(11/12) Sebijak Institute berkolaborasi dengan Multi-stakeholder Forestry Programme Phase-4 (MFP4) mengadakan kegiatan Lecture Series on Timber Legality and Forest Certification. Topik yang menjadi pembahasan dalam kuliah kali ini adalah “SVLK dan Peningkatan Ekspor Produk Kehutanan di Pasar Non-EU”. Lecture Series kali ini diselenggarakan secara daring melalui Zoom dan live streaming YouTube pada tanggal 11 Desember 2020. Agenda dibuka secara langsung oleh Dr. Tri Nugroho selaku Head of Multi-stakeholders Forestry Programme Phase 4 (MFP4).
Kuliah ini dimoderatori oleh Trisia Megawati, M. Si. (DP Bidang Humas dan Kerjasama Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia). Sebagai narasumber, hadir Prof. Dr. Ahmad Maryudi yang merupakan Ketua Sebijak Institute. Sementara itu, Dr. Ir. Tjipta Purwita, MBA, IPU (Sekretaris Forum Komunikasi Masyarakat Perhutanan Indonesia) dan Ir. Rudy T. Luwia (ASMINDO Executive Advisor dan Director of PT. Philnesia International) juga dihadirkan sebagai pembahas.
Studi yang dibahas dalam Lecture Series ini bertujuan untuk mencermati perdagangan kayu Indonesia dan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Fokus studi ini adalah pengakuan (rekognisi) SVLK di negara-negara Non-Uni Eropa (Non-EU) yaitu Tiongkok, Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Korea yang merupakan sasaran utama ekspor Indonesia, serta Vietnam yang menjadi pesaing utama Indonesia dalam ekspor. Diskusi ini diharapkan memberi perspektif baru terkait perdagangan kayu global dan kondisi di negara tujuan maupun pelaku bisnis ekspor.
Prof. Maryudi dalam pemaparannya menyebutkan bahwa SVLK tidak hanya berguna untuk memberantas illegal logging, tetapi juga meningkatkan domestic governance dan meningkatkan reputasi ekspor kayu Indonesia. Prof. Maryudi juga membahas mengenai kebijakan, kondisi lingkungan dan industri, dan detail ekspor-impor dari lima negara yang menjadi objek studi. Untuk menutup sesi, Prof. Maryudi menyebutkan mengenai potensi rekognisi V-Legal di negara-negara tersebut. Secara umum, SVLK Indonesia punya peluang besar untuk direkognisi di negara objek studi, dengan pengecualian Vietnam yang memang merupakan kompetitor langsung dari Indonesia dalam hal industri perkayuan global.
Dalam sesi berikutnya, Dr. Tjipta membahas mengenai kinerja industri kehutanan 2020 yang secara umum turun sekitar 4,9% dibanding tahun 2019, tetapi di AS dan Tiongkok justru naik. Dengan tuntutan Green Products, tren kebijakan, dan adanya hambatan di negara kompetitor, peluang promosi SVLK Indonesia terbuka lebar. Terkait dengan hal itu, saat ini sudah ada berbagai upaya peningkatan kinerja industri, seperti penguatan SVLK dan market intelligence, penerapan kebijakan multiusaha kehutanan, pemanfaatan Indonesia Timber Exchange, dan pertemuan serta kunjungan dagang.
Sementara itu, Ir. Rudy berbicara mengenai kondisi dan peluang industri perkayuan dari perspektif produsen furnitur. Dengan adanya banyak keunggulan dari negara lain seperti Tiongkok dan Vietnam, Indonesia semestinya dapat unggul dalam pasar furnitur global. Akan tetapi, berbagai hambatan dari segi bahan baku, sumber daya manusia (SDM), teknologi, dan inovasi memang perlu untuk diatasi. Dalam hal ini, optimalisasi kebijakan menjadi perlu dilakukan untuk memperkuat industri furnitur dalam negeri, khususnya untuk produsen skala kecil-menengah yang bergantung kepada bahan baku lokal yang tidak ada di negara lain.
Setelah pemaparan dari narasumber dan pembahas, Lecture Series dilanjutkan dengan sesi tanya jawab bersama peserta kuliah. Sebagai penutup, moderator mengungkapkan pernyataan menarik bahwa dengan banyaknya “pekerjaan rumah” dalam hal implementasi SVLK dan industri perkayuan, kajian ini diharapkan dapat memberi dorongan untuk menyelesaikannya. Dengan upaya-upaya step by step yang sinergis, akomodatif, dan terarah, diharapkan sumber daya dan teknologi yang dimiliki Indonesia dapat dimanfaatkan secara optimal untuk memperkuat industri perkayuan Indonesia di tingkat domestik maupun internasional.