(22/03) Energy governance menjadi isu yang dibahas dalam pertemuan keenam Online Course Environment, Development, and Governance in Indonesia: Theories, Issues, and Trends. Online Course ini merupakan kolaborasi Sebijak Institute UGM, Forest and Society Research Group Universitas Hasanuddin, Dala Institute, dan American Institute for Indonesian Studies (AIFIS). Pertemuan keenam ini menghadirkan invited speaker Dr. Abidah B. Setyowati, Ph.D., seorang peneliti interdisipliner yang berafiliasi dengan TU Delft Belanda dan Australian National University.
Mengawali sesi pertama paparannya, Dr. Abidah membahas mengenai isu energi yang penting untuk dipelajari karena berperan secara signifikan dan kontinyu bagi kehidupan masyarakat, menjadi bagian dari pembangunan berkelanjutan, dan hingga saat ini masih menjadi salah satu emitter terbesar gas rumah kaca (GRK). Berkaitan dengan hal tersebut, maka transformasi menuju energi rendah karbon dan terbarukan menjadi penting. Akan tetapi, transisi ini menghadapi banyak tantangan akibat political blind spot yang menimbulkan kerumitan, ketidakseragaman, dan kontestasi dalam proses transisi. Kurangnya fokus concern dan studi di level nasional dan subnasional juga menjadi salah satu poin yang dikritik. Tak hanya itu, transisi ini juga menimbulkan implikasi sosial signifikan yang menjadi tantangan besar.
Tantangan-tantangan tersebut juga berkaitan dengan aspek spasial. Aspek ini menjadi penting bagi studi energi karena transformasi sistem energi terjadi lintas geografis. Ada beberapa poin yang menjadi highlight dalam studi energi terkait dengan aspek spasial, yaitu bagaimana pengaruh perbedaan spasial terhadap ketidakmerataan pembangunan, ukuran dan cakupan fenomena, serta lokasi, skala, dan ruang dari sistem energi. Persoalan terkait akses, keadilan, dan kepentingan sejarah (termasuk peninggalan masa lalu dan investasi infrastruktur existing) juga menjadi poin kunci dalam hal ini.
Dr. Abidah mengakhiri sesi pertama dengan memaparkan tren dan topik kunci dalam studi energi (khususnya terkait transisi energi). Ada lima tren utama, yaitu kekurangan energi (energy poverty) dan akses energi di wilayah berkembang, demokratisasi energi, politik pembentukan pengetahuan energi, politik infrastruktur, serta keadilan energi (energy justice). Terkait dengan keadilan energi, Dr. Abidah mengemukakan kerangka kerja yang dapat direkognisi dalam desain dan implementasi kebijakan, salah satunya adalah triumvirat keadilan energi yaitu keadilan distributif, prosedural, dan rekognisi. Selain itu, perluasan elemen keadilan energi dan rekognisi berbagai pemahaman dan interpretasi energi juga penting demi mempromosikan transisi energi yang lebih equitable dan inklusif.
Paparan sesi pertama ini lalu diselingi dengan tanya jawab bersama peserta Course terkait dengan studi energi. Ada berbagai topik yang didiskusikan, salah satunya mengenai bagaimana studi terkait energy governance di Indonesia yang masih belum umum karena sebagian besar studi lebih berfokus dalam konteks teknis dan ekonomi dengan berbasis model teknis dan proyeksi. Selain itu, diskusi juga menyinggung mengenai bagaimana industri ekstraktif (khususnya terkait energi) masih belum benar-benar sejalan dengan upaya transisi energi. Meski ada beberapa pihak dari industri yang memiliki minat dan inisiatif dalam hal transisi energi, tetapi masih belum cukup menjadi arus utama (mainstream) sehingga transisi energi belum memungkinkan untuk terjadi dengan cepat dan mulus.
Memasuki paparan sesi kedua, Dr. Abidah membahas mengenai konteks energy governance di Indonesia yang sebenarnya cukup penting melihat eskalasi konsumsi energi, partisipasi transisi energi dalam NDC dan pemenuhan SDGs poin ketujuh (affordable and clean energy), serta visi pemerintahan Presiden Joko Widodo mengenai energi berkeadilan. Ada tiga kunci tantangan bagi tata kelola energi Indonesia, yaitu keamanan energi (energy security), akses energi, dan concern terkait lingkungan.
Dalam konteks energy security, pemenuhan kebutuhan energi Indonesia masih sangat bergantung kepada bahan bakar berbasis fosil, sementara ketersediaan batu bara terus menurun dan stok minyak Indonesia saat ini cenderung defisit. Hal ini juga berkaitan dengan akses energi, di mana akses bahan bakar berbasis fosil cukup riskan mengingat harga dan volatilitasnya yang tinggi. Tak hanya itu, akses masyarakat terhadap listrik juga masih belum merata. Sementara itu, komitmen Indonesia dalam mereduksi emisi GRK juga menjadi tantangan tersendiri bagi tata kelola energi Indonesia. Hingga saat ini, tata kelola energi Indonesia, khususnya transisi energi masih banyak terhambat oleh kompleksitas institusional dan regulasi, termasuk pengaruh berbagai kepentingan dalam pengambilan kebijakan.
