Report Sebijak Talks Bersama Dr. Hatma Suryatmojo
Banjir Ibukota di moment tahun baru 2020 ini menjadi isu hangat di berbagai media massa. Bagaimana tidak, banjir yang melanda Jakarta, Tangerang, dan Bekasi ini telah melumpuhkan aktivitas masyarakat. Selain rumah-rumah yang tergenang, mobil-mobil pun turut hanyut, bahkan sempat dikabarkan bahwa landasan pacu Bandar Udara Internasional Halim Perdana Kusuma lumpuh untuk beberapa jam. Berbagai perdebatan muncul terkait bagaimana kebijakan preventif yang telah dilakukan Pemerintah DKI, Jabar, dan Banten dalam upaya mencegah parahnya dampak banjir. Namun demikian, mencari siapa yang salah bukanlah hal yang tepat untuk diperdebatkan saat ini. Hal yang perlu dilakukan adalah mengkaji secara ilmiah bagaimana fenomena banjir di Jakarta dan sekitarnya ini terjadi. Oleh karena itu, tim Sebijak Institute berkesempatan untuk mewawancarai salah satu ahli Klimatologi dan Hidrologi UGM, yaitu Dr. Hatma Suryatmojo untuk menelisik fenomena banjir ibukota.
Pada awal wawancara, Dr. Hatma menjelaskan bahwa Indonesia memiliki pola iklim yang khas. Awal dan akhir musim hujan merupakan puncak musim hujan yang dicirikan dengan intensitas hujan yang tinggi namun dalam durasi yang pendek. Sedangkan pada pertengahan musim hujan dicirikan dengan intensitas hujan yang rendah namun dalam durasi yang panjang. Ketika masuk musim hujan, akan terjadi akumulasi yang menyebabkan peak season. Peak season ini terjadi pada akhir desember hingga awal januari. Jika dirunut dari data tahun-tahun sebelumnya, pada bulan Januari selalu terjadi hujan dengan intensitas yang tinggi di beberapa tempat di pulau jawa dan menyebakan bencana banjir maupun tanah longsor. Sedangkan akhir dari musim hujan diprediksi akan terjadi paa bulan April-Mei, yang juga perlu kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana di Pulau Jawa. Oleh karena itu, bencana di Pulau Jawa termasuk DKI Jakarta merupakan siklus yang berulang dan pasti terjadi. Terkait banjir yang terjadi baru-baru ini, Dr. Hatma menyebutkan bahwa dalam ilmu klimatologi dan hidrologi dikenal adanya banjir periodik dalam waktu tertentu. Banjir periodik terjadi ketika hujan sebagai input air di bumi memiliki intenstias yang tidak normal, sehingga menyebabkan bencana yang dampaknya lebih parah.
Selain itu, jika dirunut dari historisnya, wilayah DKI dan sekitarnya merupakan wilayah dataran banjir (daerah cekungan). Secara fisik, daerah ini merupakan “tempat air parkir”. Jika daerah parkir ini digunakan untuk keperluan lain, seperti dikeruk untuk pemukiman atau pembangunan lainnya, maka fungsi sebagai tempat parkir air ini akan hilang. DKI Jakarta sendiri dilalui oleh 13 sungai. Semua sungai tersebut berhulu di daerah lereng utara Gunung Gede Pangrango (Bogor), sehingga daerah Bogor dan sekitarnya juga membutuhkan perhatian khusus untuk mengendalikan jumlah air yang masuk ke hilir (DKI Jakarta). Meskipun banjir DKI Jakarta ini merupakam siklus periodik dan disebabkan karena kondisi geografisnya, faktor lain seperti membuang sampah sembarangan juga berkontribusi dalam parahnya banjir Jakarta.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam mencegah banjir adalah normalisasi. Normalisasi merupakan upaya untuk mengembalikan kondisi fisik sungai seperti kondisi awalnya dengan memperlebar sungai dan meinggikan tanggul. Tujuan dari normasilasi ini adalah untuk mempercepat air masuk ke laut (bisa dikatakan sebagai jalan tol air). Namun demikian, secara alamiah, pada daerah dataran banjir memiliki ciri sungai yang berkelok-kelok (meander). Fungsi maender adalah untuk memberikan waktu tunda mengalirnya air ke laut. Normalisasi merupakan langkah cepat yang dapat dilakukan dengan biaya yang tidak semahal jika mengembalikan ke fungsi alamiah dari sungai itu. Mengembalikan fungsi alamiah seperti maendering, menghidupkan rawa dan situ, dan pembebasan lahan membutuhkan waktu yang cukup mahal, namun memberikan manfaat jangka panjang. Sedangkan normalisasi dalam jangka pendek akan memberikan mafaat dengan mempercepat aliran air ke laut, namun dalam jangka panjang akan menyebabkan volume reservoir air di Jakarta berkurang, padahal kebutuhan air masyarakat Jakarta selalu meningkat, maka akan muncul ganggaun lingkungan lainnya.
Selain itu, dalam menanggapi strategi pembangunan bendungan di daerah hulu (Bogor), Dr. Hatma menjelaskan bahwa sesungguhnya fungsi dari bendungnan hanya untuk menampung dan menunda air mengalir ke hilir. Dari segi konstruksi infrastruktur, strategi ini ideal untuk mengontrol volume air yang bisa dikeluarkan. Namun, permasalahnnya adalah jika pembangunan bendungan tidak dibarengi dengan pengendalian produsen air permukaan, maka fungsi bendungan ini akan sia-sia.
Banjir ibukota merupakan suatu siklus periodik, namun manusia dapat melakukan upaya preventif untuk mencegah parahnya dampak banjir. Upaya preventif ini juga membutuhkan waktu yang panjang, tidak cukup hanya 5 tahun. Langkah kecil namun berdampak besar yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa mereka tinggal di daerah yang rawan bencana. Setiap orang wajib berkontribusi dalam mengupayakan pencegahan dampak banjir. Masyarakat tidak boleh hanya berpangku tangan dan hanya mengandalkan pemerintah. Di akhir sesi, Dr. Hatma memberikan kalimat penutup, “Setiap pilihan mengandung risiko, setiap risiko harus dihadapi bukan justru dihindari”.