Diah Y. Suradiredja – Ketua Harian DKN periode 2006 – 2012
Dalam dua minggu ini, publik terutama pemerhati lingkungan dikagetkan dengan Peraturan
Menteri Perdagangan No. 15 Tahun 2020, tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri
Kehutanan, yang menghapus ketentuan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dan
menghilangkan pemberlakukan V-Legal dalam perdagagan industry kayu. Pertimbagan
kebijakan baru yang memutus tata-kelola Hulu dan Hilir legalisasi kayu ini adalah guna
memberikan kepastian berusaha untuk mendukung efektifitas pelaksanaan ekspor produk
industri kehutanan dan untuk melaksanakan hasil keputusan rapat koordinasi bidang
perekonomian, perlu melakukan penyederhanaan perijinan ekspor produk industri
kehutanan.
Bagi para penggiat yang menjaga sistem SVLK, kebijakan ini tidak lepas dari desakan beberapa
pengusaha mebel kayu dan rotan yang mengusulkan tidak diberlakukannya SVLK untuk
produk yang akan diekspor ke negara yang tidak meminta verifikasi. Sehingga bisa dipahami
jika kebijakan baru ini menggunakan pertimbangan bahwa Ketentuan Ekspor Produk Industri
Kehutanan, yang ada sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum
masyarakat sehingga perlu diganti.
Dua pertimbangan tersebut, memperlihatkan bahwa Pemerintah sembrono dalam proses
pengambilan kebijakan, tanpa melihat pada perjuangan Indonesia untuk keluar dari stigma
sebagai negara yang buruk dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Sejarah panjang bagi
Indonesia, saat di stigmakan sebagai Negara yang tidak perduli dengan kelestarian hutan.
Pembalakan Haram! Illegal Logging (IL), yang mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan,
berdampak pada terjadinya ‘boikot’ terhadap produk-produk perkayuan yang
diperdagangkan.
SVLK adalah inisiasi Indonesia sendiri. SVLK bukan atas tekanan asing atau Uni Eropa (UE).
SVLK dirintis sejak 2003. UE tertarik dengan gagasan pionir Indonesia ini dan melalui proses
negosiasi, penandatangan dan ratifikasi pada periode Tahun 2007-2014. UE akhirnya
menerima lisensi SVLK sebagai suatu lisensi yang disetarakan dan diakui dengan lisensi EU
Timber Regulation. SVLK bukan merupakan hasil kebijakan “diskriminatif” UE tetapi inisiasi
Indonesia yang diakui UE secara hukum.
Memang, Sejak awal implementasi SVLK dalam mengaddress berbagai persoalan kehutanan
disikapi secara beragam oleh stakeholder kehutanan. Seharusnya, Kementerian Perdagangan
perlu memapahami terlebih dahulu apakah sebenarnya persoalan riil kehutanan di lapangan
yang menunggu untuk dituntaskan? Mengapa harus hulu dan hilir yang diperbaiki.
Dimanakah SVLK kontribusi mengatasi persoalan-persoalan tersebut? Persoalan-persoalan ini
dipandang sebagai persoalan bersama oleh siapapun dari aliran pandangan yang manapun
dalam menyikapi SVLK.
Beberapa pelaku usaha mebel kayu dan rotan mengeluhkan kepada Presiden terkait sulitnya
perizinan dan produk yang terkena pajak, dan pembiayaan, terutama tingginya tingkat bunga
pinjaman. Kesulitan tersebut dianggap sebagai kendala bagi eksport produk-produk tersebut.
Ibarat “nila” persoalan tersebut terjadi hanya di beberapa pelaku usaha yang sejak awal tidak
sepenuhnya berusaha di produk-produk berbasis kayu. Spekulan dan broker eksport sangat
sulit terakomodasi dalam sistem SVLK, dan sulit dibenahi.
MENGAPA HARUS HULU KE HILIR?
