oleh Diah Suradiredja – Pemerhati Kehutanan
(Ketua Harian Dewan Kehutanan Nasional Periode 2006 -2012)
Perkembangan sejarah tentang Perhutanan Sosial, diawali dengan catatan adanya perubahan paradigma pengelolaan hutan dari pengelolaan hutan oleh negara (forest management by state) ke arah pengelolaan hutan bersama masyarakat, yaitu pengelolaan hutan yang harus melibatkan dan mensejahterakan masyarakat sekitar hutan. Pemerintah sejak Tahun 2004 mendefinisikan bahwa Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara dan atau hutan hak, yang memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan terwujudnya pengelolaan hutan yang lestari, dan dilaksanakan berdasarkan pengelolaan hutan berbasis pemberdayaan masyarakat dengan memperhatikan prinsip-prinsip: manfaat dan lestari, swadaya, kebersamaan dan kemitraan, keterpaduan antar sektor, bertahap, berkelanjutan, spesifik lokal dan adaptif. Lengkap!
Lebih tegas, Presiden Joko Widodo membuka ruang yang lebih besar melalui Perhutanan Sosial (PS) yakni sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya. Pemerintah untuk periode 2015-2019 mengalokasikan 12,7 juta hektare untuk PS, melalui skema: (1) Hutan Desa (HD) dengan tenurial HPHD atau Hak PS Desa; (2) Hutan Kemasyarakatan (HKm), izin yang diberikan adalah IUP HKm atau Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan; (3) Hutan Tanaman Rakyat (HTR), izin yang diberikan adalah IUPHHK-HTR atau izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman Rakyat; (4) Hutan Adat (HA), tenurialnya adalah Penetapan Pencantuman Hutan Adat; dan (5) Kemitraan Kehutanan (KK) dalam bentuk KULIN KK atau Pengakuan Perlindungan Kemitraan Kehutanan dan IPHPS atau Izin Pemanfaatan Hutan PS di Pulau Jawa.
Kebijakan PS ini menjadi lebih terlindungi dan terus diupakan paska UU Cipta Kerja diturunkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Dalam bagian penjelasan dalam PP tersebut diamahkan bahwa “Dalam rangka meningkatkan iklim investasi dan kegiatan berusaha, peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja, kemudahan, pemberdayaan, perlindungan UMKM serta perkoperasian, dan percepatan proyek strategis nasional serta mempermudah dalam pengurusan dan memperoleh lahan khususnya Kawasan Hutan di Indonesia guna menciptakan lapangan kerja, maka dipandang perlu melakukan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2OO4”.
PS di Jawa setelah Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021
Mengapa perhatian pada PS di Jawa? Karena pada PP No 23/2021, Pasal 112 ayat (1), secara jelas mengatur tentang Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) dilakukan pada areal yang tidak dilimpahkan pengelolaannya kepada badan usaha milik negara bidang Kehutanan pada sebagian Hutan Negara yang berada pada Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten.
Ayat selanjutnya (2), pada pasal tersebut di atas, Penetapan KHDPK dilakukan dengan ketentuan: (a). tidak mengubah fungsi pokok Kawasan Hutan; (b). tidak mengubah bentang lahan pada Hutan Lindung atau Hutan Produksi; dan (c). penutupan Hutannya bukan berupa Hutan primer. Sehingga khusus di Jawa peralihan pengelolaan dari Perum Perhutani ke Pengelolaan PS tidak akan merubah fungsi hutan.
Dalam rancangan Peraturan Menteri tentang Persetujuan Pengelolan PS, ditetapkan bahwa (Pasal 174): (1) Menteri menetapkan areal KHDPK; (2) Areal KHDPK di pulau Jawa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari: lokasi IPHPS, areal PIAPS, hutan lindung yang rusak, hutan produksi dan hutan lindung zona konflik tenurial, sebagian hutan produksi zona adaptif, areal pengakuan dan perlindungan Kemitraan Kehutanan, dan areal yang sudah dilakukan pengelolaan hutan atas inisiatif masyarakat; (3) Pencadangan areal perhutanan sosial pada KHDPK ditetapkan oleh Menteri.
Dalam Bagian Penjelasan PP23/21 pun mengamanahkan perlunya dilakukan perubahan terhadap beberapa Peraturan Pemerintah pelaksanaan Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2OO4 tersebut di atas, dengan memperhatikan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, keberpihakan kepada Masyarakat kecil, mendorong pertumbuhan dan investasi, diantaranya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara, menyelesaikan permasalahan:
- penyelesaian tenurial Kawasan Hutan;
- efisiensi pengelolaan Kawasan Hutan oleh badan usaha milik negara Kehutanan dengan fokus pada pendapatan negara dan efektivitas perusahaan; dan
- pengurangan areal kerja badan usaha milik negara Kehutanan yang paling sedikit diperuntukkan bagi Perhutanan Sosial.
