oleh: Fitria Dewi Susanti (Junior Researcher di Sebijak Institute F.Kehutanan UGM) dan Sadam Richwanudin (Asisten Peneliti PUKAT FH UGM)
Fenomena kebakaran hutan di salah satu desa di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
Sumber foto: (Mardiana, 2020)
Mengutip data dari KLHK pada 2019, luas lahan berhutan seluruh daratan Indonesia adalah 94,1 juta ha atau 50,1% dari total daratan. Fakta ini seharusnya mendorong Pemerintah untuk memiliki katup pengaman berupa hukum dan kebijakan yang memadai untuk mengantisipasi kebakaran hutan di Indonesia sebab hutan memiliki andil besar dalam pemenuhan kebutuhan subsisten bagi masyarakat lokal sekaligus memegang peranan penting menjaga kelestarian ekosistem. Namun pada kenyataannya persoalan kebakaran hutan menjadi masalah yang berulang tiap tahunnya. Kemenko Polhukam menyatakan bahwa pada awal 2021 saja terdapat 137 kejadian karhutla di 10 provinsi. Kejadian itu tersebar di berbagai wilayah di Indonesia seperti 9 di Sumatera Utara, 29 di Riau, 52 di Kalimantan Barat, 12 di Kalimantan Tengah, 20 di Sulawesi Tenggara, dan 1 di Papua (Kompas, 2021)[1]. Dari angka tersebut hampir 40 persen kebakaran hutan dan lahan terjadi di Kalimantan, provinsi dengan salah satu luas hutan terbesar di Indonesia, khususnya Kalimantan Tengah dengan luas hutan alam sejumlah 7,1 juta hektare (ha). Berbagai pendekatan pun dilakukan untuk memahami fenomena ini, salah satu yang dapat dilakukan adalah pendekatan masalah dengan teori ekologi politik.
Dalam konteks persoalan lingkungan, pada dasarnya konsep ekologi politik dapat memberikan cara untuk melihat fenomena tidak hanya sebatas hal-hal terkait sektor lingkungan yang menjadi penyebab langsung suatu persoalan, akan tetapi akar permasalahan utama dari luar faktor-faktor ekologi yang turut andil dalam persoalan tersebut, baik dari tekanan politik maupun ekonomi (Blaikie, 1985)[2]. Pendekatan ini menjadi penting sebab persoalan lingkungan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi dimana masalah itu muncul melibatkan aktor-aktor yang berkepentingan baik pada tingkat berbagai level kepentingan (Satria, 2020)[3]. Blaikie (1985) dalam Forsyth (2003)[4] menjelaskan analisis ekologi politik dapat dilihat dari beberapa ciri antara lain sebagai berikut: interpretasi pemahaman penyebab suatu permasalahan dari aspek multiskala, baik tingkat lokal, regional dan global; konstelasi politik formal dan informal di wilayah setempat, dan distribusi akses serta penguasaan sumber daya. Dengan ciri tersebut, kacamata analisis ekologi politik memberikan gambaran aspek-aspek sosial politik terhadap fenomena permasalahan lingkungan, salah satunya dalam memahami fenomena kebakaran hutan.
Penggunaan teori ekologi politik dalam melihat fenomena kebakaran hutan Kalimantan memberikan gambaran secara jelas mengenai penyebab langsung fenomena serta akar permasalahan dari kebakaran hutan. Secara umum, penyebab langsung kebakaran hutan Kalimantan terjadi karena pembakaran hutan secara sengaja oleh oknum perusahaan yang memiliki izin konsesi (Yunianto,2020)[5]. Tindakan ini dilakukan karena dirasa sebagai jalan pintas yang efektif, efisien dan tak memerlukan biaya yang lebih banyak dibandingkan metode tanpa bakar (Putri, 2019)[6]. Pada level terbawah, hal ini diperparah dengan adanya oknum masyarakat yang diiming-iming melakukan tindakan membakar dengan sengaja demi uang dari oknum tertentu (Farisa, 2021[7].
