(26/09/2019) Pada tanggal 26 September yang lalu, Center of International Forestry Research (CIFOR) menyelenggarakan Policy Dialogue yang berjudul “Toward Sustainable Palm Oil in Indonesia: Reconciling Economic Development and Forest Conservation”.
Policy Dialogue ini diselenggarakan di hotel Js. Luwansa Jakarta, dihadiri dari beberapa pejabat teras pemerintah (Bappenas, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Pertanian), LSM (Walhi dan KEHATI), Serikat Petani Kelapa Sawit, perwakilan kedutaan Uni Eropa, peneliti dan akademisi.
Kegiatan ini bertujuan untuk mengumpulkan dan berbagi perspektif mengenai kelapa sawit yang kerap kali menuai kontroversi serta menyusun benang merah rekonsiliasi antara konservasi hutan dan pembangunan industri kelapa sawit.
Sebijak Institute Fakultas Kehutanan UGM yang diwakili oleh Prof. Dr. Ahmad Maryudi berkesempatan untuk bergabung untuk memberikan perspektif dari segi akademisi. Sebijak Institute menyampaikan rekonsiliasi antara sawit (dengan potensi bagi devisa negara) dengan isu lingkungan harus dipahami dari bagaimana pemerintah mengartikulasikan narasi-narasi pembangunan. Dalam kebijakan pemerintah termasuk pemerintahan Jokowi, pembangunan masih diartikulasikan sebagai pembangunan ekonomi.
Sudah cukup lama sektor kehutanan dipandang sebagai sektor yang meredup kontribusinya terhadap pembangunan. Sehingga pemerintah memberikan penekanan pada komoditas sawit yang berorientasi ekspor dengan memberikan preferensi kepada perusahaan besar. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus pembangunan kebun sawit non-prosedural di Kawasan kehutanan.
Namun sektor kehutanan sendiri juga seringkali secara sepihak menunjuk dan menetapkan Kawasan hutan tanpa memperhatikan prioritas prioritas pembangunan yang lainnya. Sebijak juga memberikan contoh-contoh di Kalimantan Tengah yang mayoritas lahannya ditunjuk sebagai Kawasan hutan.
Sebijak Institute juga menanggapi peluang kebijakan one map policy sebagai sebuah kebijakan yang mempunyai potensi untuk memecahkan persolan tumpang tindih kepentingan antar sektor. Namun Sebijak masih meragukan efektivitas kebijakan ini mengingat dinamisnya kepentingan sektoral di level nasional dan sub-nasional.