Lebih detil dalam Rancangan Permen Persetujuan Pengelolaan PS, unit pelaksana teknis pengelola KHDPK sebagaimana melaksanakan: (a) kegiatan pengelolaan perhutanan sosial; (b). koordinasi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan:
- penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan,
- penggunaan kawasan hutan;
- rehabilitasi hutan;
- perlindungan hutan; dan
- pemanfaatan jasa lingkungan
Konsekuensi Pengalihan Areal Perum Perhutani ke Pengelolaan PS
Beberapa hal yang harus dipikirkan oleh Pemerintah sebagai konsekwensi kebijakan PS di Jawa. Hitungan yang paling mudah adalah biaya-biaya yang harus disiapkan dan ditanggung; berkurangnya pemasukan Negara dari pajak-pajak lahan dan asset; dan persiapan di masa transisi karena UPT khusus yang akan dibentuk.
Sebagai konsekwensi atas penyerahan kembali lahan, asset dan pegawai BUMN kepada Pemerintah, maka daftar biaya yang harus disiapkan setidaknya adalah
- Biaya infrastrutur birokrasi, mulai dari pengaturan di MenPAN; rasionalisasi pegawai PHT ke Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengelola PS Jawa; Biaya transisi dari pekerja BUMN ke ASN pelayanan PS dan proses lainnya
- Biaya infrastruktur phisik kantor; biaya kepindahan pegawai dan fasilitas pegawai dll
- Biaya kelembagaan; pengaturan mekanisme kerja dan hal-hal untuk operasional UPT
- Biaya pengelolaan Aset yang diserahkan Perum Perhutani ke Negara/KLHK.
- Biaya masa transisi dari Perhutani ke proses Persetujuan Pengelolaan PS
Dari sisi pemasukan Negara, sebuah konsekwensi yang juga harus dipikirkan adalah berkurangnya pemasukan Negara dari sisi pajak yang selama ini dibayarkan oleh Perhutani sebagai BUMN Kehutanan. Pengembalian kepada Pemerintah akan menghilangkan pajak karena Pemerintah bukan objek pajak. Terlihat dari SPPT Perum Perhutani Tahun 2020, terindikasi nilai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang terdampak dari kebijakan pengelolaan hutan di Jawa yang akan dikeluarkan dari areal mereka untuk Pengelolaan PS.
Dari table di atas, terlihat luasan Areal Existing yang dikelola oleh Perum Perhutani seluas 2.435.920 ha yang terdiri dari HL seluas 638.162 ha dan HP & HPT seluas 1.797.759 ha dengan nilai SPPT PBB pada awal tahun 2020 sebesar Rp. 192.111.404.165,- atau rata-rata NJOP/ha sebesar Rp. 106.862,-
Dari penapisan yang dilakukan oleh Perum Perhutani, diperkirakan luasan yang akan diserahkan kepada Pemerintah adalah seluas 874.598 hektar. Dari luasan tersebut, maka indikasi nilai PBB yang terdampak atas penapisan areal kerja Perum Perhutani untuk areal cadangan Perhutanan Sosial adalah sebagai berikut:
- Indikasi Kelola Pemerintah
Indikasi luas areal yang dikelola oleh Pemerintah seluas 874.598 ha yang terdiri dari HL seluas 382.957 ha dan HP & HPT seluas 491.641 ha dengan nilai SPPT PBB pada awal tahun 2020 sebesar Rp. 47.074.024.041,- atau rata-rata NJOP/ha sebesar Rp. 95.749,-
- Indikasi Kelola Perum Perhutani
Indikasi luas areal yang dikelola oleh Perum Perhutani seluas 1.561.322 ha yang terdiri dari HL seluas 255.204 ha dan HP & HPT seluas 1.306.118 ha dengan nilai SPPT PBB pada awal tahun 2020 sebesar Rp. 145.037.380.124,- atau rata-rata NJOP/ha sebesar Rp. 111.045,- (yang akan tetap dibayarkan oleh Perum Perhutani ke Negara)
Dari perhitungan tersebut maka potensi kehilangan pendapatan negara dari PBB per tahun adalah sebesar Rp. 47.074.024.041,-. Apakah Pemerintah akan memberikan beban pajak ini kepada Kelompok PS melalui persetujuan?
