Diah Y. Suradiredja (Ketua Harian Dewan Kehutanan Nasional – 2006-2012)
Tak Semudah Mencabut atau Membatalkan
Pesan pendek masuk melalu WhatsApp saya “Permendag 15 dicabut. Selesai ya…” dengan lampiran yang menyertainya (saya tersenyum tak jelas). Sebagai orang awam terhadap hukum dan etika perundang-undangan, saya buka catatan belajar empat bulan lalu tentang Asas Contrarius Actus[1],
Untuk melihat kesesuaian asas dan etika dalam pencabutan dan pembatalan keputusan administrasi pemerintahan. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 sudah mengatur tentang pencabutan keputusan administrasi pemerintahan atau keputusan Tata Usaha Negara – TUN[2] (Pasal 64) dan yang mengatur tentang pembatalan keputusan administrasi pemerintahan atau Keputusan TUN – KTUN (Pasal 66).
Mengutip pernyataan William Livesey Burdick[3] dalam bukunya The Principles of Roman Law and Their Relation to Modern Law (hal. 235), pencabutan suatu KTUN yang telah dibuat dan berkekuatan hukum hanya dapat dilakukan sesuai dan bagaimana cara keputusan tersebut dibuat. Kekeliruan di dalam KTUN umumnya disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya luasnya wewenang pemerintahan, peraturan perundang-undangan yang tidak lengkap, serta kurangnya petunjuk pelaksanaan.
Setidaknya empat prinsip yang dapat digunakan dalam melihat kekurangan KTUN[4], yakni (1) KTUN yang keliru dapat ditinjau dan ditarik kembali oleh pejabat pembuatnya, sepanjang tidak ada aturan yang melarang tindakan tersebut; (2) Pembatalan KTUN didasarkan pada bentuk dan tata cara penerbitannya, apabila aturan mengenai tata cara pembatalan KTUN tidak tersedia; (3) Seluruh upaya harus ditempuh guna mencegah berbagai efek negatif akibat pembatalan KTUN, yang dapat berbentuk kerugian dan pelanggaran hak masyarakat terkait, merugikan kepastian hukum, atau mengurangi wibawa pemerintah; dan (4) Suatu KTUN yang memiliki kekurangan akibat tidak terpenuhinya sejumlah syarat, maka pembatalan KTUN dapat bersifat sementara hingga syarat tersebut terpenuhi.
Dalam Pasal 66 dan Pasal 67 UU 30/2014, tindakan pencabutan atau pembatalan KTUN dapat dilakukan apabila terdapat cacat wewenang, prosedur, dan/atau substansi. Pencabutan KTUN dapat dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang menetapkan KTUN, oleh atasan pejabat yang menetapkan KTUN, atau atas perintah pengadilan.
Keputusan pencabutan KTUN yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan atau atasan pejabat pemerintahan yang membuatnya dilakukan paling lama 5 hari kerja sejak ditemukannya dasar pencabutan dan berlaku sejak tanggal ditetapkan keputusan pencabutan. Adapun keputusan pencabutan yang dilakukan atas perintah pengadilan dilakukan paling lama 21 hari sejak perintah pengadilan tersebut, dan berlaku sejak tanggal ditetapkan keputusan pencabutan.
Kekeliruan atau Tekanan?
Keluarnya Permendag Nomor 45 Tahun 2020 (Permendag 45/20), tentang Pencabutan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020, pada tanggal 6 Mei 2020, mengkerutkan kening sebagian pelaku usaha dan civil society. Antara bersorak dan dan bertanya. Karena memang dalam Permendag 45, yang hanya 1.5 halaman, menyatakan pertimbangan “untuk memberikan kepastian berusaha ekspor produk industri kehutanan dan untuk melaksanakan Persetujuan Kemitraan Sukarela antara Republik Indonesia dan Uni Eropa tentang Penegakan Hukum Kehutanan, Penatakelolaan, dan Perdagangan Produk Kayu ke Uni Eropa khususnya terkait dengan penggunaan Dokumen V-Legal sebagai dokumen pelengkap pabean, perlu mencabut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan”.
Sementara pertimbangan dalam Permendag 15/20 adalah “guna memberikan kepastian berusaha untuk mendukung efektifitas pelaksanaan ekspor produk industri kehutanan dan untuk melaksanakan hasil keputusan rapat koordinasi bidang perekonomian, perlu melakukan penyederhanaan perijinan ekspor produk industry kehutanan ”.
Dua pertimbangan yang berbeda antara pertimbangan dikeluarkannya KTUN dan pertimbangan pencabutannya. Antara pemenuhan perjanjian international dengan penyederhanaan perijinan. Alih-alih Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, menyatakan bahwa Permendag 15 dicabut sebelum berlaku, maka persyaratan eksport produk kehutanan kembali pada peraturan yang lama yakni Permendag Nomor 84 Tahun 2016 tentang Ketentuan Eksport Produk Kehutanan.
