(07/06) Sebijak Institute UGM, Forest and Society Research Group Unhas, Dala Institute, dan American Institute for Indonesian Studies (AIFIS) kembali mengadakan kegiatan kolaborasi berbentuk webinar pada Senin, 7 Juni 2021. Webinar tersebut merupakan pertemuan ke-15 dari Online Course Environment, Development, and Governance in Indonesia: Theories, Issues, and Trends. Menghadirkan Carol J. Pierce Colfer, Ph.D. sebagai invited speaker, pertemuan ini membawa tajuk “Intersectionality: Gender and Participation”. Berbeda dari rangkaian OC EDG sebelumnya, pertemuan kali ini dilaksanakan secara non-live karena adanya perbedaan zona waktu, dilengkapi dengan diskusi intens terkait isu bersama kelompok-kelompok kecil.
Sebagai pembuka, Carol mengangkat bahasan mengenai fenomena eksistensi orang-orang pedesaan yang tinggal di hutan atau berhubungan dekat dengan sumber daya alam (termasuk hutan), tetapi suara mereka jarang didengar oleh pihak yang berpengaruh dalam pembangunan kebijakan. Dalam beberapa kondisi, hanya pemimpin komunitas (misal: kepala desa) saja yang terakomodasi, tetapi masyarakat lainnya terabaikan. Terkait dengan hal tersebut, perhatian mengenai isu intersectionality menjadi penting.
Perhatian atas isu ini juga berkaitan dengan pengelolaan SDA. Dalam upaya pengelolaan SDA dengan lebih adil dan efisien, salah satu hambatannya adalah adanya prasangka dan asumsi terhadap sifat-sifat orang pedesaan yang sering kali underestimated (misalnya dianggap kurang berpengetahuan). Asumsi dan prasangka ini perlu untuk diperiksa kembali, diakui, dan diatasi. Selain itu, penciptaan situasi yang memungkinkan orang bebas berbicara juga menjadi hal yang penting.
Carol lalu melanjutkan paparannya dengan membahas mengenai intersectionality secara lebih mendalam. Pada dasarnya, tiap orang memiliki beberapa identitas yang melekat pada diri masing-masing. Identitas tersebut dapat berkaitan dengan berbagai hal, seperti suku, ras, agama, pekerjaan, tempat tinggal, dan lain-lain. Tiap identitas tersebut memiliki implikasinya masing-masing dalam hal marginalisasi yang dialaminya. Sebagai contoh, orang dari suku minoritas di lingkungannya lebih berpotensi mengalami marginalisasi jika dibandingkan dengan orang dari suku mayoritas. Selain itu, tingkat marginalisasi yang dialami juga akan bergantung kepada identitas tersebut. Fenomena marginalisasi dan dominasi (termasuk adanya penindasan dan diskriminasi) inilah yang diteliti oleh kajian interseksionalitas.
Salah satu dimensi dari interseksionalitas adalah persoalan gender. Dalam hal ini, gender tidak hanya terkait perbedaan biologis, tetapi juga karakteristiknya di lingkungan masyarakat. Selain itu, interseksionalitas dalam hal gender tak hanya berkaitan dengan perempuan saja. Penelitian mengenai gender ini menjadi “lensa” untuk melihat implikasi sosial di suatu tempat yang sering kali terdiferensiasi berdasarkan jenis kelamin. Hal ini dapat bervariasi dan berubah dalam waktu dan tempat yang berbeda.
Salah satu contoh yang dipaparkan Carol adalah mengenai perbedaan fenomena gender di Jawa dan Kalimantan, khususnya Dayak Kenyah yang menjadi bagian dari penelitian Carol. Di Jawa, laki-laki secara umum cenderung dilihat sebagai petani, sedangkan perempuan menjadi ibu rumah tangga (meski dalam beberapa situasi tetap banyak terlibat dalam pekerjaan lapangan). Sementara itu, di Dayak Kenyah laki-laki lazim untuk “bertualang” dengan merantau (tai selai), sedangkan perempuan menjadi peladang. Dalam hal ini, tugas-tugas domestik rumah tangga dikerjakan oleh keduanya, meski tanggung jawab perempuan sedikit lebih besar.