Selain penyebab langsung, dari segi ekologi politik kebakaran hutan juga diakibatkan oleh beberapa permasalahan. Pertama, problem regulasi yang mengatur permasalahan hutan. Akses pembukaan lahan yang mudah dan tidak adanya batas maksimal kepemilikan luasan lahan hutan oleh para pemodal yang memiliki kekuatan finansial yang besar membuat para pemodal dengan leluasa membuka lahan demi kepentingan bisnis. Sampai kini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur batas maksimum penguasaan hak atas tanah oleh badan hukum meski sudah diamanatkan oleh UUPA sejak 1960 (Sumardjono, 2021)[8]. Kedua, terdapat tuntutan pasar dunia terhadap permintaan komoditas unggulan, salah satunya adalah sawit. Tingginya permintaan terhadap sawit membuat tindakan pembukaan lahan hutan untuk perkebunan sawit menjadi sangat besar. Terhitung sejak 2016-2020 areal kebun sawit di Indonesia terus meningkat hingga angka 14 ribu juta hektar (Kementan,2020)[9]. Pembukaan kebun sawit secara besar juga merupakan masalah multidimensi tersendiri karena melibatkan investor yang belum tentu memiliki perhatian terhadap dampak lingkungan, pemangku kebijakan yang permisif, dan keadaan ekkonomi masyarakat yang membutuhkan pencaharian. Disamping itu, pengawasan oleh aparat pemerintah baik di tingkat lokal dan pusat terhadap tindakan pembukaan lahan hutan sangat lemah, hal ini berakibat pada tidak jeranya para pelaku pembakaran hutan. Hingga hari ini penegakan hukum terhadap para pelaku pembakaran hutan juga hanya menyentuh masyarakat di bawah tanpa menyentuh aktor kuat di balik pembakaran hutan.
Dengan pemahaman melalui kacamata ekologi politik, kita dapat memahami bahwa persoalan kebakaran hutan diakibatkan oleh faktor penyebab secara langsung dan faktor tidak langsung yang menjadi akar permasalahan kebakaran hutan. Kacamata ekologi politik berkaitan erat dengan pemangku kebijakan yang dapat mengendalikan faktor ekonomi dan politik di masyarakat melalui berbagai kewenangan yang dimilikinya. Pemahaman ini menuntut pemangku kebijakan untuk memiliki political will untuk dapat mengurai persoalan tersebut sehingga dapat membentuk regulasi pengaman dan sistem yang canggih (resolvable) seperti penataan peraturan perundang-undangan di sektor industri yang berkaitan dengan kehutanan dan regulasi kehutanan itu sendiri serta membatasi kepemilikan hutan oleh suatu badan hukum. Hal ini penting dilakukan untuk melindungi kondisi hutan di Kalimantan saat ini, sekaligus mencegah kebakaran hutan terulang pada masa-masa selanjutnya.
Sumber:
[1] Kontributor. “Sinyal Kuat Potensi Kahutla”. 2021. Kompas. 23 Februari 2021.
[2] Blaikie, Piers M. 1985. The Political Economy of Soil Erosion in Developing Countries (Longman: London).
[3] Satria, A. (2020). “Modernisasi Ekologi dan Ekologi Politik: Perspektif Baru Analisis Tata Kelola Sumberdaya Alam”. Diakses dari https://icmi.or.id/opini-dan-tokoh/opini/modernisasi-ekologi-dan-ekologi-politik-perspektif-baru-analisis-tata-kelola-sumberdaya-alam (1 Maret 2021)
[4] Forsyth, Tim.2003.Critical Political Ecology, The Politics of Environment. (Routledge: London and New York).
[5] Yunianto, T.K.(2020). “157 Perusahaan di Kalbar Dikenakan Sanksi Terkait Pembakaran Hutan”. Diakses dari
https://katadata.co.id/ekarina/berita/5f350c975dd06/157-perusahaan-di-kalbar-dikenakan-sanksi-terkait-pembakaran-hutan (23 Februari 2021).
[6] Putri, A.W. (2019). “Pembakaran Hutan: Elite yang Untung, Peladang yang Disalahkan”
https://tirto.id/pembakaran-hutan-elite-yang-untung-peladang-yang-disalahkan-eikd
[7] Farisa, F.C. (2021). “Jokowi Sebut Kebakaran Hutan Disebabkan Ulah Korporasi dan Masyarakat”. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2021/02/22/16222471/jokowi-sebut-kebakaran-hutan-disebabkan-ulah-korporasi-dan-masyarakat(23 Februari 2021).
[8] Sumardjono, Maria. 2021. “Konflik Agraria Tak Kunjung Usai”. Kompas. 23 Februari 2021
[9] Kementerian Pertanian.2020.”Data dan Fakta Sawit Indonesia: Luas, Sebaran dan Tantangannya”. (24 Juni 2020) diakses dari https://auriga.or.id/
*Tulisan ini adalah opini penulis, tidak merepresentasikan posisi Sebijak Institute terkait dengan isu tersebut.