarakan Webinar Online Course Environment, Development, and Governance (EDG) dengan mengusung tajuk Labour Migration and Remittances from The Lens of Agrarian Studies in Post-Colonial North Sumatra, Indonesia.
Webinar ini dibawakan oleh Suraya Afiff, Ph.D yang merupakan Associate Professor di Departemen Antropologi, Universitas Indonesia (UI). Pengalaman beliau yang cukup mumpuni dalam menganalisis berbagai isu agraria dan perubahan lingkungan membuat Webinar yang berlangsung selama kurang lebih satu setengah jam dipenuhi antusias peserta. Hal ini terlihat dari partisipasi aktif peserta dalam bertanya dan memberikan tanggapan.
Pada saat sesi pematerian, Suraya menyampaikan bahwa studi mengenai migrasi tenaga kerja dalam belum mendapat perhatian penuh. Padahal, kajian ini perlu dibahas secara luas dan komprehensif karena merupakan cakupan dari studi agraria. Presentasi yang dibawakan oleh Suraya merupakan hasil riset yang melibatkan 12 peneliti lapangan yang berlokasi di Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sumatera Utara.
Sebelum memaparkan materi, Suraya menyampaikan beberapa inti dari argumennya mengenai migrasi tenaga kerja dalam lensa agraria dalam poin-poin berikut ini:
- Migrasi tenaga kerja belum mendapat perhatian yang cukup dalam kajian perubahan agraria di Indonesia
- Migrasi tenaga kerja hanya semata-mata dipahami sebagai efek negatif dari land grab, penguasaan lahan luas oleh korporasi, atau hasil proses enclosure (pemagaran) lahan lainnya di pedesaan
- Kaitan antara migrasi tenaga kerja dan perubahan agraria di pedesaan belum dilihat sebagai proses yang kompleks dan luas nuansanya
Di dalam kajian pembangunan, migrasi mengalami evolusi posisi sejak berkembangnya optimisasi pembangunan dan migrasi pada 1973. Belakangan, Sustainable Development Goals (SGD’s) memandang migrasi sebagai sebuah perubahan positif dan merupakan bagian penting dari pembangunan ekonomi suatu negara. Padahal, hal ini bertolak belakang dari kajian agraria karena adanya migrasi merupakan efek dari ketersingkiran. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa migrasi yang menghasilkan remitansi merupakan bagian penting dari sumber pendapatan negara. Jika ditelaah, Indonesia mendapatkan surplus remitansi dari tenaga kerja yang bekerja di luar negeri. Artinya, migrasi memang menghasilkan remitansi yang signifikan bagi negara.
Suraya juga menjelaskan, dalam kerangka analisis perubahan agraria, enclosure atau pemagaran merupakan suatu pembatasan lahan bagi masyarakat untuk masuk ke suatu wilayah. Implikasinya, lahan yang dikelola masyarakat berkurang dan semakin banyak masyarakat tak berlahan (landless). Disisi lain, kesempatan kerja semakin terbatas karena jumlahnya tidak mencukupi untuk seluruh masyarakat. Akibatnya, masyarakat melakukan perpindahan kerja dengan urbanisasi atau bekerja di kawasan perkebunan di Indonesia maupun luar negeri (secara legal dan non-legal).
Suraya juga menyampaikan beberapa asumsi yang harus dicermati, yaitu:
- Ekspansi perkebunan besar meningkatkan migrasi tenaga kerja
- Anggapan hanya orang miskin, tidak bertanah, yang bermigrasi keluar desa untuk mencari pekerjaan. Padahal, semua yang memiliki akses untuk keluar (baik kaya maupun kurang berkecukupan) & dapat akses akan keluar (bermigrasi)
- Menganggap semua orang di desa ingin bekerja di sektor pertanian. Padahal, ada preferensi lahan di luar kawasannya yang bisa dikerjakan
- Tidak ada sejarah panjang terhadap migrasi pekerja, namun adanya migrasi karena adanya perubahan agraria di Indonesia
Untuk memberikan gambaran lebih jelasnya, Suraya menyampaikan hasil riset yang dilakukan di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Di lokasi ini terdapat perkebunan sejak zaman Belanda (1893) yang telah dinasionalisasi pada zaman Presiden Soeharto, yang dengan hasil bumi berupa tembakau, karet, sea salt, dan sawit. Kampung tersebut memiliki etnis pekerja yang mendominasi: Chinese, Javanese, Indians. Namun demikian, tidak ada yang mengakui identitas sebagai masyarakat adat, namun mereka melabeli diri sebagai migran lokal. Hal itu terjadi bahkan di kampung asli di wilayah tersebut.
Adanya migrasi dari upland to lowland disebabkan karena penguasaan lahan oleh perkebunan negara di kampung tersebut. Hal ini berdampak pada pemisahan areal perkampungan yang semula terpusat menjadi tersebar karena adanya perkebunan.
Secara umum, berdasarkan hasil riset, migrasi tenaga kerja keluar desa disebabkan karena:
- Lapangan pekerjaan terbatas
- Masyarakat umumnya lebih memilih pergi ke Medan atau Riau untuk bekerja sebagai buruh kebun sejak 1990 – gelombang awal migrasi TKI ke Malaysia karena upah yang layak
- Banyaknya tenaga kerja perempuan yang belum menikah maupun yang telah bercerai menyebabkan dominasi perempuan pada migrasi ke Malaysia
Sesi pematerian ditutup dengan dua kesimpulan dari Suraya Afiff yaitu: adanya peran penting migrasi dalam penghidupan rumah tangga di pedesaan dan efek migrasi dan remitansi cukup signifikan dalam dinamika perubahan agraria di pedesaan Indonesia.
Pasca pemaparan materi, sesi dilanjutkan dengan diskusi tanya jawab. Diskusi berlangsung dengan membahas beberapa hal, diantaranya: remitansi dan kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat, motif dari migrasi pedesaan, sharing mengenai perilaku migrasi oleh peserta, dan apakah kemudian fenomena ini perlu direduksi atau tidak. Suraya mengakhiri sesi diskusi dengan gagasan bahwa migrasi merupakan hak asasi yang tidak dapat direduksi. Namun demikian, fenomena ini merupakan tugas rumah dari negara, khususnya daerah sebagai penyedia lapangan pekerjaan.