(24/05) Sebijak Institute UGM, Forest and Society Research Group Unhas, Dala Institute, dan American Institute for Indonesian Studies (AIFIS) pada Senin lalu kembali melanjutkan kolaborasinya yang sempat diselingi oleh periode Hari Raya Idulfitri 1442 H. Online Course Environment, Development, and Governance in Indonesia: Theories, Issues, and Trends ini sudah menginjak pertemuan ke-13. Menghadirkan Prof. Dr. Yeon-Su Kim, Ph.D. dari Northern Arizona University sebagai speaker, pertemuan ini memiliki tajuk “Climate Change and REDD+”.
Sebagai pembuka, Prof. Kim menyinggung secara sekilas mengenai bagaimana faktor-faktor seperti tim yang besar, interdisipliner, dan merupakan kolaborasi internasional memiliki keterkaitan dengan high impact science. Memasuki materi utama, Prof. Kim memaparkan mengenai jasa ekosistem (ecosystem services) sebagai bentuk rekognisi dari benefit yang kita peroleh dari lingkungan (environment). Jasa ekosistem ini sebenarnya bukan merupakan konsep baru, tetapi baru terarusutamakan oleh Millenium Ecosystem Assessment (MA) 2005.
Menarik untuk diperhatikan bahwa Prof. Kim dan berbagai literatur menggunakan kata “services” dalam bentuk jamak (plural). Hal ini merujuk kepada keanekaragaman bentuk jasa ekosistem yang berbasis supporting, setidaknya mencakup aspek provisioning, regulating, dan cultural. Selain itu, MA juga mengaitkan antara jasa ekosistem dengan kesejahteraan (well-being) yang mencakup aspek-aspek seperti security, basic material for good life, health, dan good social relations. Eksistensi aspek-aspek tersebut juga memengaruhi bagaimana manusia mendapatkan kebebasan pilihan dan perilaku (freedom of choice and action).
Berkaitan dengan hubungan tersebut, muncullah ide mengenai valuasi dari jasa ekosistem (ecosystem service valuation) yang di dalamnya turut mencakup pemodelan ekonomis dan kultural dari faktor-faktor biofisik ekosistem sebagai dasar bagi valuasi, insentif, aksi, dan skenario terkait laanan ekosistem. Di satu sisi, valuasi ini dinilai dapat membantu menghasilkan keputusan dan kebijakan yang lebih baik, khususnya terkait pengelolaan ekosistem. Di sisi lain, muncul berbagai kritik mengenai ide ini yang dinilai masih terhambat berbagai permasalahan.
Masalah pertama adalah value articulation, mengingat kesejahteraan manusia bersifat multidimensi, mengakibatkan adanya berbagai bentuk artikulasi mengenai nilai-nilai terkait jasa ekosistem dan kaitannya dengan kesejahteraan. Artikulasi nilai ini juga terhambat oleh sifat alami ekosistem yang kompleks. Selain itu, aspek pasar yang mengalami bias distribusional dan adanya framing spatio-temporal juga menjadi masalah tersendiri bagi valuasi jasa ekosistem.
Aspek spasial dan temporal ini juga berperan sentral dalam trade off dan sinergi dari jasa ekosistem. Hal ini dikarenakan penawaran (supply) dan permintaan (demand) dari jasa ekosistem memiliki bentuk yang berbeda. Penawaran dari jasa ekosistem berwujud ekologis (karbon, tata air, makanan, energi, livelihood), sedangkan permintaan dari jasa ekosistem berwujud sosio-ekonomi dan hadir dalam berbagai skala, mulai dari global hingga komunitas masyarakat hutan. Perbedaan wujud tersebut menuntut adanya matching atau penyetaraan secara spatio-temporal antara penawaran dan permintaan. Dalam proses matching ini akan melibatkan fenomena-fenomena sinergis dan juga trade off yang dapat terjadi dalam konteks spasial, temporal, maupun di antara jasa ekosistem itu sendiri.
