(12/04) Online Course Environment, Development, and Governance in Indonesia: Theories, Issues, and Trends yang diselenggarakan oleh Sebijak Institute UGM, Forest and Society Research Group Unhas, Dala Institute, dan American Institute for Indonesian Studies (AIFIS) pada Senin lalu telah melaksanakan pertemuan kesembilan. Berbeda dari pertemuan sebelumnya yang membahas mengenai taman nasional, topik dari pertemuan kesembilan ini adalah “Fisheries and the Ocean”. Invited speaker dalam pertemuan ini adalah Desiree Simandjuntak yang merupakan kandidat doktoral di Department of Geography and Environment, University of Hawaii at Manoa.
Dalam pertemuan ini, Desiree berbagi informasi mengenai riset yang dilakukan dalam studinya. Berjudul “A Market-Based Approach to Fishery Governance: Investigating Effectiveness of Fishery Certification in Sulawesi”, materi yang dipaparkan merupakan hasil dari studi kasus di masyarakat nelayan Toli-Toli, Sulawesi. Sebagai pengantar paparan, Desiree membahas mengenai kondisi umum industri penangkapan ikan global yang dinilai cenderung terlalu intens sehingga diperkirakan akan kolaps pada tahun 2050. Di sisi lain, efisiensi industri perikanan terus meningkat karena perkembangan teknologi, termasuk dalam hal fish locating dan peralatan penangkap serta penyimpan ikan.
Industri perikanan (khususnya industri berskala besar) secara umum memiliki berbagai dampak bagi lingkungan. Salah satu bentuk kerusakan lingkungan yang umum diketahui adalah kerusakan terumbu karang dan dasar laut serta polusi, termasuk karena sisa jaring yang tersebar di lautan. Selain itu, tingginya tingkat bycatch (penangkapan ikan nontarget tanpa sengaja) juga berkontribusi secara negatif bagi ekosistem laut. Bycatch ini bisa terjadi dalam berbagai kondisi, contohnya penangkapan spesies dilindungi dan spesies yang tidak dapat dijual (karena rusak, ukuran yang tidak sesuai, dsb.).
Dalam konteks environmental governance, pihak-pihak yang terlibat antara lain negara (state), komunitas masyarakat, dan pasar. Sertifikasi yang menjadi fokus penelitian Desiree merupakan salah satu bentuk dari pengaruh pasar. Sertifikasi dalam industri perikanan hadir dalam berbagai wujud, antara lain insentif ekonomi, label nasional/internasional (kepentingan kesehatan dan/atau lingkungan), dan juga berbagai label sertifikasi seafood seperti Dolphin-safe, Friends of the Sea, dan Marine Stewardship Council (MSC).
Dalam perjalanannya, proses-proses sertifikasi menghadapi berbagai kritik. Beberapa poin kritik tersebut meliputi barrier to entry yang menyulitkan (biaya awal dan audit rutin yang tinggi serta kebutuhan dokumentasi) dan sifat sertifikasi yang cenderung berat ke kepentingan ekologis sehingga mengesampingkan pendekatan sosial, termasuk mengenai kesejahteraan dan hak-hak manusia yang terlibat di dalamnya. Faktor-faktor tersebut berimbas kepada sulitnya sertifikasi untuk diimplementasikan oleh industri penangkapan ikan berskala kecil, padahal industri small scale memiliki kecenderungan untuk lebih padat karya dan efisien dalam hal tangkapan, penggunaan subsidi, kebutuhan bahan bakar, dan fish discarding.
Toli-Toli yang menjadi wilayah studi Desiree merupakan salah satu lokasi yang mengimplementasikan sertifikasi Fair Trade Capture Fisheries Program (FTCFP). Sertifikasi dalam bidang seafood ini merupakan bagian dari Fair Trade USA (FT) yang ditujukan bagi industri penangkapan ikan berskala kecil. Di Indonesia, sertifikasi FT berfokus pada komoditas tuna sirip kuning (yellowfin tuna) yang diekspor ke Amerika Serikat. Sertifikasi ini menawarkan benefit berupa harga yang lebih tinggi dibanding tuna non-sertifikasi. Selain itu, ekspor produk FT juga menghasilkan dana “premium” yang diperuntukkan bagi kepentingan komunitas nelayan (bukan individu).
