(15/03) Kolaborasi Sebijak Institute UGM, Forest and Society Research Group Universitas Hasanuddin, Dala Institute, dan American Institute for indonesian Studies (AIFIS) dalam kegiatan Online Course Environment, Development, and Governance in Indonesia: Theories, Issues, and Trends kembali berlanjut pada Senin (15/03) ini. Dalam pertemuan kelima ini, Prof. Dr. Ahmad Maryudi (Ketua Sebijak Institute) hadir sebagai pembicara dengan mengusung topik “Main Kayu”. Fokus utama bahasan pertemuan ini adalah sejarah pengelolaan dan pengusahaan hutan di Jawa dan luar Jawa. Salah satu poin tinjauannya adalah segi politik dan kebijakan yang dianggap memiliki kemiripan dari waktu ke waktu, termasuk bagaimana framing kepentingannya.
Diselingi pemutaran lagu Iwan Fals yang berjudul “Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi” sebagai pemicu diskusi, Prof. Maryudi mengutarakan bagaimana kebijakan kehutanan menghadapi dua problem utama: kebijakan yang terinflasi sehingga tak sesuai dengan kaidah SFM dan pelanggaran regulasi dalam praktik lapangan yang juga memperburuk inflasi kebijakan. Aspek politik-ekonomi (konteks kemunculan kebijakan, faktor struktural dan institusi, interaksi dengan pasar global) dan ekologi (transformasi SDH) menjadi cakupan yang didiskusikan dalam pertemuan ini.
Pengusahaan hutan di Jawa sudah marak sejak 1870, sedangkan di lingkup nasional (termasuk luar Jawa) baru berkembang pesat mulai medio 1960. Pada masa tersebut, muncul berbagai regulasi seperti UU Pokok Agraria dan UU sektoral, termasuk UU Kehutanan. Sejak saat itu, pengelolaan dan pengusahaan hutan di Indonesia terus berkembang dengan didorong berbagai faktor, seperti diskursus global modernisasi ekonomi, pembangunan kapitalis berbasis investasi, dan privatisasi sumber daya berupa klaim atas hutan.
Melanjutkan paparannya, Prof. Maryudi mengulas mengenai kebijakan-kebijakan di masa lalu yang mengalami inflasi dan menimbulkan berbagai implikasi. Pada medio 1970, pengusahaan kayu menjadi booming, khususnya ekspor yang didominasi kayu bulat. Ekspor hingga 20 juta m3/tahun menyumbang 20% dari nilai ekspor, menjadikan kehutanan sebagai primadona bersama sektor migas dalam peningkatan devisa yang hampir mencapai 3000%. Dinamika industri kehutanan ini tentunya berlangsung seiring dengan kemunculan dan perubahan kebijakan kehutanan, termasuk merebaknya konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH).
Salah satu kebijakan yang cukup populer pada masa itu adalah Tebang Pilih Indonesia (TPI) dan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) yang di dalamnya menyatakan bahwa diameter tebang minimal 50-60 cm berdasarkan asumsi pertumbuhan. Kebijakan ini dinilai juga bertujuan untuk mengakomodasi faktor teknologi dan permintaan.
Efek samping pendorongan industri kayu lokal untuk terintegrasi vertikal melalui pengaturan industri asing dalam wujud pembatasan usaha (1981) dan pelarangan usaha (1986) juga menjadi pembahasan. Karena kebijakan integratif ini, perspektif terkait nilai kayu berubah. Kayu baru mendapatkan “nilai”nya setelah menjadi produk sehingga bahan mentah cenderung kurang dihargai dan terbuang (efisiensi rendah karena limbah tinggi). Seiring dengan meningkatnya permintaan, menggiurkannya produksi ini juga melatarbelakangi tindakan “cuci mangkok”, yaitu peningkatan pasokan kayu industri dengan kembali menanam di petak tebang sebelum rotasi yang ditentukan (prematur).
Bersamaan dengan perkembangan industri kayu, muncul kebijakan terkait Dana Jaminan Reboisasi (DJR) sebagai upaya mendorong pemulihan lingkungan melalui reforestasi. DJR menarik jaminan dari perusahaan sebesar $4/m3 yang dikembalikan setelah perusahaan melakukan reforestasi. Akan tetapi, nyatanya sebagian perusahaan justru “merelakan” dana yang dijaminkan sebagai bentuk pelepasan tanggung jawab reforestasi. Dana Reboisasi (DR) yang berbasis tarif menjadi solusi penyelesaian, tetapi pengenaan tarifnya dinilai masih terlalu rendah ($7-$13 per m3).
Kebijakan berbasis ekonomi lainnya yaitu Iuran Hasil Hutan (IHH) juga tidak berjalan mulus. Hal ini dikarenakan pengenaannya dilakukan saat log masuk industri (bukan di tegakan) sehingga menimbulkan timbulnya praktik high-grading. Praktik ini mendorong industri hanya memasukkan kayu berkualitas baik ke industri (dan dibayarkan IHH-nya), sedangkan kayu yang kurang baik ditinggalkan sia-sia setelah ditebang karena jika diolah akan kurang menguntungkan (akibat terkena IHH).
Seiring dengan penurunan kondisi HPH, kebijakan Hutan Tanaman Industri (HTI) dihadirkan sebagai “lifeline” bagi krisis pasokan bagi industri kayu. Akan tetapi, dinamika politik dalam kebijakan HTI nyatanya terpengaruh oleh berbagai kepentingan. Berawal dari upaya meningkatkan pasokan bagi industri kayu, realitanya batas ukuran konsesi industri kayu (60 ribu ha) justru jauh lebih kecil dari pulp and paper (300 ribu ha). Kebijakan ini juga melaterbelakangi maraknya land clearing di lahan kategori “tidak produktif” yang dalam beberapa kondisi sebenarnya masih menghasilkan.
Terkait dengan proses produksi, kapasitas produksi terpasang sering kali lebih besar dari prediksi hasil dari tegakan HTI. Hal ini mendorong perusahaan untuk tetap mengandalkan hutan alam demi meningkatkan suplai dan mengefisienkan produksi. Era HTI ini jugalah yang menjadi pendorong politik kerja sama operasional yang menimbulkan aglomerasi dalam industri kehutanan.
Saat ini, perkembangan pengelolaan dan pengusahaan hutan di Indonesia juga masih dihambat berbagai hal. Salah satu yang cukup mencolok adalah peningkatan luasan tanah kosong dan kelas umur (KU) rendah. Selain itu, keuntungan semu, sulitnya mengelola hutan marginal, terabaikannya pasar lokal (karena industri lebih berorientasi ke pasar ekspor), dan berbagai mitos manajemen modern yang masih menyelimuti juga menjadi persoalan tersendiri.
Pertemuan lalu dilanjutkan dengan diskusi dan tanya jawab bersama peserta Online Course. Diskusi tersebut membahas mengenai berbagai hal, mulai dari isu resentralisasi pengelolaan hutan, kebermanfaatan Perhutanan Sosial (PS), penegakan hukum era privatisasi sumber daya, hingga implementasi Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Secara umum, diskusi berjalan sangat menarik dengan peserta yang silih berganti menyampaikan pertanyaan dan pendapat secara antusias.
Online Course Environment, Development, and Governance in Indonesia: Theories, Issues, and Trends akan dilanjutkan oleh pertemuan keenam pada Senin, 22 Maret 2021 pukul 15.00 WIB dengan invited speaker Abidah B. Setyowati, Ph.D.