Tanpa penjelasan kepada publik tentang alasan pencabutan, Kemendag terkesan melempar kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Memang sejak awal, reaksi yang diberikan oleh Menteri LHK cukup keras, karena keputusan itu dianggap berbahaya bagi keberlanjutan kehutanan di Indonesia.
Menteri LHK (melalui surat yang sudah beredar ke kalangan dunia usaha) mengusulkan kepada Presiden tentang kebijakan yang spesifik dalam rangka dukungan peningkatan eksport produk industri kehutanan termasuk bagi industri kecil dan menengah. Tiga hal yang dimohonkan adalah kemudahan kerolehan Sistem Verifikasi Lehalitas Kayu (SVLK) dengan penyederhanaan perizinan yang selaras dengan Rancangan Undang Undanga (RUU) Cipta Kerja; meningkatkan dukungan APBN pada pembiayaan sertifikasi dan penilaian lanjutan bagi industry kecel secara besar-besaran; dan artikulasi kebijakan dan faslitasi kemudahan ekspor bagi industry kecil dan menengah yang belum memiliki S-LK, agar tidak terhambat dalam melakukan eksport.
Kemendag 45/20 telah membuat kekeliruan pada ketentuan mengenai pencabutan KTUN yang diatur dalam Pasal 64 ayat (1) UU 30/2014, yakni KTUN dapat dicabut apabila terdapat cacat wewenang, prosedur, dan/atau substansi. Yang dimaksud dengan “cacat substansi” antara lain: Keputusan tidak dilaksanakan oleh penerima keputusan sampai batas waktu yang ditentukan; Fakta-fakta dan syarat-syarat hukum yang menjadi dasar keputusan telah berubah; Keputusan dapat membahayakan dan merugikan kepentingan umum; atau Keputusan tidak digunakan sesuai dengan tujuan yang tercantum dalam isi keputusan.
Tanpa penjelasan “cacat substansi”, tampaknya dalam pasal “Mengingat” pun hanya 1 konsideran yang dirujuk dari 14 konsideran untuk keputusan ini, yakni Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2014 tentang Pengesahan Persetujuan Kemitraan Sukarela antara Republik Indonesia dan Uni Eropa tentang Penegakan Hukum Kehutanan, Penatakelolaan, dan Perdagangan Produk Kayu ke Uni Eropa (Voluntary Partnership Agreement between the Republic of Indonesia and the European Union on Forest Law Enforcement, Governance and Trade in Timber Products into the European Union) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 51).
Oleh karena itu, Permendag 45/20 memberi kesan adanya tekanan dari Uni Eropa, bukan melihat pada 4 (empat) ranah yang akan terdampak yaitu (1) terputusnya sistem online Dokumen Perijinan, mulai dari tingkat tapak sampai dengan konsumen akhir; (2) terputusnya koordinasi dan hubungan kelembagaan terkait dengan data rekonsiliasi kayu yang dibalak sampai pajak negara yang harus dibayar; (3) terhapusnya Complain Mechanism, sebagai instrument tanggung-gugat dalam sistem yang terpadu; dan (4) Transparansi data dan informasi sector kehutanan, perdagangan, perindustrian dan bea cukai.
Cabut Satu, Tumbuh Seribu
Ditengah “gibah” keluarnya Permendag 45/20, diskusi terkait SVLK yang berlanjut hangat adalah terkait dengan substansi permohonan Menteri LHK terhadap usulan Relaksasi Kebijakan Ekonomi Sektor Kehutanan, yaitu usulan penambahan luas penampang untuk eksport industri kayu. Jenis kayu Merbau kebijakan eksisting maksimal diameter 10.000 mm2, diusulkan diperluas menjadi 15.000 mm2; dan kayu non-merbau kebijakan eksisting maksimal diameter 4.000 mm2, diusulkan menjadi 15.000 mm2.
Kementerian Perindustrian (Kemprin) bereaksi dan menolak secara tertulis melalui Menteri Koordinasi Bidang Perekonomian. Usulan luas penampang menjadi 15.000 mm2 itu dipandang sangat besar, karena itu berarti dapat berupa balok ukuran : 30 cm X 5 cm atau 20 cm X 7,5 cm atau 15 cm X 10 cm, yaitu merupakan ukuran yang cukup ideal untuk memproduksi mebel dan produk-produk kayu olahan lainnya.