Komunitas nelayan yang terlibat dalam FT diharuskan untuk memenuhi berbagai standar sertifikasi. Standar-standar tersebut hadir dalam hal struktur komunitas, pemberdayaan dan pengembangan komunitas, fundamental human rights, kondisi tenaga kerja (upah, kondisi kerja, akses terhadap layanan), manajemen sumber daya, dan trade requirement. Penerapan standar-standar sertifikasi ini dilakukan secara bertahap dan meningkat seiring waktu.
Setelah diselingi oleh diskusi singkat mengenai paparan sesi pertama, Desiree melanjutkan presentasinya dengan membahas fokus penelitiannya, yaitu kontribusi FT dalam hal pemasukan dan mata pencaharian (income and livelihood) serta partisipasi dan pemberdayaan (participation and empowerment). Ada beberapa kerangka kerja teoretis yang digunakan, yaitu neoliberalisme (self-regulation lebih efektif dibanding kontrol negara sehingga perlu deregulasi dan insentif), Community-Based Resource Management atau CBRM (masyarakat lokal lebih memahami pengelolaan), dan paradigma pembangunan yang bermaksud menghadirkan kebebasan.
Desiree mengemukakan bahwa penelitian ini dilaksanakan pada kurun waktu Januari hingga Oktober 2018. Berpusat kepada komunitas nelayan tuna berskala kecil, penelitian ini mengandalkan semi-structured interview dan observasi kehidupan masyarakat sebagai sarana perolehan data dan informasi. Ada beberapa poin batasan dan kondisi penelitian yang ditekankan Desiree, antara lain pelaksanaannya yang terbatas dalam lingkup desa setelah implementasi FT, status Desiree sebagai wanita akademisi dari luar wilayah, dan adanya beberapa kejadian insidental seperti perubahan lokasi, partisipan riset yang pasif, dan bencana alam yang terjadi selama proses penelitian.
Penelitian Desiree menemukan bahwa terdapat hubungan patron-client antara nelayan dengan buyer (baik buyer konvensional maupun buyer FT) yang membeli ikan secara langsung saat unloading. Hubungan ini terbentuk dalam jangka panjang karena bantuan buyer terhadap nelayan tidak hanya ada dalam aspek finansial (pinjaman), tetapi juga penyediaan sarana alat dan logistik bagi kegiatan penangkapan ikan serta komitmen pembelian yang pasti dan segera. Benefit ini membuat nelayan merasa terbantu dan memiliki utang moral.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bertransaksi dengan buyer FT di atas kertas lebih menguntungkan dibanding buyer konvensional. Hal ini dikarenakan penerapan harga di atas harga pasar dan juga tambahan dana premium yang tidak digunakan langsung oleh individu nelayan. Di sisi lain, komunitas nelayan juga menyebutkan beberapa drawback dari transaksi dengan buyer FT, yaitu perbedaan perhitungan berat tangkapan dan pembayaran yang terlambat, sementara para nelayan membutuhkan “uang cepat”. Akan tetapi, komunitas nelayan enggan untuk menyampaikan aspirasinya demi mempertahankan relasi dengan buyer FT. Adanya penghindaran akan dampak negatif yang lebih besar (breaking up) ini menyiratkan hubungan patron-client antara kedua belah pihak.
Selain itu, patronasi oleh buyer FT disuburkan oleh ketentuan FT yang menyiratkan ketidaksetaraan antara nelayan dengan buyer FT. Ketentuan yang dimaksud adalah aturan bahwa benefit FT hanya diperuntukkan bagi nelayan yang menyuplai buyer FT secara eksklusif (tidak menyuplai ke buyer konvensional). Padahal, buyer FT sendiri dimungkinkan untuk menyalurkan hasil pembeliannya ke luar rantai distribusi FT.
Dalam konteks income and livelihood, secara umum Desiree meringkas bahwa keberadaan sertifikasi FTCFP belum memiliki andil yang mencukupi bagi peningkatan pemasukan komunitas nelayan. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi sosio-ekonomi pre-existing nelayan yang membentuk cara dan kebiasaan nelayan dalam konteks pemasukan (termasuk kebutuhan akan “uang cepat”). Selain itu, mekanisme FT yang diimplementasikan memiliki efek samping berupa ketidaksetaraan dan juga membentuk ulang relasi antara nelayan dengan buyer maupun sesama nelayan.
Desiree lalu melanjutkan paparannya dengan beralih kepada topik participation and empowerment yang dilakukan via asosiasi nelayan. Dalam mekanisme FT, asosiasi nelayan menjadi wadah nelayan untuk mendapatkan harga FT dan dana premium yang disalurkan kepada asosiasi. Selain itu, asosiasi juga menjadi sarana bagi nelayan untuk mendapatkan benefit FT lainnya, seperti jejaring, workshop, pelatihan, dan partisipasi dalam perencanaan penggunaan dana premium. Sebagai umpan balik, ada beberapa tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh nelayan, yaitu mengikuti standar FT, menjadi nelayan aktif, berkomitmen terhadap FT dengan tidak menjual ke buyer konvensional, dan hadir dalam acara-acara FT seperti rapat dan pelatihan, serta memenuhi ketentuan lain seperti dokumentasi kegiatan berbasis logbook dan implementasi keselamatan kerja.
Realitanya, partisipasi nelayan dalam asosiasi tidak berjalan optimal karena rapat tidak selalu berjalan lancar akibat adanya penundaan, pembatalan, atau pengambilan keputusan yang tidak berjalan semestinya (nelayan tidak memahami konten rapat dan enggan menyuarakan pendapat, terutama pendapat kontra). Selain itu, implementasi fishery monitoring juga kurang efektif karena penegakan aturan yang kurang terhadap bad behavior maupun pelanggaran seperti pengabaian logbook. Nelayan juga cenderung hanya dianggap sebagai produsen semata karena kurangnya upaya konkret untuk menganalisis, mengukur, dan meningkatkan praktik penangkapan ikan.
Menutup sesi paparan, Desiree menyebut bahwa berdasarkan hasil penelitiannya, implementasi FT memang menghasilkan benefit bagi nelayan, tetapi tidak cukup transformatif (benefit pemasukan dan pemberdayaan relatif tidak signifikan). Hal ini turut dipengaruhi oleh kurangnya concern FT terhadap fenomena sosial seperti praktik adat dan relasi sosial-ekonomi. Selain itu, dalam konteks environmental governance pendekatan berbasis pasar seperti sertifikasi FT ini justru menyuburkan ketidaksetaraan. Oleh sebab itu, Desiree menekankan perlunya aksi dari negara dan komunitas, termasuk melalui reregulasi standar bagi proses penangkapan dan pengolahan ikan.
Pertemuan lalu dilanjutkan dengan sesi tanya jawab kedua yang membahas mengenai paparan Desiree secara keseluruhan. Beberapa topik yang diangkat berkaitan dengan praktik dan kesepakatan adat, keterlibatan pemerintah dalam industri perikanan, dan perbandingan dengan sertifikasi maupun kondisi industri perikanan di negara lain. Salah satu poin menarik yang didiskusikan adalah mengenai pentingnya studi environmental science di lingkungan akademik untuk mengakomodasi social science dalam pembelajarannya demi menyeimbangkan wawasan teoretis dan implementatif. Selain itu, dalam sesi diskusi Desiree juga mengutarakan beberapa kemungkinan tindak lanjut dari penelitiannya, seperti peran nelayan di luar desa, penelitian berbasis konsumen, dan proyeksi masa depan blue economy dalam konteks penggunaan sumber daya perikanan secara berkelanjutan.
Pertemuan kesepuluh Online Course Environment, Development, and Governance in Indonesia: Theories, Issues, and Trends akan dilaksanakan pada Senin, 19 April 2021 dengan topik “Flooding in Indonesia” yang menghadirkan Dr. Lisa Kelley sebagai invited speaker. Pertemuan ini dapat disaksikan oleh masyarakat umum melalui live streaming di akun YouTube Forest and Society.