(15/06) Online Course Environment, Development, and Governance in Indonesia: Theories, Issues, and Trends telah mencapai pertemuan terakhir. Berbeda dari webinar sebelumnya yang diwarnai oleh akademisi dan peneliti, sesi kali mengundang dua praktisi conflict and resolution di bidang lingkungan yaitu Arief Wicaksono dan Ilya Moeliono. Kedua invited speaker tersebut merupakan Director serta Senior Advisor dari Conflict Resolution Unit (CRU) dengan pengalaman di bidang lingkungan lebih dari 30 tahun.
Webinar ke-15 ini diselenggarakan atas kerja sama Sebijak Institute UGM, Forest and Society Research Group UNHAS, Dala Institute, dan American Institute. Mengusung tajuk Conflict-Sensitive Development: Insight of Conflict Resolution Practitioners, webinar pungkasan ini merupakan yang dinanti-nantikan oleh peserta karena berfokus pada solusi atas permasalahan lingkungan, pembangunan, dan juga tata kelola lahan di Indonesia.
Memasuki sesi pematerian, Arief Wicaksono memaparkan bahwasannya solusi bukan merupakan sesuatu yang final, melainkan suatu hal yang harus digali terus menerus. Ia juga menjelaskan bahwa konflik tenurial dan agraria adalah suatu keniscayaan sebagai implikasi dari model pembangunan berorientasi economic growth, kelimpahan sumber daya alam, serta tingginya keanekaragaman sosial budaya. Adanya konflik tersebut berawal dari pergeseran cara pandang objek lahan yang berujung pada monetisasi di hampir setiap lahan. Hal inilah yang menjadi akar mula penyebab konflik.
Setiap konflik menimbulkan gejala seperti tindak represi, okupatif, maupun litigasi. Namun demikian, bukan berarti tidak ada solusi sama sekali. Pembangunan peka konflik didefinisikan oleh Arief sebagai pendekatan intervensi pembangunan untuk menghindari kerugian dan menuju ke arah pembangunan ke arah positif dengan asumsi dasar bahwa tidak ada pembangunan yang netral. Dalam hal ini, terdapat dua posisi pendekatan yaitu posisi maksimalis dan minimalis. Posisi minimalis berkaitan dengan upaya meminimalisasi potensi negatif, sedangkan maksimalis mengarah pada kontribusi untuk mengatasi penyebab konflik.
Dalam konteks kebijakan, konflik seringkali muncul sebagai gejala di permukaan dengan faktor penyebab yang kompleks. Oleh karenanya, memahami duduk perkara konflik seringkali sulit dilakukan, sehingga diperlukan berbagai kajian atau assessment. Jika menilik sejarah, dinamika kebijakan merupakan respons atas konflik tenurial dan agraria dimulai sejak pasca reformasi ditandai dengan UU Pokok Agraria Tahun 1960 hingga UU Cipta Kerja pada 2020.
Secara konseptual, resolusi konflik merupakan upaya sistematis untuk menangani konflik berdasarkan seperangkat nilai dasar. Umumnya, terdapat dua strategi umum yaitu upaya mencegah konflik terbuka dan upaya resolusi konflik.
Dalam menyelesaikan sengketa, perlu memperhatikan posisi dan kepentingan masing-masing pihak. Namun, perundingan berdasar kepentingan lebih potensial menemukan solusi dibandingkan posisi. Proses perundingan dikenal luas oleh masyarakat dengan sebutan musyawarah. Musyawarah dipandang efektif untuk menyelesaikan sengketa karena setiap pihak berkedudukan setara. Meskipun demikian, musyawarah kadangkala tidak menyelesaikan sengketa dan hanya meredamnya saja.
Pada mekanisme penyelesaian konflik, CRU menerapkan beberapa prinsip yang merupakan penjabaran dari prinsip umum, persiapan semua pihak, dan perundingan. Dalam prinsip umum, para pihak mengakui konflik dan menyatakan niat baik untuk menyelesaikan konflik. Persiapan semua pihak melalui proses Participatory Action Research untuk mencari fakta bersama hingga menemukan win win solution. Perundingannya obyektif dan diplomasi terjadi secara dua arah.
Setelah pemaparan materi oleh Arief Wicaksono selaku Director of CRU, sesi dilanjutkan dengan Exercise yang dipimpin oleh Ilya Moeliono. Exercise ini melibatkan semua peserta dalam di dalam room webinar. Peserta akan dibagi ke dalam break out room dimana setiap kelompok akan mensimulasikan aktor tertentu sesuai arahan penyelenggara. Hal ini bertujuan untuk memotret permasalahan di lapangan secara lebih mendalam.