Pada awal sistem dibangun, bad governance yang terindikasi ”hanya” terjadi di kawasan
hutan negara yang ditandai dengan maraknya IL, namun ternyata legalitas kayu-kayu yang
berasal dari negara lain yang masuk ke Indonesia juga memiliki persoalan tersendiri. Bahkan
hutan hak, yang pada dasarnya merupakan kayu yang paling sah di sisi hukum, paling tidak
kayu yang berasal dari hutan hak di Pulau Jawa.
Perkembangan lalu lintas peredaran kayu dan produk perkayuan di dalam negeri termasuk
yang berasal dari impor sangat kompleks. Untuk memastikan agar semua rantai produksi,
peredaran dan perdagangan memiliki status legal, sehingga tidak ada kekhawatiran akan
status legal dari produk-produk yang dihasilkan, maka SVLK diberlakukan dari hulu ke hilir.
Selain itu, SVLK tidak hanya terkait bahan baku legal ‘saja’, melainkan ‘usahanya’ juga harus
legal ‘sesuai dengan aturan yang berlaku’; dalam rangka mewujudkan good forestry
governance.
Dari keseluruhan rantai pasok, Industri Kecil dan Menengah (IKM) memiliki peran penting,
terutama industri skala rumah tangga yang keberadaannya ribuan di beberapa sentra
produksi seperti Jepara dan Jogjakarta. SVLK melindungi mereka dengan kepastian usahanya.
Sistem ini memaksa pemerintah daerah memberikan pelayanan yang cepat dan mudah pada
proses-proses perijinan usaha kecil. Mereka “jemput bola” melalui didirikannya Klinik SVLK,
agar terlepas dari jeratan mafia ijin yang lama melekat pada jaringan tata-niaga usaha mebel
dan kayu.
Bahkan selain menyediakan dana untuk sertifikasi IKM dan Kelompok Sertifikasi usaha Rumah
Tangga, Pemerintah mempermudah dengan Kebijakan Permenhut tentang Deklarasi
Kesesuaian Pemasok (DKP), yang meringankan IKM untuk memenuhi SVLK dan mereka bisa
export dengan menggunakan Dokumen DKP.
PENGAKUAN DUNIA TERHADAP SVLK
Dalam kurun waktu 10 tahun, SVLK telah ‘meningkatkan daya saing product’ dari sisi legalitas,
sehingga ‘dapat’ memenuhi ‘tuntutan legalitas’ yang diberlakukan oleh pasar. SVLK
diposisikan sebagai ‘merek nasional’ produk perkayuan Indonesia. Dengan SVLK produk
perkayuan Indonesia menempati posisi ‘baru’ sebagai ‘produk-produk legal’, yang diproduksi
dari hutan yang dikelola secara lestari.
Sebagai ‘produk legal’ produk perkayuan Indonesia dapat memasuki ‘pasar-pasar
regulated’(pasar yang mempersyaratkan legalitas), tanpa perlu di due diligence. SVLK juga
memasuki ‘pasar-pasar non regulated’seperti Cina, negara-negara middle east, India dan
sebagainya.
SVLK telah mendapatkan pengakuan dari 2 pasar regulated, yaitu Australia dan Uni Eropa
(UE). Pengakuan Australia terhadap SVLK berarti produk perkayuan Indonesia dapat
memenuhi pemberlakuan ILPA (Illegal Logging Prohibition Act) oleh Australia sejak 2014;
sehingga produk perkayuan Indonesia yang diekspor ke Australia tak perlu di due
diligencelagi.
UE memberikan pengakuan terhadap SVLK melalui pemberian hak penerbitan Lisensi FLEGT
sejak 15 Nopember 2016. Dengan lisensi FLEGT, pemberlakuanEuropean Union Timber
Regulationyang mewajibkan importir UE melakukan due diligenceterhadap kayu dan produk
kayu yang masuk ke UE, tidak berlaku bagi produk perkayuan Indonesia. Produk perkayuan
Indonesia dapat memasuki pasar 28 negara anggota UE tanpa perlu di due diligence.
