• UGM
  • Fakultas Kehutanan UGM
  • IT Center
Universitas Gadjah Mada
Sebijak Institute
Fakultas Kehutanan UGM
  • About Us
  • News
  • Research
  • Publication
    • Journal Articles
    • Books
    • Sebijak Facts
  • Policy Forum
  • Flashback
  • Learning Center
  • Sebijak Talks
  • Beranda
  • Pos oleh
  • page. 12
Pos oleh :

sebijak-institute.fkt

Talk Show “Politik Perdagangan Internasional: Pangan, Pasar dan Hutan?” Webinar #5 Dies Natalies Fakultas Kehutanan UGM

News Tuesday, 13 October 2020

(8/10) Pusat Kajian Sejarah dan Kebijakan Kehutanan (Sebijak Institute) Fakultas Kehutanan UGM melaksanakan kegiatan Talkshow dalam rangkaian kegiatan Dies Natalies Fakultas Kehutanan UGM yang ke-57. Kegiatan talkshow ini dilaksanakan pada Hari Kamis, 8 Oktober 2020 dengan judul tema “Politik Perdagangan Internasional: Pangan, Pasar dan Hutan?”.

Kegiatan talkshow ini dibuka oleh sambutan dari Wakil Bidang Kerjasama dan Alumni Fakultas Kehutanan UGM, Dr. rer. Silv. Muhammad Ali Imron, S.Hut., read more

Empat Potensi Dampak Kebijakan Omnibus Law di Sektor Kehutanan dan Lingkungan

Policy Forum Tuesday, 6 October 2020

oleh: Fitria Dewi Susanti (Junior researcher, Pusat Kajian  Sejarah dan Kebijakan Kehutanan (Sebijak Institute), Fakultas Kehutanan UGM  dan Sadam Afian Richwanudin (Asisten Peneliti, Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT), Fakultas Hukum, UGM

Pada periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo, salah satu cita-cita yang berusaha diwujudkan di bidang hukum adalah simplifikasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Hal ini bertujuan untuk memotong berbagai birokrasi njlimet yang rentan dengan berbagai tindakan yang koruptif.

Omnibus law di Indonesia

Perwujudan dari cita-cita “mulia” tersebut adalah munculnya omnibus law UU Cipta Lapangan Kerja (yang kemudian diubah menjadi UU Cipta Kerja). Di Indonesia, sistem pembentukan undang-undang dengan mekanisme ini merupakan hal yang asing sebab belum pernah dilakukan sebelumnya. Meskipun begitu, di dunia hukum mekanisme ini juga bukan merupakan hal yang baru sebab pernah dilakukan beberapa kali di Negara lain seperti di Kanada dan AS. Namun, mekanisme pembentukan perundang-undangan yang berusaha menggabungkan beberapa Norma yang tersebar dalam beberapa UU ini belum dikenal di Indonesia

Menelisik dari asal-usul bahasanya, ‘Omnibus’ merupakan kata yang digunakan dalam Bahasa Perancis untuk kendaraan sejenis bus yang digunakan untuk mengangkut penumpang dalam jumlah banyak. Secara harfiah, mana dari omnibus di dalam mekanisme pembentukan UU berarti adalah mengangkut beberapa peraturan untuk kemudian disatukan dalam satu UU. Hal ini lah yang juga melatarbelakangi kenapa kemudian di Indonesia UU ini disebut sebagai undang-undang sapu jagat.

Meski mekanismenya belum dikenal di Indonesia, Pemerintah nampaknya begitu ngotot untuk segera mengesahkan UU ini. Bahkan Pemerintah pernah menyebutkan bahwa UU ini akan menjadi kado 100 hari Pemerintahan Jokowi. Walau pada akhirnya tidak terwujud, tapi hal tersebut tidak menyurutkan keinginan besar pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR dan Pemerintah untuk segera mengetok palu pengesahan UU ini.

Jauh panggang dari api, pada praktiknya di lapangan proses pembentukan UU Cipta Kerja menghadapi banyak penolakan dari berbagai elemen masyarakat mulai dari akademisi hingga buruh. UU yang digadang-gadang oleh Pemerintah sebagai regulasi yang sederhana dan dapat membuka keran investasi sebagai penopang perekonomian Indonesia ini ditolak oleh kalangan-kalangan yang terdampak langsung oleh peraturan ini, seperti buruh dan petani. Padahal sejatinya pembentuk UU ini memiliki tujuan yang positif seperti penciptaan lapangan kerja, kemudahan perizinan usaha, dan percepatan investasi.

UU Cipta Kerja ini memberi dampak sangat luas hingga ke berbagai sektor seperti riset dan inovasi, pertanahan, administrasi pemerintahan dan tak terkecuali sektor kehutanan. Dampak yang luas ini tentu menjadi pertanyaan tentang bagaimana UU ini dapat mendegradasi nilai-nilai dan jiwa dari norma-norma yang sebelumnya terdapat dalam UU yang mengatur bidang yang terkait.