Dr. Abidah melanjutkan paparannya dengan studi kasusnya yang melihat sejauh mana visi energi berkeadilan di Indonesia termanifestasi di lapangan, khususnya dalam hal elektrifikasi. Studi ini juga mencakup implikasi dari visi ini bagi keadilan sosial di masyarakat. Studi ini menggunakan kerangka kerja berbasis triumvirat keadilan energi yang sudah dipaparkan sebelumnya, yaitu keadilan distributif, prosedural, dan rekognisi.
Dalam konteks keadilan distributif, visi energi berkeadilan termanifestasi dalam kebijakan dan inisiatif yang berorientasi kepada aksesibilitas energi dan harga yang terjangkau. Beberapa bentuk kebijakan ini adalah mendorong investasi swasta dalam elektrifikasi berbasis energi terbarukan beserta regulasi ekonomi untuk mendorong investasi elektrifikasi di Indonesia bagian timur dengan pembentukan harga berbeda serta price cap untuk bentuk energi terbarukan tertentu. Akan tetapi, akses listrik yang adil dan merata terhambat oleh realita bahwa swasta hanya dapat berperan sebagai penyuplai listrik, sedangkan kewenangan distribusi listrik berada di tangan PLN yang gridnya belum merata (salah satu contoh kasus dalam hal ini terjadi di PLTB Siddenreng Rappang). Selain itu, pemberlakuan price cap juga mengurangi economical attraction bagi swasta untuk berinvestasi.
Masih terkait dengan monopoli distribusi listrik oleh PLN, hal ini juga berpengaruh bagi keadilan prosedural elektrifikasi. Hal ini dikarenakan regulasi yang menghambat pihak lain (non-PLN) untuk terlibat dalam kebijakan terkait listrik dan menjadi produsen listrik off-grid, khususnya produsen berskala kecil dan berbasis komunitas. Selain itu, permasalahan internal PLN, terbatasnya informasi terkait transparansi dan proses yang sedang berjalan di internal PLN, dan perubahan regulasi seperti UU Cipta Kerja juga menjadi faktor pembatas bagi keadilan prosedural.
Terkait dengan recognition justice, pihak-pihak yang menjadi perhatian dalam hal ini adalah masyarakat tanpa akses listrik yang mayoritas bertempat tinggal di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), kaum adat, dan minoritas. Dalam hal ini, elektrifikasi skala kecil dan off-grid sebenarnya potensial untuk mengatasi kekurangan energi, tetapi masih terhambat oleh regulasi monopoli PLN yang sudah disebutkan sebelumnya dan kecenderungan pemerintah untuk mengandalkan solusi skala besar serta on-grid. Selain itu, faktor feasibility ekonomi juga masih menjadi pertimbangan besar dalam pembangunan infrastruktur listrik.
Kesimpulan yang dipaparkan oleh Dr. Abidah adalah bahwa berbagai aspek temuan ini cenderung bertentangan dengan asumsi bahwa transisi menuju energi rendah karbon memiliki dampak yang netral. Pertama, visi energi berkeadilan yang tidak diejawantahkan secara sempurna tidak dapat mengatasi spatial inequality dan mendorong eksklusi serta mengurangi keberdayaan masyarakat yang berkekurangan energi dalam konteks kebijakan energi. Kedua, struktur dan relasi kuasa yang ada saat ini memengaruhi interpretasi visi energi berkeadilan dan outcome kebijakan finansial dalam transisi energi. Ketiga, peran swasta dalam mengatasi kekurangan energi sangat perlu untuk diteliti. Selain itu, penyertaan kembali dari peran dari pendanaan publik juga diperlukan.
Paparan sesi kedua ini kembali dilanjutkan dengan tanya jawab yang berlangsung menarik. Topik diskusi dalam sesi ini mencakup berbagai hal, salah satunya adalah argumen bahwa monopoli distribusi listrik oleh PLN merupakan bentuk pemenuhan kewajiban negara dalam distribusi energi sesuai UUD 1945. Diskusi juga membahas mengenai polemik apakah pencabutan monopoli ini akan menguntungkan, karena beberapa penelitian menyatakan bahwa willingness to pay (WTP) masyarakat sebenarnya masih lebih tinggi dari tarif listrik PLN. Selain itu, tanya jawab juga menyinggung berbagai topik seperti potensi penerapan EBT berbasis komunitas dan dampak sentralisasi penyediaan listrik.
Pertemuan ketujuh Online Course Environment, Development, and Governance in Indonesia: Theories, Issues, and Trends akan dilaksanakan pada Senin, 29 Maret 2021 dengan topik “Plantation Governance, Politics, and Justice in Indonesia” yang menghadirkan Dr. Ahmad Dhiaulhaq sebagai invited speaker. Pertemuan ini dapat disaksikan oleh masyarakat umum melalui live streaming di akun YouTube Forest and Society.