Dari sisi kelembagaan, PS di Jawa ini akan berada dalam Areal KHDPK dan akan dikelola khusus oleh Unit Pelaksana Teknis yang ditetapkan oleh Menteri, yang akan membentuk unit manajemen kewilayahan berbasis unit KHDPK. Tugas dan fungsi unit pelaksana teknis sebagaimanaakan diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri. Salah satunya adalah mengelolaan aset tanaman, sumber daya manusia dan aset lainnya yang berasal dari badan usaha milik negara bidang kehutanan akan ditetapkan dengan keputusan Menteri terkait dan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kegiatan operasional sumber daya manusia dapat dibiayai oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
Apa yang harus disiapkan di masa transisi maupun saat pelaksanaannya:
- Sosialisasi mekanisme baru dalam proses permohonan Persetujuan Pengelolaan PS, melalui UPT;
- Permodalan yang mengupayakan bahwa hasil PS setidaknya dapat menutup Biaya Operasional UPT dan kehilangan pemasukan negara karena kebijakan tersebut; dan
- Peningkatan kapasitas SDM, karena masa peralihan dari pegawai BUMN menjadi ASN pelayan atau pendamping Diperkirakan sekitar 5.000 orang pegawai Perum Perhutani akan dilimpahkan kepada UPT khusus ini.
Terkait poin (3) di atas, SDM yang harus dikuatkan selain pendampingan PS di Jawa, Pasal 208 ayat (1) pada PP 23/2021 menyatakan bahwa persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial yang berada pada areal Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus KHDPK) atau PS di Jawa dapat dilakukan melalui Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan HTR. Pilihan 3 skema ini memerlukan kapasitas dari SDM di UPT khusus yang menanganinya, mulai pemahaman; penguasaan teknis dan pendampingan proses.
Secara khusus, UPT ini juga harus dapat memfasilitasi atau melayani “pengembangan usaha” yaitu meningkatkan kemampuan lembaga Perhutanan Sosial dalam usaha Pemanfaatan Hutan antara lain melalui: (1). bimbingan; (2). supervisi; (3). pendidikan dan latihan; (4). penyuluhan; (5). akses terhadap pasar; (6). permodalan; dan (7). pembentukan Koperasi. Hal ini sangat tidak mudah dan harus disiapkan dengan baik.
Pemikiran Solusi Bertahap
Upaya Pemerintah memberikan ruang kelola rakyat di Jawa melalui Persetujuan Pengelolaan PS, setidaknya harus berpikir beyond persetujuan. Perkembangan dari capaian Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) yang ada sekarang akan menjadi pembelajaran untuk 3 hal, yaitu:
- Harus ada inovasi-inovasi baru yang bagus sebagai feedback dari pesatnya perkembangan PS di lapangan;
- Mulai masuk pada bisnis proses dengan berbagai skema yang akan meningkatkan produktifitas lahan (paska ijin/persetujuan);
- Kesempatan dan peluang (opportunity) masuknya Green Investment dari mitra-mitra Pemerintah dan lapangan pekerjaan yang terbuka bagi masyarakat.
Oleh karena itu diperlukan transisi dari subsisten menuju komersil, sehingga harus ada roadmap per komoditi dengan memastikan adanya trial and error; feed back disetiap milestones; dan pilot project. Dengan tiga hal itu maka membayangkan “Paradise Products PS” dengan adanya kepastian legalitas; keberlanjutan usaha dan Green Investment. Oleh karena itu diperlukan pelatihan pada pendamping PS secara masal dan membangun modul-modul pelatihan yang berdasarkan prantik di lapangan.
Untuk mengurangi ketergantungan pada anggaran Pemerintah dan memberikan masukan pendapatan Negara yang hilang, maka PS di Jawa harus dapat mengembangkan dan menggagas produk-produk yang bisa dieksport, beberapa hal yang harus diwujudkan adalah:
- Kawasan yang bebas konflik dan kepentingan yang menjadi alas usaha PS;
- Mekanisme pembiayaan yang memerlukan peran Perbankan dan Green Investment mitra Pemerintah melalui BPDLH.
- Eksport hasil dari produk PS, dengan skala usaha bukan subsisten.
- BUMN yang menjadi offtaker bagi produk-produk yang dihasilkan PS.
- Produk-produk PS menjadi klaster komoditi tertentu, sehingga roadmap yang harus dibangun dengan Perencanaan Usaha (Business Plan) yang realistis.
Terkait dengan Kelembagaan PS, terdapat dua hal yang harus dikembangkan adalah (1) Holding Ultra Micro bagi produk prosuk PS (masuk dalam portfolio) yang harus di recognize oleh K/L Pemerintah dan masuk radar Perbankan, artinya usaha PS layak mendapat pendanaan dan memberikan PNBP pada Pemerintah; dan Level Governance Kelembagaan ada di koordinasi Gubernur. Gubernur yang harus diberikan peran yang besar untuk hal-hal yang akan diwujudkan dan memasukan perencanaan dan anggaran daerah untuk mewujudkan PS di Jawa.
[1] Tulisan ini merupakan masukan pemikiran kepada Pemerintah terkait Pengelolaan Hutan di Jawa berdasarkan kebijakan yang membuka ruang kelola rakyat melalui PP 23/2021 dan Rancangan Peraturan Menteri tentang Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial.
*Tulisan ini adalah opini penulis, tidak merepresentasikan posisi Sebijak Institute terkait dengan isu tersebut.
Sumber gambar: Dokumentasi penulis