(20/01) Pada hari Rabu tanggal 20 Januari 2021, diadakan webinar mengenai Perubahan Iklim dan Konservasi dalam Diskursus Pembangunan Global. Webinar ini merupakan bagian topik kedua dari enam topik dalam kegiatan Online Course Forest and Nature Conservation: Achieving Sustainable Development Goals (SDGs). Online Course ini merupakan kolaborasi antara Sebijak Institute Fakultas Kehutanan UGM dan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit GmbH (GIZ) Indonesia. Fitria Dewi Susanti dari Sebijak Institute berperan sebagai MC sekaligus moderator dalam webinar ini.
Pematerian sesi pertama diisi oleh dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM Maharani Hapsari, M. A., Ph. D.. Dalam pemaparannya, Maharani membahas mengenai bagaimana perkembangan diskursus pembangunan, khususnya terkait dengan perubahan iklim dan konservasi. Diskursus pembangunan sebagai artikulasi pengetahuan dan kuasa secara tersirat menggambarkan bagaimana seseorang memahami pembangunan dan bagaimana mencapainya. Hal ini menimbulkan adanya perbedaan perspektif dari subjek, contohnya antara orang-orang dari lingkup ilmu politik dengan ilmu kehutanan.
Maharani juga menyinggung bagaimana pembangunan global berkembang mulai dari evolusionisme abad ke-19, era diskursus kolonial dan gerakan multilateral di abad ke-20, hingga era Millenium Development Goals (MDGs) dan juga SDGs di awal abad ke-21. Dalam dinamikanya, diskursus pembangunan terus berubah hingga akhirnya mencapai tahap heterogenisasi diskursus pada saat ini. Perubahan tersebut juga sekaligus mengubah aspek-aspek seperti pola pikir publik, sistem pelayanan sosial, dan sebagainya. Salah satu titik signifikan dalam dinamika diskursus pembangunan adalah krisis developmentalism di medio 1980-an yang mendorong pembangunan revisionis menuju pembangunan yang berkelanjutan dengan menjunjung partisipasi, kepemilikan, dan pemberdayaan sipil, serta penolakan terhadap pendekatan “one size fits all”.
Berkaitan dengan masalah lingkungan, konservasi sebagai proyek global dinilai bertendensi untuk melawan kepunahan sekaligus mengkritik gaya hidup masyarakat industrial. Hal ini terdorong melalui fenomena-fenomena seperti globalisasi taman nasional di akhir abad 19 dan mengemukanya diskursus keanekaragaman hayati di medio 1980-an. Dalam periode tersebut juga muncul keterpaduan agenda konservasi dan pembangunan global (civilizing nature) yang sering kali dinilai sebagai perkembangan yang kontraintuitif.
Indonesia sering kali diasosiasikan dengan ‘negara selatan’ yang sering kali cenderung dianggap terbelakang. Asosiasi ini mendorong Indonesia untuk melakukan pembangunan dengan negara-negara yang dianggap lebih maju dan ideal. Hal tersebut menimbulkan perspektif pembangunan sebagai ‘panopticon’ yang memaksa negara seperti Indonesia untuk terus engage dengan arah pembangunan global demi mengejar ketertinggalan dan mencapai kenormalan.
Menyambung pematerian dari Maharani, Jumtani Syolihin dan Arif Data Kusuma dari GIZ Indonesia memaparkan lebih lanjut mengenai bagaimana Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan. Sebagai pendahuluan, Jumtani menyinggung bagaimana perubahan iklim menyebabkan berbagai dampak negatif, seperti banjir, kebakaran hutan dan lahan, peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK), terancamnya ekosistem, dan naiknya permukaan air laut. Hal ini mendorong adanya upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim secara internasional melalui COP UNFCCC, salah satunya kehutanan yang dibahas dalam lingkup Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).
Sebagai bentuk kontribusi dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, Indonesia dalam dokumen NDC berkomitmen menurunkan emisi melalui berbagai sektor, salah satunya kehutanan termasuk dengan Sustainable Forest Management (SFM). Dalam implementasinya, KPH memiliki berbagai peran penting dalam bentuk melindungi SDA, mengurangi aktivitas penghasil GRK, mengembangkan ekonomi berkelanjutan, mempromosikan solusi dan konsep inovatif, dan mengelola tapak secara efektif. Hal ini tak lepas dari dukungan berbagai pihak, salah satunya dari Forest and Climate Change (FORCLIME). Program kerja sama GIZ ini menyokong pembelajaran pengelolaan kehutanan dan perubahan iklim dengan mendorong peningkatan tata kelola pengelolaan hutan di empat provinsi pilot yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Tengah.
Webinar dilanjutkan dengan sesi tanya jawab melalui platform Slido. Dalam sesi tersebut, berbagai pertanyaan dari peserta webinar dijawab dan didiskusikan langsung bersama pemateri. Sebagai penutup, moderator memaparkan rangkuman terkait topik yang dibahas pemateri dalam webinar ini, yaitu terkait diskursus pembangunan dan lingkungan, serta implementasi upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim oleh pemerintah melalui KPH dengan dukungan berbagai pihak.
Materi dari kegiatan ini dapat diakses melalui link berikut ini.
Video online course dapat diakses melalui link berikut ini.