Carol juga memaparkan perbandingannya dengan fenomena di Bushler Bay dan Long Segar di Amerika Serikat pada medio 1970-an dan masa kini. Pada periode 70s, di Bushler Bay laki-laki sangat mendominasi interaksi gender, sedangkan di Long Segar keduanya relatif disetarakan kecuali dalam masalah politik. Saat ini, kondisi di Bushler Bay telah jauh berubah dan laki-laki serta perempuan sudah relatif setara, sedangkan di Long Segar tak banyak berubah. Dalam hal ini, Carol kembali menekankan pentingnya untuk melihat keadaan karena adanya perbedaan tempat dan waktu akan membedakan situasi dalam konteks gender.
Sebagai lanjutan paparan, Carol beralih membahas mengenai partisipasi. Pada dasarnya, partisipasi terdiri dari beberapa tingkatan. Tingkatan terendah dalam partisipasi ada dalam bentuk semacam sosialisasi yang umumnya bersifat satu arah sehingga tidak mengakomodasi pemikiran orang-orang lokal. Sementara itu, tingkatan tertinggi dari partisipasi adalah adanya kemandirian dalam pelaksanaan suatu kegiatan oleh masyarakat, mulai dari analisis situasi, perencanaan, implementasi, dan evaluasi, termasuk di dalamya pengambilan keputusan-keputusan.
Untuk mengelola SDA dengan baik, maka diperlukan adanya keterpaduan yang setara dan adil anara pengetahuan dan pengalaman lokal dengan ilmu dan lensa global. Selain itu, penting juga untuk mengupayakan adanya akomodasi ide dari masyarakat marginal. Masyarakat yang termarginalisasi ini hadir dari berbagai situasi dan kondisi, dapat berupa suku minoritas, masyarakat berpenghasilan rendah, dan perempuan dalam kultur patriarkis.
Persoalannya, mengakomodasi ide masyarakat lokal dan/atau marginal ini sering kali menghadapi berbagai tantangan, di antaranya adalah takut atau malu berbicara, tidak lancar berbahasa Indonesia, dan tingkat pendidikan yang relatif rendah. Selain itu, adanya asumsi yang kurang baik (misalnya disebut “bodoh”) dan pengalaman buruk juga bisa jadi menimbulkan rasa kurang percaya kepada orang luar. Karena itu, pendekatan kepada masyarakat semacam ini memang memerlukan waktu agar timbul kepercayaan dan pemikirannya dapat didengar.
Berkaitan dengan fenomena tersebut, Carol menyebut bahwa adaptive and collaborative management (pengelolaan adaptif dan kolaboratif/PAK) menjadi penting untuk mendorong pengelolaan SDA yang lebih baik. PAK memerlukan adanya pembelajaran terhadap situasi dan kondisi setempat melalui metode etnografi dengan bekerja sama dengan masyarakat setempat. Selain itu, fasilitasi juga perlu rutin dilakukan dengan hati-hati, menggunakan fasilitator yang relatif netral, dapat mengontrol keseimbangan diskusi, dan memiliki jaringan sosial ekonomi yang multiskala. Carol juga menekankan bahwa proses PAK perlu dijalankan secara berkelanjutan.
Pertemuan ke-16 Online Course Environment, Development, and Governance in Indonesia: Theories, Issues, and Trends akan dilaksanakan pada Selasa, 15 Juni 2021 dengan topik “Conflict-Sensitive Development: Insights of Conflict Resolution Practitioners” yang menghadirkan Arief Wicaksono dan Ilya Moeliono sebagai invited speaker. Pertemuan ini dapat disaksikan oleh masyarakat umum melalui live streaming di akun YouTube Forest and Society.