Prof. Kim melanjutkan paparannya dengan membahas aspek pembayaran (payment) dari jasa ekosistem (payment for ecosystem services) yang merupakan salah satu instrumen kebijakan terkait jasa ekosistem. Sebagai catatan, ada juga beberapa pihak yang menggunakan frasa jasa lingkungan (environmental services) dalam konteks ini. Mengenai definisi dari PES, Prof. Kim menyitir dari Wunder (2015) yang menyebut beberapa sifat penting dari PES yaitu transaksi sukarela, berdasarkan kesepakatan (agreed rules), dan melibatkan penyedia dan pengguna jasa. Poin penting lain yang ditekankan adalah conditionality (adanya sifat bersyarat), yaitu PES dilakukan hanya jika penyedia jasa melanjutkan suplai dari jasa yang dimaksud.
Untuk berinteraksi dengan peserta, Prof. Kim melanjutkan paparan mengenai kelebihan dan kekurangan PES melalui jaring pendapat via platform Slido. Dari pendapat para peserta, terdapat berbagai pendapat menarik dari peserta terkait kelebihan dan kekurangan PES, salah satunya mengenai anggapan bahwa PES merupakan bentuk komersialisasi dari layanan ekosistem. Berkaitan dengan upaya pengarusutamaan PES, ada tiga poin utama yang menjadi penghambat. Pertama, kegagalan informasi, yaitu kurangnya informasi yang mendetail dan scale-relevant dalam hal FREL, degradasi hutan, dan MRV. Kedua, kegagalan institusional karena kurangnya legitimasi dan keadilan dalam hak properti, pengelolaan, distribusi benefit, dan hak adat. Ketiga, kegagalan pasar karena mekanisme finansial dan pasar karbon yang tidak memiliki harga baku dan tidak cukup banyak investasi jangka panjang.
Permasalahan-permasalahan ini juga merupakan isu yang tak terselesaikan bagi keseluruhan upaya REDD+. Sebagai suatu upaya untuk membentuk nilai finansial dari simpanan karbon hutan, REDD+ terdiri dari tiga fase, yaitu persiapan, implementasi, dan result-based actions. Salah satu poin menarik yang disebutkan oleh Prof. Kim adalah bahwa REDD+ memiliki harga yang lebih tinggi dibanding bentuk-bentuk carbon credit formal lainnya.
Pada dasarnya, penggunaan REDD+ sebagai mekanisme PES melibatkan pihak penyedia dan pembeli, dengan pihak penyedia menyuplai jasa ekosistem (dengan memperhatikan kepada pembeli dan mendapat imbal balik berupa kompensasi. Akan tetapi, terdapat argumentasi bahwa framework konseptual yang digunakan sebenarnya tidak sesederhana itu. Ada urgensi untuk memperhatikan konteks, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan penyedia (aspek tenurial, kondisi sosial-ekonomi, dan heterogenitas masyarakat) maupun pembeli (posisi diplomatik, kesepakatan internasional, pasar karbon, dan aturan yang berlaku di negara pembeli). Oleh sebab itu, keberadaan perantara (intermediaries) dinilai penting untuk menjembatani penyedia dan pembeli dalam implementasinya, termasuk berkontribusi dalam pembentukan dan transformasi proses-proses terkait REDD+.
Setelah diselingi oleh sesi tanya jawab sesi pertama yang membahas mengenai REDD+ secara umum, Prof. Kim melanjutkan bahasan dengan mempresentasikan studi kasus REDD+ yang dilaksanakan di Lombok. Studi yang menganalisis feasibility proses-proses REDD+ ini mengombinasikan remote sensing, sensus populasi, focus group discussion, dan survei untuk mengestimasi future emission dan potential carbon credit.
Dalam opsi-opsi terkait kompensasi REDD+, terdapat dua kategori intervensi yaitu berkaitan dengan direct drivers dan underlying drivers. Intervensi yang menyasar direct drivers pada dasarnya menjanjikan return dalam waktu yang lebih singkat, tetapi bisa jadi tidak berkelanjutan jika tidak menyelesaikan permasalahan lain terkait underlying factors. Sebaliknya, intervensi yang menyasar underlying drivers akan lebih efektif, tetapi cenderung bersifat high cost baik terkait dengan dana maupun waktu yang dibutuhkan. Dalam konteks REDD+, direct drivers dapat berupa ekspansi agrikultur, ekstraksi kayu, dan peningkatan infrastruktur, sedangkan underlying drivers dapat berupa faktor-faktor demografis, ekonomi, kebijakan dan institusi, teknis, dan kultural.
