Oleh: Sebijak Institute
Berbeda dengan hutan Jawa yang sudah dikelola dan diusahakan semenjak masa VOC Belanda, sampai dengan awal dekade 1960an hutan alam di luar Jawa relatif tidak tersentuh. Hal ini berubah drastis saat Soeharto naik ke tampuk pimpinan nasional.
Presiden Soeharto melihat potensi luar biasa hutan alam luar Jawa untuk menjadi pelumas mesin pembangunan. Awalnya, perusahaan multinasional mendapatkan kesempatan mengeruk kekayaan hutan Indonesia yang berlimpah, terutama dengan persyaratan istimewa bagi investasi asing di UU Penanaman Modal Asing No. 1/ 1967. Perusahaan multinasional yang melakukan ekstraksi sumberdaya hutan di Indonesia di awal timber boom ini antara lain Weyerheuser, Georgia Pacific, dan Unilever.
Pada tahun 1970 pemerintahan Orde Baru mulai membatasi ruang gerak mereka dengan mensyaratkan untuk melibatkan penanam modal dalam negeri melalui perusahaan patungan. Sebagai contoh Geogia Pacific melakukan kerjasama dengan Bob Hasan, dan mengganti nama dengan PT Georgia Pacific Indonesia.
Konsesi Hak Pengusahaan Hutan/ HPH (saat ini Ijin Usaha Pengusahaan Hutan/ IUPH) baru hanya diberikan kepada perusahaan dalam negeri mulai tahun 1975. Menurut catatan Christopher Barr dalam tulisan berjudul “Bob Hasan, the rise of Apkindo, and the shifting dynamics of control in Indonesia’s timber sector” (1988), sampai tahun 1980, 53 juta ha hutan Indonesia dibagi-bagikan kepada 519 perusahaan, mayoritas investor lokal dan beberapa perusahaan BUMN.
Preferensi terhadap investor domestik pelan-pelan mendorong perusahaan asing untuk hengkang dari Indonesia. Malcom Gillis dalam tulisannya berjudul “Indonesia: Public policies, resource management, and the tropical forest” (1988) mencatat pada tahun 1983 semua perusahaan Amerika Serikat dan Kanada hengkang, dan hanya tersisa 9 perusahaan asing (dari Jepang, Korea, dan Malaysia) yang masih beroperasi.
Di akhir dekade 1980-an, jumlah konsesi mencapai puncaknya, hampir 600 HPH, sebagian besar beroperasi di Sumatra dan Kalimantan. Menurut catatan Christopher Barr, 15 grup (151 perusahaan) kroni Presiden Soeharto menguasai hampir 18 juta ha, sepertiga dari total hutan produksi di Indonesia.
Penguasaan hutan Indonesia oleh segelintir orang mencapai puncaknya pada pertengahan dekade 1990-an. Menurut catatan Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch dalam buku berjudul Keadaan Hutan Indonesia (2001), saat itu hanya 8 pengusaha yang menguasai 23.54 juta ha (sekitar 38% dari total 62 juta ha hutan produksi).
Mereka adalah Prajogo Pangestu – Barito Pacific (6.13 juta ha), Burhan Uray – Djayanti (3.62 juta ha), PO Suwandi – Alas Kusuma (3.36 juta ha), Andi Sutanto – Kayu Lapis Indonesia (3.05 juta ha), Bob Hasan Group (2.38 juta ha), Martias Fangiono – Surya Dumai Group (1.80 juta ha), Susanta Lyman – Satya Djaya Raya (1.66 juta ha), dan Aburizal Bakrie – Tanjung Raya (1.53 juta ha). Selain mereka masih ada beberapa yang memiliki konsesi yang cukup luas, diantaranya: Anthony Salim, Sukanto Tanoto, Tekman, dan Supendi.
Dan dari hutan lah, bisnis mereka menggurita dan merambah sektor-sektor usaha lainnya.