Tafakur bersandar di batu sayup-sayup terdengar suara “Syekh Abdul Rahim bergantilah menjadi Abdul Hamid dan kurang tiga tahun lagi rusaknya Negeri Yogyakarta. Sudah takdir Allah mulai hancurnya tanah Jawa, kurang tiga tahun lagi dan sengsara kemudian. Kuberi pertanda, sudah menjadi jalan hidupmu Abdul Hamid, panah Sarutama ini bawalah.”
(Babad Dipanegara, Pupuh XIV Sinom No. 78 & 79)
Demikianlah petunjuk yang diterima oleh Abdul Rahim (nama samaran Pangeran Diponegoro) dalam pengembaraan spiritual di Pantai Parangkusumo tahun 1805. Benar, tahun 1808 Herman Willem Daendels hadir di Jawa menggemban tugas Louis Napoleon sebagai Gubernur Jendral Hindia Timur Belanda.
Dialah Daendels, yang dengan tangan besi merencanakan aneksasi Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan penguasaan hutan jati di pesisir utara secara absolut (termasuk penguasaan kawasannya, dan segala isinya), menerabas otoritas penguasa pribumi (Kraton Yogyakarta, dan para bupatinya).
Peter Carey dalam bukunya berjudul Takdir – Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) mencatat bahwa Daendels menuntut pelarangan bagi pengusaha swasta kayu jati melewati pesisir utara Jawa yang dikuasai Belanda. Daendels pun memanggil bupati-bupati Keraton Yogyakarta di kawasan Timur yang kaya hutan jati – Panolan (sekitar Blora-Cepu-Randublatung), Padangan, dan Madiun, untuk mendengarkan instruksinya tentang monopoli kayu jati.
Para bupati tersebut adalah orang-orang dekat Pangeran Diponegoro. Raden Tumenggung Notowijoyo III (Bupati Panolan) adalah mertua sang Pangeran. Mas Tumenggung Sumonegoro (Bupati Padangan) merupakan teman dekat Raden Ronggo Prawirodirjo III (Bupati Madiun, menantu Hamengkubuwana II).
Monopoli kayu jati oleh Daendels berimbas hilangnya pemasukan bagi mereka. Pada masa VOC, menurut catatan Nancy Peluso berjudul The History of State Forest Management in Colonial Java (1991), Belanda bisa mendapatkan akses melalui konsesi/ ijin dari para Bupati dengan imbal balik berbagai hadiah barang-barang mahal dari Eropa, Persia dan China. Sekitar 1810, Daendels bahkan menuntut Sultan untuk menangkap ketiga bupati tersebut, untuk melempangkan niatnya untuk mengangkangi hutan di kawasan timur.
Rakyat biasa pun terpukul. Sebelumnya mereka masih mendapat ijin Bupati untuk mengambil kayu. Hadirnya Daendels menutup akses mereka. Raffles dalam The History of Java (1817) mencatat kondisi rumah warga yang sangat buruk akibat penutupan akses atas hutan jati, yang “sebelumnya terbuka bagi warga asli dari semua lapisan”.
Daendels pun membentuk Dienst van het Boswezen (Dinas Kehutanan), otonom dari penguasa teritorial, yang bertugas mengontrol dan menguasai: kawasan (penguasaan negara atas semua lahan yang ada tegakan jatinya, staats domeinverklaring), tegakan hutan, dan tenaga buruh eksplotasi, dengan pengorganisasian polisi hutan yang terjun langsung ke hutan dan masyarakat.
Hanya tiga tahun Daendels bertahan di tanah Jawa, namun kebijakan yang dilakukan merubah drastis tatanan dan pranata penguasaan dan pengelolaan hutan. Saat Belanda kembali lagi ke Jawa tahun 1816, Gubernur Jendral Baru menguatkan kebijakan pendahulunya.
Pangeran Diponegoro mengobarkan Perang Jawa (1825-30) untuk mengembalikan keadaan sebelum reformasi Daendels, termasuk model penguasaan atas sumberdaya hutan. Sayang, sang Pangeran secara licik dijebak dan ditangkap dalam perundingan gencatan senjata di Magelang tahun 1830. Ini melempangkan kuasa Belanda atas hutan Jawa.