Sejak COP 13 Bali pada 2007, sistem KPH dinilai telah menjadi salah satu kunci reformasi pengelolaan hutan. KPH berperan dalam mengimplementasikan kebijakan secara lokal, berjejaring dengan aktor-aktor lokal (contoh: hutan rakyat dan kerja sama), mensinergikan relasi antarkelompok untuk mencapai tujuan kolektif (program mandor), dan “menerjemahkan” shared goals dalam agenda-agenda di berbagai skala (misalnya tujuan WWF). Oleh sebab itu, KPH dinilai dapat menjadi intermediaries yang efektif bagi implementasi REDD+, dengan catatan bahwa ada urgensi untuk menopang KPH melalui: 1) rekognisi dan dukungan eksplisit bagi peran ganda KPH sebagai intermediaries kebijakan sekaligus PES, 2) peningkatan konsistensi kebijakan dan regulasi pemerintah, 3) peningkatan komunikasi kebijakan, dan 4) komitmen untuk penguatan kapasitas individu dalam KPH.
Sementara itu, untuk mempelajari trade off dan sinergi dari berbagai jasa ekosistem Prof. Kim mengamati skenario perubahan penggunaan lahan (pola historis, inventarisasi lapangan, dan wawancara), water modeling, dan juga penggunaan hutan di tingkat lokal (focus group discussion dan survei). Ada beberapa skenario yang dipelajari, yaitu skenario business as usual (BAU), community partnership, dan restorasi hutan. Skenario community partnership diperkirakan dapat memulihkan hutan sekunder ke level tahun 1995, sedangkan restorasi hutan dapat memulihkan seluruh hutan primer dan sekunder dalam skenario teroptimis. Dalam pemodelan aliran air permukaan pun skenario-skenario tersebut juga memberikan dampak perubahan jika dibandingkan dengan BAU.
Berkaitan dengan penggunaan hutan secara lokal, masyarakat mengenal hasil hutan bukan kayu/HHBK (baik yang ditanam maupun tersedia alami), hasil hutan kayu, dan tata air sebagai sumber daya yang disediakan oleh hutan. Hal ini juga dipengaruhi bagaimana desain fungsi hutan (fungsi produksi, lindung, konservasi) dan keamanan tenurial di wilayah tersebut. Diskusi dengan masyarakat menemukan bahwa mereka menganggap bahwa HHBK tanaman dan tata air merupakan provisi dari hutan yang paling berharga. Sumber daya kayu kurang dilirik masyarakat karena adanya ketidakpastian terkait timber harvesting.
Selain itu, masyarakat juga berkeinginan untuk meningkatkan kondisi hutan karena kurang puas dengan kondisi saat ini, terutama terkait dengan fenomena kekurangan air. Didasari pengalaman dampak negatif dari deforestasi, masyarakat berkeyakinan bahwa peningkatan kondisi hutan (contohnya dengan penanaman watershed tree seperti Beringin/Ficus) dapat memperbaiki situasi. Akan tetapi, kekurangan air sebenarnya juga dpengaruhi oleh infrastruktur yang kurang memadai, hujan yang tidak turun secara reguler, kapasitas penyimpanan air yang terbatas, dan isu-isu terkait distribusi air.
Berdasarkan temuan-temuan yang ada, disimpulkan bahwa lokasi studi kasus tersebut memiliki potensi dalam pengembangan proyek karbon hutan. Dalam hal ini, penting bahwa peningkatan tutupan lahan untuk meningkatkan stok karbon (melalui reforestasi) perlu memperhatikan keseluruhan lanskap dan efek yang timbul untuk meminimalisasi dampak negatif bagi jasa tata air dan penghidupan masyarakat lokal. Terkait dengan hal tersebut, sistem agroforestri campuran dapat menjadi strategi kunci untuk meningkatkan multifunctionality dari penggunaan lahan dan meningkatkan keragaman sumber nafkah masyarakat.
Pertemuan ke-14 Online Course Environment, Development, and Governance in Indonesia: Theories, Issues, and Trends akan dilaksanakan pada Senin, 31 Mei 2021 dengan topik “Multi-scalar Histories and Political Ecology: Researching Questions of Power, Labor, and Land-based Resources in Indonesia” yang menghadirkan Prof. Dr. Nancy Lee Peluso sebagai invited speaker. Pertemuan ini dapat disaksikan oleh masyarakat umum melalui live streaming di akun YouTube Forest and Society.