Menyikapi perilaku ekstraksi ugal-ugalan yang dilakukan pemegang Hak Pengusahaan Hutan/ HPH (saat ini, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu/ IUPHHK) tanpa upaya konkrit untuk mengembalikan kualitas tegakan, pada tahun 1980 Presiden mengeluarkan Keputusan No. 35 tentang Dana Jaminan Reboisasi (DJR).
DJR dipatok sebesar 4 USD/ m3 kayu yang diproduksi. Dana ini dikelola oleh Menteri Pertanian (saat ini kehutanan bagian dari pertanian). Dana akan dikembalikan apabila pemegang HPH telah melaksanakan kegiatan reboisasi dan permudaan hutan.
Alih-alih melaksanakan reboisasi, sebagian besar pemegang menganggap telah membayar retribusi yang membebaskan mereka dari kewajiban tersebut. Sebuah tulisan yang diterbitkan oleh Center of International Forestry Research berjudul “Financial governance and Indonesia’s Reforestation Fund during the Soeharto and post-Soeharto periods, 1989–2009: a political economic analysis of lessons for REDD+” (2010) menyebutkan bahwa melepas DJR lebih menguntungkan bagi pemegang konsesi daripada merehabilitasi bekas tebangan.
Karenanya, tahun 1989 pemerintah melalui Keputusan No. 31 mengubah DJR menjadi retribusi yang tidak dapat dikembalikan, bernama Dana Reboisasi (DR). Pembayaran DR ini tidak meniadakan kewajiban pemegang HPH untuk melaksanakan pemeliharaan dan permudaan hutan.
Awalnya DR dipatok sebesar 7 USD/ m3 produksi kayu, dan secara bertahap ditingkatkan menjadi 13-20 USD/ m3, tergantung jenis kayunya. Menurut publikasi CIFOR di atas, sekitar pertengahan 1990-an, penerimaan DR mencapai 500 juta USD/ tahun. Antara 1990 dan 2010, penerimaan DR diperkirakan mencapai lebih dari 6 milliar USD.
Lagi-lagi, keputusan ini tidak terlalu berdampak dalam mendorong pemegang HPH untuk merestorasi bekas tebangan. Banyak analis ekonomi dan kebijakan kehutanan menyebutkan bahwa besaran DR yang masih tergolong rendah, dibandingkan keuntungan yang dinikmati pemegang HPH.
Belakangan DR digelontorkan untuk membiayai pembangunan Hutan Tanaman Industri, yang mulai menjadi prioritas kebijakan kehutanan nasional pertengahan dekade 1980-an, menyikapi peningkatan kebutuhan kayu industri dan penurunan pasokan kayu hutan alam. Menurut audit Ernst and Young (1999), dalam decade 1990-an, Departemen Kehutanan (saat ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) mengalokasikan sekitar 1 miliar USD untuk pembangunan HTI.
Menurut catatan Barr dan Sayer (2012) berjudul “The political economy of reforestation and forest restoration in Asia–Pacific: Critical issues for REDD+”, DR juga digunakan untuk membiayai proyek-proyek politis Orde Baru, yang kurang terkait dengan kegiatan reforestasi, seperti pembiayaan industri pesawat Nurtanio (190 juta USD) dan proyek kontroversial pembangunan lahan gambut (250 juta USD).
Sampai akhir rezim Suharto, otoritas administrasi dan pengelolaan dana DR dipegang oleh Departemen Kehutanan, terpisah dari anggaran negara. Pengelolaan DR yang tidak transparan serta menyimpang jauh dari praktek akuntansi dan kontrol fidusia, mendorong pemerintah masa reformasi untuk mengambil kebijakan yang lebih transparan.
Pemerintah melalui peraturan No. 35 tahun 2002 memasukkan DR sebagai penghasilan negara bukan pajak. Kebijakan ini justru mempersulit akses penggunaan DR untuk kegiatan kehutanan, termasuk upaya reforestasi dan rehabilitasi hutan.*