Dalam studi kasus yang bertajuk sengketa lahan karena investasi, Ilya membagi kelompok menjadi lima sesuai jumlah pemangku kepentingan yang akan diperankan. Kelima kelompok tersebut ditugaskan untuk menggali kepentingan melalui empat pertanyaan kemudian mempresentasikannya setelah break out room.
Sesi Exercise berlangsung selama 30 menit. Batu Akik adalah salah satu kelompok yang memiliki peran sebagai Dinas Pepohonan dan Semak Belukar yang didampingi oleh Nurul Hasfi selaku fasilitator. Diskusi dalam kelompok berlangsung secara dinamis karena masing-masing peserta memaparkan pengalamannya dalam resolusi kelompok sesuai latar belakang dan pengalaman masing-masing. Setelah rekayasa penyelesaian konflik usai, diskusi kemudian dipresentasikan.
Semua peserta kembali kepada main room untuk memaparkan hasil diskusi dengan metode roleplay. Presentasi dimulai dari Suku Dinka yang diperankan oleh kelompok Nemo. Dalam paparannya, Suku Dinka memperjuangkan kepentingan terkait status eksistensi kesukuan yang diupayakan dengan penggalian bukti fisik dan administratif. Di akhir, Suku Dinka menyatakan akan melakukan tindakan konfrontatif apabila cara yang ditempuh mengalami kenihilan.
Presentasi kedua dilakukan oleh perwakilan masyarakat yang memiliki multi-kepentingan di pihak internal karena heterogenitas masyarakat. Keterbukaan informasi, pengakuan hak atas wilayah, penyeimbangan kekuatan antara masyarakat dan perusahaan oleh pemerintah desa merupakan usulan upaya dari masyarakat. Presentasi dilanjutkan dengan kelompok Batu Akik yang berperan sebagai Dinas yang mempresentasikan hasil sesuai diskusi di atas. Selanjutnya, presentator adalah Yayasan Rakyat Merdeka yang menarasikan kepentingan fasilitator sekaligus mediator bagi masyarakat.
Diskusi berlanjut secara dinamis antar aktor Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perusahaan, dinas, masyarakat, serta komunitas adat. Usai roleplay, Ilyas selaku pemimpin diskusi menyampaikan refleksinya. Pertama, kepentingan yang telah diungkap sebaiknya memang kepentingan yang telah mencapai mufakat di internal pihak. Kedua, untuk mentransformasikannya ke dalam solusi perlu dibedakan antara kepentingan dan tuntutan.
Menanggapi refleksi tersebut Arief juga memaparkan bahwa simulasi yang dilakukan mendekati dengan konflik yang umumnya terjadi di lapangan. Ketimpangan antara komunitas adat dan perusahaan disebabkan oleh benturan administratif antara konsesi pemerintah dan masyarakat adat. Selain itu, secara tipologis mayoritas konflik di Indonesia merupakan warisan kebijakan masa lalu yang menjadi bom waktu di masa depan.
Dalam konklusinya, Ilyas memaparkan jika sebaiknya stereotype yang melekat pada aktor tidak mempengaruhi perspektif akademisi. Selain itu, simulasi peran Suku Dinka merepresentasikan arus bawah yang seringkali mengkooptasi elit kelompok. Menuju penutup, diskusi berlanjut untuk memperjelas peran LSM yang terdiri atas beragam plat kepentingan. Namun demikian Arief menambahkan, bahwa peran LSM dalam penanganan konflik CRU yakni sebagai pendamping masyarakat untuk menyeimbangkan posisi tawar. Diskusi berlanjut secara singkat membahas implikasi UU Cipta Kerja yang membatasi ruang bagi publik untuk merekonsiliasi konflik. Utamanya karena pengambilalihan peran pemerintah daerah oleh pemerintah pusat.
Sebagai pungkasan, Arief kembali menegaskan pentingnya pemahaman perkara dalam resolusi konflik.Solusi adalah sesuatu yang harus diupayakan terus menerus. Tidak ada jaminan perubahan kebijakan di masa depan, yang terjadi adalah compromising. Inkonsistensi regulasi juga dapat mengubah kepercayaan antar pihak yang bersepakat. Selain itu, dinamika kebijakan, dinamika politik, serta dinamika pasar global menjadi tantangan utama di hulu bagi resolusi konflik.
Tajuk Conflict-Sensitive Development: Insight of Conflict Resolution Practitioners pada Selasa, 15 Juni 2021 sekaligus menjadi penutup Online Course Environment, Development, and Governance in Indonesia: Theories, Issues, and Trends. Namun demikian Forest and Society dan Sebijak Institute akan menyelenggarakan occasional webinar yang akan diinformasikan kemudian. Pertemuan ini juga dapat disaksikan oleh masyarakat umum melalui live streaming di akun YouTube Forest and Society.