Sampai saat ini, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang sudah mendapatkan lisensi
FLEGT dari UE, diantara 15 negara yang mengikat perjanjian dalam konteks FLEGT-VPA untuk
mendapatkan lisensi. Dengan keluarnya Inggris dari UE, Inggris tetap memberikan pengakuan
terhadap SVLK, melalui penandatanganan perjanjian kerjasama FLEGT-VPA Indonesia-Inggris,
Maret 2019
Selain Australia dan UE, Jepang juga memberlakukan Gohowood 2006, namun kerjasama
Indonesia-Jepang melalui penandatanganan kesepakatan dalam perdagangan kayu belum
ada karena implementasi aksi Jepang lebih diserahkan pada business to business.
Amerika Serikat (AS) juga memberlakukan Amandemen Lacey Acttahun 2008; namun ketika
Indonesia mengajak AS bekerjasama dalam implementasinya, atase perdagangan AS yang ada
di Jakarta mengatakan bahwa implementasinya lebih diserahkan kepada business to business,
tidak pada perjanjian antara negara.
Berbagai tantangan di lapangan terus direspon dengan melakukan berbagai penyesuaian;
antara lain: (1) penciptaan alternatif untuk sertifikasi secara kelompok bagi pelaku usaha kecil
dan masyarakat; (2) penyediaan anggaran untuk sertifikasi secara kelompok, baik yang
berasal dari APBN Kementerian LHK, Kementerian Perindustrian, CSR perusahaan serta pihak
ketiga; (3) mendisain standar berdasarkan peraturan yang berlaku untuk masing-masing
kategori usaha sehingga industri kecil tidak disamakan dengan industri besar; (4) membuka
kesempatan untuk pembuktian dokumen angkutan kayu yang lebih mudah dengan DKP
(Deklarasi Kesesuaian Pemasok); dan (4) memperluas cakupan norma penilaian agar lebih
mudah dipenuhi.
Negara-negara lain menginginkan memiliki sistem lisensi legal dan keterlacakan seperti SVLK.
Indonesia tidak hanya menjadi pionir, tetapi juga model negara bertanggungjawab bidang
legalitas produk kayu.
Negara yang mencontoh Indonesia dan secara operasional sudah memiliki sistem seperti
SVLK adalah: Kamerun, Central African Republic, Ghana, Guyana, Honduras, Liberia, Congo
dan Vietnam. Mereka ada dalam proses pengakuan UE.
Negara yang mencontoh Indonesia dan masih berunding dengan UE: Pantai Gading, DRC,
Gabon, Laos, Malaysia dan Thailand.
China dan Myanmar tengah menyusun sistem legalitas kayu dengan mencontoh SVLK.
Vietnam adalah pesaing berat Indonesia karena selain memiliki sistem yang dinilai UE secara
operasional mirip SVLK dan juga sudah menandatangani FTA Vietnam-UE.
SVLK telah memposisikan Indonesia advance dalam penanganan IL,sehingga dalam berbagai
forum internasional mampu tampil percaya diri sebagai Negara yang komit dalam menjaga
kelestarian hutan.
APA YANG SEDANG DIRUSAK ATAS NAMA INVESTASI?
Jika landasan Pemerintah mengeluarkan Permendag 15/2020 ini adalah SVLK sudah tidak
sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu diganti,
maka Pemerintah alpa dan mengingkari kenyataan bahwa sejak Indonesia memiliki SVLK,
ekspor produk kayu SVLK melejit sangat tajam, yaitu Tahun 2013, dengan nilai USD 6 Billion;
Tahun 2014: USD 6.58 Billion; tahun 2015: USD 9.84 Billion; Tahun 2016: USD 9,26 Billion;
Tahun 2017: 10,93 Billion; Tahun 2018: USD 12,13 Billion (2 kali lipat 2013 hanya 5 tahun),
dan Tahun 2019: USD 11,62 Billion (Menurun karena kondisi perekonomian global, tetapi
tetap lebih tinggi dari angka 2013 dan 2017). Dan dari data di Sistem Informasi Legalitas Kayu
(SILK) pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, data per Januari 2020 – 5 Maret
2020: USD 1.94 Billion. Secara keseluruhan tercatat bahwa sejak 2013, SVLK telah
menyumbangkan ekspor produk kayu sebesar USD 68,37 Billion.