Posisi dan Potensi Dampak Sektor Kehutanan dan Lingkungan dalam Pusaran Omnibus Law

Sektor lingkungan khususnya kehutanan seperti dipaparkan sebelumnya memang tak luput dari imbas atas rencana pengesahan UU Cipta Kerja, hal ini lantaran pengaturan mengenai penyederhanaan perizinan usaha serta pengadaan lahan menyinggung banyak regulasi bidang kehutanan dan lingkungan. Perubahan mendasar yang terjadi adalah diubahnya beberapa intisari peraturan pokok sektor kehutanan yang terdapat dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan serta UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berikut merupakan beberapa poin penting perubahan yang ada ketika UU Cipta Kerja ini disahkan:

1.Mudahnya perizinan pemanfaatan
read more

TALKSHOW ONLINE “Politik Perdagangan Internasional : Pangan, Pasar dan Hutan ?”

News Monday, 5 October 2020

Pusat Studi Sejarah dan Kebijakan Kehutanan (Sebijak Institute) bersama dengan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dalam rangka memperingati Dies Natalis Ke-57 Fakultas Kehutanan mempersembahkan Talkshow Online sebagai bagian dari Webinar Series dengan tema:

Politik Perdagangan Internasional : Pangan, Pasar dan Hutan?

Pembicara:
👤Irfan Bakhtiar, S.Hut., M.Si. (Director of SPOS Indonesia Program, Yayasan Kehati)
👤Prof. Dr. Ahmad Maryudi, S.Hut., M.For. (Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM, Ketua Sebijak Institute)

Moderator:
👤Dr. Hero Marhaento, S.Hut., M.Si. (Ketua Tim Strategi Jangka Benah Fakultas Kehutanan UGM)

Webinar Seri #5 akan dilaksanakan pada :
🗓 Kamis, 8 Oktober 2020
🕑 Pukul: 09.00-11.00 WIB
🎥 Zoom
🎥 Live Youtube, Channel : Kehutanan UGM

Peserta dapat mendaftar melalui tautan berikut ini:

http://ugm.id/webinardiesfkt5

Fasilitas :
-E-sertifikat
-Materi paparan* (*dengan persetujuan narasumber)

*Pendaftaran ditutup H-1 atau setelah kuota terpenuhi
Link ke zoom diberikan ke email pendaftar pada H-1

Narahubung :

0818 0907 0127 (Andita Aulia Pratama, S.Hut., M.Sc.)

Perlunya Melindungi Ekosistem Hutan di Kawasan Calon Ibu Kota Negara Baru

Policy Forum Monday, 28 September 2020

oleh: Ramli Ramadhan (Pengurus CV. Lestari Muda Tropika (LMT) Jurusan kehutanan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Ditengah kondisi pandemi yang tidak kunjung membaik, persiapan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) baru terkendala karena pemerintah terfokus pada penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi secara nasional. Kementrian PPN/Bappenas sendiri mengumumkan bahwa proses kajian dan persiapan pemindahan IKN ke Kalimantan Timur tetap berjalan namun tidak dengan pembangunan fisik. Sasaran yang tadinya ditetapkan mulai pada tahun 2020 hingga 2024 tentang pengadaan lahan untuk akses jalan dan sarana prasarana, pembangunan sarpras sumber daya air dan pembangunan bangunan sampai pemindahan IKN di tahun 2024 sangat mungkin akan berubah. Sehingga sembari menunggu pemulihan kondisi ekonomi dan pandemi, masih ada waktu bagi pemerintah untuk memperdalam kajian terutama terhadap perlindungan kawasan hutan yang masuk di sekitar kawasan IKN.

Pemerintah berencana memindahkan IKN dari Jakarta ke Kalimantan Timur, tepatnya di Kabupaten Kutai Kertanegara dan Penajam Paser Utara dengan total luas area 256.142,74 hektar. Salah satu urgensi pemindahan IKN ialah mengurangi beban kawasan Jabodetabek. Jakarta sebagai IKN, saat ini memiliki tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi dengan pusat perputaran ekonomi terbesar (80%) sehingga membuat daya dukung lingkungan Jakarta terus menurun. Hal penting lainnya adalah Kalimantan memiliki risiko bencana alam yang minim serta masih tersedia lahan luas untuk pembangunan.

Namun terdapat kekhawatiran terhadap rencana pemindahan IKN utamanya ancaman ekosistem hutan yang berada disana. Hal ini karena kondisi hutan Kalimantan secara umum terus menunjukkan trend angka deforestasi yang tinggi. Menurut Gaveau et al. 2016, dari kurun waktu 1973 hingga 2015, Kalimantan telah kehilangan hutan sebesar 14,4 juta ha. Faktor utamanya ialah ekspansi perusahaan perkebunan sawit sebesar 7,8 juta ha dan industri HTI 1,3 juta Ha. Data deforestasi hingga tahun 2017 masih menunjukkan adanya loss biodiversity secara nasional seluas 0,48 juta ha dimana 0,3 juta ha berada di kawasan hutan alam primer. Pengalaman data diatas, menjadi pengingat pemerintah untuk serius merancang rencana pembangunan IKN dengan memperhatikan keberlangsungan hutan. Tulisan ini hendak menjelaskan mengenai ancaman keberlangsungan ekosistem hutan di lokasi IKN sehingga penting untuk mempertahankan dan merehabilitasi hutan dengan peran masyarakat didalamnya.

