(30/04) Sebijak Institute UGM dan Forest and Society Research Group Unhas bekerja sama dengan American Institute for Indonesian Studies (AIFIS) kembali menyelenggarakan Webinar Series pada Jumat, 30 April 2021. Dalam Webinar Series edisi kedua ini, Dr. Cynthia Fowler mempresentasikan materi bertajuk “Fire Otherwise: Lifeways Enhancing Fire Management in a Changing World”. Wanita yang kerap dipanggil sebagai Dr. Cissy ini merupakan Chair of the Department of Sociology and Anthropology di Wofford College, Amerika Serikat.
Mengawali paparannya, Dr. Cissy membahas mengenai referensi-referensi yang digunakan dalam konteks pembahasan mengenai “fire otherwise” dan “lifeways enhancing fire management”. Setelah itu, Dr. Cissy melakukan jaring pendapat untuk mendapatkan kisah-kisah pengalaman terkait kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang dialami oleh peserta webinar. Ada beberapa pengalaman peserta yang cukup menarik, mulai dari munculnya gangguan kesehatan, fenomena kebakaran yang terjadi akibat land clearing perusahaan, hingga masyarakat yang abai terhadap peristiwa karhutla karena selama ini mereka tidak dilibatkan dalam pengelolaan hutan yang terbakar itu.
Memasuki paparan mengenai indigenous fire ecologies, Dr. Cissy membahas mengenai relasi sosial dan hubungannya dengan rezim gangguan (disturbance regime) yang mencakup karakteristik/atribut dari fenomena gangguan. Pada dasarnya, bagaimana kehidupan masyarakat berjalan mendapatkan pengaruh dari rezim gangguan tersebut. Di sisi lain, rezim ini merefleksikan situasi kehidupan sosial di lokasi tersebut. Hubungan antara relasi sosial dan rezim gangguan ini mengalami perkembangan dalam jangka panjang dan kondisi tertentu.
Tradisi pembakaran lahan oleh masyarakat yang selama ini sering dipermasalahkan juga merupakan budaya yang terbentuk dari sejarah yang panjang. Hal ini didasari oleh wawasan dan nilai-nilai yang dianut masyarakat mengenai lanskap ekstensif. Selain itu, pengetahuan lokal mengenai ekosistem yang sehat dan produktif juga menjadi dasar dari tradisi tersebut. Dalam hal ini, sejarah kolonialisme dan post-kolonialisme turut memberi pengaruh dalam budaya tersebut.
Lingkungan yang lazim mengalami kebakaran (fire environment) pun tidak selamanya dihindari. Dalam berbagai kondisi, lingkungan semacam itu malah ditinggali dalam waktu panjang dengan manusia dan spesies endemik yang mengalami coevolution seiring perkembangannya. Coevolution merupakan fenomena ketika ada dua spesies atau lebih yang saling memengaruhi satu sama lain secara resiprokal. Dalam hal ini, fauna-fauna endemik beradaptasi terhadap lingkungan yang terbentuk oleh praktik-praktik pemenuhan kebutuhan manusia (subsistensi).
Fire environment merupakan interaksi antara manusia, api, dan vegetasi yang sering kali menjadi bahan bakar bagi terbakarnya lahan. Komposisi dari vegetasi tersebut turut memengaruhi api itu sendiri, seperti bagaimana dan kapan datangnya api. Komposisi vegetasi juga memengaruhi perilaku api, karena terdapat vegetasi yang bersifat fire-facilitating ataupun fire-inhibiting.
Hal ini juga berkaitan dengan bagaimana manusia melakukan manipulasi-manipulasi dalam praktik pembakaran lahan, termasuk dalam kaitannya dengan praktik subsistensi manusia. Salah satu manipulasi yang dimaksud adalah bagaimana vegetasi atau bahan bakar disusun dengan cara tertentu sehingga bakaran dapat direncanakan. Tak hanya itu, lanskap wilayah yang dibakar juga dapat dibentuk dengan cara tertentu untuk menerima atau menahan api. Praktik subsistensi manusia tersebut memiliki berbagai dampak mendasar, seperti memediasi interaksi trophic dan memfasilitasi kesinambungan (persistence) dari stabilitas ekosistem dan keanekaragaman spesies.
Fenomena kebakaran antropogenik ini dapat diasosiasikan dengan berbagai sifat, termasuk dinamis, berpola, dan multiskala. Skala yang dimaksud dalam hal ini terkait dengan penyebaran pola pikir, mulai dari lingkup individu hingga populasi. Sifat-sifat tersebut membuat fenomena kebakaran antropogenik tidak dapat digeneralisasi dan ditangani dengan metode yang seragam. Dr. Cissy menekankan pentingnya memperhatikan skala dan kondisi kasus yang bersifat site-specific, serta bagaimana perbedaan antarkasus. Tak hanya itu, adanya perbedaan perspektif dan kurangnya pemahaman dalam kondisi tertentu di masyarakat juga perlu menjadi perhatian dalam penanganan kebakaran antropogenik.
Dalam lingkup ilmuwan, terdapat perbedaan antara social scientist dan natural scientist dalam memandang kebakaran, termasuk dalam kaitannya dengan fenomena antropogenik. Perbedaan yang dimaksud berkenaan dengan dampak api terhadap sosioekologi yang menguntungkan atau malah merugikan. Tak hanya itu, perbedaan latar belakang dan asumsi dari para ilmuwan tersebut menimbulkan pro kontra terkait concern untuk menghargai budaya antropogenik dan orientasi subsistensi dari masyarakat dengan kepentingan untuk menjaga nilai-nilai alamiah dari ekosistem.
Paparan dilanjutkan dengan membahas contoh fenomena di K. N. Hemba, salah satu wilayah di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Dr. Cissy mengungkapkan bahwa di Hemba, keberadaan agroforestri dihargai sebagai bagian dari ekosistem dan penyedia layanan bagi kehidupan sosial masyarakat. Secara lebih detail, agroforestri di sana memiliki berbagai benefit, mulai dari mempertahankan zona buffer, menghindarkan permukiman dari kebakaran, melindungi spesies yang sensitif terhadap api, menyokong ketahanan pangan, hingga menjadi simbolisasi identitas kultural. Oleh sebab itu, masyarakat tidak melakukan pembakaran terhadap agroforestri tersebut.
Akan tetapi, masyarakat tetap melakukan pembakaran di luar wilayah agroforestri tersebut. Meski begitu, pembakaran ini tidak dilakukan secara sembarangan. Masyarakat memanajemen api dengan memanfaatkan sifat fire-facilitating dan fire-inhibiting dari vegetasi dengan mengumpulkan, mengombinasikan, dan memanipulasi komunitas vegetasi tersebut.
Selama berjalannya webinar, Dr. Cissy juga beberapa kali melakukan intermezzo dengan sesi tanya jawab. Sesi ini mendiskusikan beberapa hal yang berkaitan dengan paparan Dr. Cissy. Beberapa topik menarik yang ditanyakan dan didiskusikan oleh peserta bersama Dr. Cissy adalah mengenai keterlibatan masyarakat dalam kebakaran hutan, dinamika pola tanam tanpa bakar di wilayah gambut, dan budaya serta manajemen pembakaran oleh masyarakat.