Hal ini diperkirakan akan mengancam eksistensi industry dalam negeri, karena para pesaing terutama China, Vietnam dan Malaysia memiliki keuntungan, antara lain:(1) bunga bank di negara pesaing kurang dari 6%, sementara di lndonesia diatas 10%; (2) mesin/peralatan di negara pesaing lebih modern dan efisien, (3) ketersediaan bahan penolong, dan lain-lain. China dan Vietnam sebagian besar kebutuhan bahan baku kayu diimpor, memperluas penampang berarti memberikan peluru kepada negara pesaing;
Dari catatan diskusi dengan pelaku industri kehutanan, pengaturan luas penampang produk kayu olahan antara lain didasari adanya kekhwatiran kayu yang di ekspor merupakan barang setengah jadi atau bahan baku yang akan di proses lebih lanjut di negara tujuan ekspor. Pemanfaatan produk kayu olahan memerlukan ukuran yang berbeda-beda. Misalnya di Amerika Serikat ada National Design Specification yang mengatur fungsi dan ukuran (termasuk luas penampang) kayu yang digunakan dalam konstruksi dengan berbagai desain. Sehingga ukuran yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan tersebut. Dalam praktek usahanya, para eksportir harus dapat menunjukkan bukti ukuran yang ada dalam order dari buyer, atau dokumen teknis ukuran tersebut sebagai syarat dalam verifikasi ekspor produk kayu olahan.
Kemprin berkewajiban mengamankan pasokan bahan baku bagi industri (termasuk industry pengolahan kayu), melakukan hilirisasi, menciptakan nilai tambah dan multiplier efek ekonomi serta memperhatikan keresahan yang dialami para pelaku usaha hilir (terutama industri mebel dan kerajinan yang sangat banyak menyerap tenaga kerja).
Sehingga Kemprin memberikan beberapa catatan, yaitu : (1) Luas penampang diperbolehkan maksimal : 15.000 mm2; (2) Jenis kayu yang diperbolehkan : merbau dan meranti; (3) Ekspor hanya diperbolehkan, setelah terlebih dahulu dipastikan kebutuhan industri dalam negeri terpenuhi (Domestic Market Obligation); (4) Dikenakan pajak ekspor yang dapat mengurangi kecenderungan ekspor bahan baku atau produk bernilai tambah rendah; (5) Diwajibkan verifikasi produk sebelum dilakukan ekspor; dan (6) Pembatasan pelabuhan ekspor untuk memudahkan proses pengawasan.
Pengaturan luas penampang akan relevan apabila memang merupakan permintaan ketentuan di negara tujuan ekspor. Penambahan luas penampang kayu olahan yang dapat diekspor akan meningkatkan nilai tambah kayu olahan, karena harga ekspor kayu olahan dengan luas penampang lebih besar semakin tinggi. Hal ini akan mendorong industri hulu/hilir dapat berkembang. Tentu saja hal ini diikuti dengan persyaratan dan verifikasi dalam penerapan di lapangan.
Momentum di tengah Covid-19
Sebagai sebuah sistem SVLK akan selalu mengalami guncangan dan kebocoran di sana sini. Gairah untuk mendiskreditkan sistem ini akan datang tanpa mengenal musim dan perubahan kabinet. Permendag 15, bukan satu-satunya mesin perusak di hilir dan dimungkinkan akan ada cara lain yang akan menghambat jalannya sistem dari hulu ke hilir. Sehingga untuk merawat dan menjaga SVLK sebagai sebuah sistem, tidak bisa diserahkan pada satu sektor di hulu ataupun di hilir.
Keberlanjutan dari SVLK adalah tanggung jawab para pihak dan menjadi role model tata-kelola bagi banyak komoditi. Cross cutting sectoral menjadi sangat penting untuk memitigasi resiko, karena titik-titik penting dan kelemahan SVLK adalah di masing-masing sectoral.
Seperti Kelapa Sawit, perbaikan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sebetulnya belajar dari proses dan mekanisme kerja SVLK. Tipologi persoalan dan kelemahan dalam tata-kelolanya sama dengan SVLK. SVLK di tengah Covid dan keterbukaan informasi, komunikasi dan kebijakan Menteri sektoral menimbulkan polekmik yang mempengaruhi kebijakan Presiden. “kebocoran” komunikasi antar Menteri dalam Kabinet Jokowi, cukup meresahkan. Adanya saling merespon secara tertulis antar menteri, dan suratnya tersebar ke publik, membuka ruang konflik baru dalam mencari solusi keberlanjutan usaha dan investasi kayu dan produk kayu di masa depan.
Kebijakan ISPO, sebagai mata rantai keberlanjutan di lindungi dan dikuatkan oleh Peraturan Presiden, mengapa SVLK tidak? Jadikan wabah Covid 19, sebagai hikmah untuk melindungi dan memperkuat SVLK. Rancangan Peraturan Presiden tentang SVLK?…..kenapa tidak….
Keterangan:
[1] Asas yang dipakai di dalam Hukum Administrasi Negara. Asas contrarius actus berasal dari bahasa Latin yang artinya tindakan yang yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan keputusan tata usaha negara dengan sendirinya (otomatis) badan/pejabat tata usaha yang bersangkutan memiliki kewenangan untuk membatalkannya.
[2] Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
[3] If an obligation had been entered into by the expression of solemn words, it could be extinguished only in the same way, namely by the “unsaying” of the words in the same way and manner in which they had been originally spoken.
[4] Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan susunan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB).