Oleh: Sebijak Institute
Menurut tulisan Christopher Barr berjudul “Bob Hasan, the Rise of Apkindo, and the Shifting Dynamics of Control in Indonesia’s Timber Sector”, Bob Hasan yang lahir di Semarang tahun 1931 dengan nama The Kian Seng (alias Zheng Jiansheng), merupakan anak pedagang tembakau yang nenek moyangnya merupakan imigran dari Propinsi Fujian (China).
Di masa mudanya, Bob Hasan sempat sekolah di Belanda, dimana dia mulai berkenalan dengan pebisnis Indonesia yang sering berkunjung ke Amsterdam. Dia kembali ke Indonesia sekitar pertengahan dekade 1950-an, dan sempat menjadi pekerja kasar.
Peruntungannya mulai berubah saat dia mampu menjalin koneksi dengan beberapa perwira Kodam Diponegoro (Jawa Tengah). Dia diadopsi menjadi anak oleh Jendral Gatot Subroto, Pangdam Diponegoro. Perjalanan bisnis Bob Hasan di industri perkayuan dimulai dengan persahabatannya dengan Soeharto, yang diangkat sebagai Pangdam Diponegoro, menggantikan Jendral Gatot Subroto yang naik pangkat sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat.
Saat itu, para perwira Kodam Diponegoro banyak terlibat penggalangan dana melalui beberapa penyelundupan dan pengutipan biaya administrasi atas barang-barang yang beredar di Jawa Tengah, untuk menutupi kekurangan biaya operasional tentara. Tahun 1957, kegiatan penggalangan dana ini semakin terkonsolidasi dengan penyitaan asset-aset yang ditinggalkan Belanda yang di propinsi tersebut seperti pabrik dan perkebunan.
Sebagai Pangdam Soeharto mendirikan beberapa perusahaan, dan paling tidak dua Yayasan, untuk mengatur peredaran, distribusi dan pemasaran komoditas penting di Jawa Tengah. Bob Hasan berperan penting dalam menjalankan perusahaan tersebut. Tahun 1959, dia mendirikan beberapa perusahaan patungan antara Kodam Diponegoro dengan pengusaha China di Palembang, untuk mengatur jalur pelayaran, perusahaan pergudangan, dan beberapa usaha dagang lainnya.
Bob Hasan semakin dekat dengan Soeharto, saat Pangdam Diponegoro ini terancam diberhentikan karir militernya karena terlibat perdagangan illegal antara Semarang dengan Singapura. Bapat angkat dialah yang mampu membujuk Jendral Nasution untuk mengurungkan pemecatan Soeharto, yang akhirnya dipindahkan ke Seskoad dan bahkan diangkat sebagai Brigadir Jendral untuk memimpin bagian intel.
Saat Soeharto naik sebagai Presiden, jalan bisnis Bob Hasan semakin terang benderang. Dia kemudian dipercaya untuk menjadi mitra bagi perusahaan asing yang ingin berbisnis kayu di Indonesia. Bob Hasan merupakan pemegang saham terbesar di perusahaan patungan PT Georgia Pacific Indonesia. Saat Georgia Pacific hengkang dari Indonesia, perusahaan peninggalan tersebut sepenuhnya menjadi milik Bob Hasan. Bahkan Kalimanis Group milik Bob Hasan, menurut catatan Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch dalam buku berjudul Keadaan Hutan Indonesia (2001), menguasai lebih dari 2 juta ha hutan.
Karir Bob Hasan di bisnis perkayuan semakin gemilang saat pemerintah menghentikan ekspor kayu bulat, dan mulai mendorong industri pengolahan kayu. Dirinya ditunjuk sebagai Ketua Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) yang diberikan mandat khusus oleh Soeharto untuk melakukan kontrol atas ekspor, pemasaran, penetapan harga, pengaturan kontrak perdagangan anggotanya.
Di bawah komando Bob Hasan, akhir dekade 1980-an Indonesia menguasai 80% pasar dunia untuk kayu lapis tropis. Hal ini dikarenakan harga kayu lapis Indonesia relatif rendah, dikarenakan subsidi input kayu murah yang dihasilkan perusahaan konsesi logging. Ahmad Maryudi dalam tulisan berjudul “The political economy of forest land-use, the timber sector, and forest certification” memaparkan bahwa politik dumping ini menghancurkan industri kayu lapis Malaysia, karena tidak mampu bersaing dengan kayu lapis Indonesia yang dipatok dengan harga yang jauh lebih murah.
Kontrol atas industri perkayuan nasional ini juga didukung oleh kepiawaian dalam menjalin kerjasama dengan perusahaan asing. Paul Gellert dalam tulisan berjudul “Extractive Regimes: Toward a Better Understanding of Indonesian Development”, Bob Hasan membangun aliansi dengan sebuah perusahaan import Jepang (tujuan utama ekspor produk kayu Indonesia saat itu) untuk memonopoli distribusi dan pemasaran.
Awal dekade 1990-an, kondisi hutan Indonesia terlihat cukup mengkawatirkan. Hal ini mendorong Bank Dunia untuk menawarkan langkah-langkah reformasi institusi dan kebijakan kehutanan. Upaya aktif Bank Dunia untuk mereformasi struktur industri kehutanan dan perkayuan menyebabkan hubungannya dengan Indonesia merenggang.
Menurut catatan Hanna Kaisti dalam tulisan berjudul “Power of development aid: Defining the forest policy in post-New Order Indonesia” (2006), Departemen Kehutanan secara resmi menghentikan kerjasama dengan Bank Dunia tahun 1994. Bob Hasan memegang peran krusial berkenaan dengan hal tersebut.
Kondisi ini berubah saat Indonesia dihantam krisis ekonomi tahun 1997. Bank Dunia dan International Monetary Fund kembali hadir menawarkan berbagai langkah strategis untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia, dan salah satunya lagi-lagi mendorong reformasi kebijakan kehutanan. Saat itu, Bob Hasan sempat diangkat oleh Soeharto sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Saat negosiasi, Bob Hasan menolak permintaan IMF untuk menghentikan berbagai monopoli perdagangan, termasuk produk kayu.
Dalam penelusuran Hanna Kaisti, Bob Hasan mengatakan bahwa reformasi struktural yang ditawarkan IMF adalah upaya untuk melemahkan Indonesia. Bahkan dia mengatakan “Indonesia bukan Republik IMF”. Namun resistensi ini melunak saat kondisi perekonomian semakin mengkhawatirkan, dan Indonesia akhirnya menerima paket-paket reformasi sebagai persyaratan atas bantuan pinjaman dari IMF. Era monopoli Apkindo berakhir saat itu, dan bisnis perkayuan Bob Hasan mulai memudar dengan turunnya Soeharto. Dan bahkan Bob Hasan sempat mendekam di penjara selama 10 bulan karena kasus penyalahgunaan dana pemerintah sebesar 75 juta USD untuk proyek pemetaan hutan.