Pandangan keras dari salah satu asosiasi permebelan di Indonesia, yang terus
mendengungkan bahwa SVLK menghambat investasi di industry permebelan (furniture),
maka hal itu hanyalah “bisikan” tidak mendasar dari para pebisnis perijinan, yang selama ini
menghantui industry kecil dan rumah-tangga. Usulan pelaku usaha mebel kayu dan rotan
dalam rapat terbatas bertopik “Peningkatan Ekspor Permebelan, Rotan dan Kayu”, pada
Tanggal 10 September 2019, untuk menghapus SVLK pada IKM dan tidak diberlakukan bagi
produk ke negara yang tidak memberlakukan verifikasi kayu, sangatlah tidak tepat. Sangat
tidak beralasan karena dari Data Ekspor Industri furnitur Indonesia yang terus
memperlihatkan tren peningkatan yang positif (Kemperin). Tahun 2016 US$ 1,60 miliar, tahun
2017 US$ 1,63 miliar, dan tahun 2018 naik sebesar 4%, menjadi US$ 1,69 miliar atau setara
dengan Rp 24 triliun.
Ekspor furnitur pada 2019 diprediksi tumbuh di kisaran 10% sampai 15% tahun ini.
Pertumbuhan itu salah satunya disebabkan oleh meningkatnya permintaan pasar Amerika
Serikat (AS) seiring bergulirnya perang dagang. Ketua Indonesia Furniture Promotion Forum
(IFPF) menyatakan bahwa pertumbuhan ekspor 10%-15%, secara nilai, ekspor furnitur tahun
ini diperkirakan mencapai US$ 1,8 miliar – US$ 2 miliar.
SVLK dengan V-legal Dokumen, merupakan jaminan legalitas kayu dalam bentuk sertifikasi
dari pasar internasional, khususnya dari Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang dan Australia. Hal
ini juga merupakan bentuk “National Insentive” untuk antisipasi maraknya permintaan skema
sertifikasi legalitas kayu dari negara asing, seperti skema FSC, PEFC, dan lainnya, karena SVLK
merupakan sistem pelacakan yang disusun secara multistakeholder untuk memastikan
legalitas sumber kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia.
Dampak dari Permendag 15/20 ini akan memperlihatkan pada dunia bahwa Kebijakan
Indonesia yang dinilai mengurangi sistem legalitas dan keterlacakan produk kayu, seperti
ekspor non-SVLK ke negara yang diklaim tidak membutuhkan SVLK. Hal ini merupakan suatu
kesempatan bagi pesaing Indonesia untuk menciptakan “black campaign” terhadap SVLK
secara keseluruhan. Apabila “black campaign” terhadap SVLK berjalan baik, maka pangsa
pasar kayu dunia akan diambil oleh pesaing dari kawasan Asia, seperti Malaysia, Vietnam,
China, Myanmar yang siap memiliki sistem seperti SVLK.
Di mata dunia, Indonesia akan dipandang sebagai Negara yang tidak mengamankan investasi
karena kebijakan yang selalu berubah. Indonesia akan dipermalukan pada perundinganperundingan
International seperti Indonesia – UE Comprehensive Economic Partnership
Agreement (I-EU CEPA), dimana dalam satu Chapter Trade and Sustainable Development
(TSD), Indonesia menekankan pada UE untuk segera mengimplementasikan EU Timber
Regulation dan bersikap fair untuk menutup pintu import produk kayu negara-negara di
bawah UE, dari negara pemasok produk kayu yang tidak memiliki dokumen ketelusuran kayu
secara legal.
“karena nila setitik,rusak susu sebelanga”
Bogor, 12 Maret 2020