Melindungi Kawasan konservasi di Kawasan Calon Ibu Kota Baru

Di lokasi IKN setidaknya terdapat kawasan konservasi esensial seperti Tahura Bukit Soeharto, Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) serta Cagar Alam Teluk Adang. Data Citra Landsat menunjukkan bahwa 34% kawasan Tahura Bukit Soeharto sendiri masuk berada di lokasi IKN. Terdapat pula HLSW yang berbatasan langsung dengan Kawasan IKN. Bahkan ada sedikit bagian kawasan HLSW yang masuk kedalam kawasan IKN. Kawasan konservasi lainnya ialah CA Teluk Adang yang berada di Kalimantan Timur yang menjadi penyangga bagi ekosistem mangrove  meskipun berada diluar kawasan IKN.

Keberadaan kawasan konservasi diatas potensial terancam apabila pembangunan IKN tidak memiliki rencana perlindungan kawasan konservasi. Beberapa penelitian menuliskan bahwa Tahura Bukit Soeharto yang memiliki luas 67,776 ha telah mengalami degradasi fungsi hutan terutama akibat alih fungsi kebun sawit hingga pertambangan batu bara. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk memulihkan kembali fungsi hutan dan mempertahankan kawasan Tahura tersebut karena berada didalam kawasan IKN. Sama halnya keberadaan HLSW yang sangat penting untuk dipertahankan karena selama ini menjadi daerah tangkapan air bagi masyarakat Balikpapan. Ancaman keberadaa HLSW sama dengan Tahura Bukit Soeharto yakni ekspansi pembangunan industri maupun pemukiman. Setali tiga uang, CA Teluk Adang yang terletak di Kabupaten Paser merupakan ekosistem asli hutan mangrove seluas 12.418,75 ha yang didominasi oleh hutan rawa dan bakau.  Kondisi  CA Teluk Adang juga terus mengalami degradasi fungsi ekosistem akibat dari pertambakan oleh masyarakat, pemukiman, maupun pembangunan akses bagi pelabuhan batubara. Tidak hanya ekosistem hutan yang terancam, keberadaan populasi satwa liar di tiga kawasan diatas juga terancam. Tahura Bukit Soeharto selain keanekaragaman hayati yang tinggi, terdapat satwa dilindungi yang saat ini statusnya terancam yakni Orang utan (Pongo pygmaeus). Di lokasi HLSW juga menjadi rumah bagi beberapa satwa endemik seperti Bekantan kahau (Nahalais larvatus). Sama halnya dengan CA Teluk Adang yang menjadi rumah berbagai satwa langka. Kementrian PPN/Bappenas sendiri memasukkan rencana rehabilitasi hutan dan lahan serta pembuatan koridor ekologi menjadi prioritas dalam persiapan rencana pemindahan IKN.

Menyelaraskan perlindungan hutan di Kawasan IKN dengan mata pencaharian penduduk

Aspek sosial dan ekonomi masyarakat perlu diperhatikan disamping aspek ekologi.Masyarakat lokal asli di lokasi IKN yang sudah lama tinggal di kawasan dan menggantungkan hidup dari kawasan tersebut perlu untuk diperhatikan dengan mencarikan solusi agar tetap dapat mengakses mata pencaharian mereka. Berdasar data BPS, sebagian besar penduduk di Kabupaten Kutai Kertanegara dan Penajam Paser Utara masih mengandalkan sektor industri ekstraktif seperti perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. Perlu adanya jalan keluar bagi masyarakat yang selama ini bekeja di sektor tersebut. Misal di kawasan hutan,  skema seperti Kemitraan Konservasi (KK) atau Perhutanan Sosial menjadi contoh solusi agar masyarakat tetap dapat mengakses sumber daya hutan. Pekerjaan yang bersifat ekstraktif yang berpotensi merubah fungsi hutan perlu dilarang dan digantikan dengan pemanfaatan jasa ekowisata, lingkungan mapun hasil hutan bukan kayu. Sedangkan bagi penduduk baru yang transmigrasi ke lokasi IKN, perlu meningkatkan pengetahuan dan kesadaran terhadap keberadaan kawasan konservasi disekitar mereka. Pelibatan masyarakat dalam menjaga ekosistem hutan menjadi sangat penting. Semakin tinggi pemahaman masyarakat terhadap wilayah konservasi maka akan terjadi interaksi positif terhadap keberlangsungan kawasan tersebut.

Selain masyarakat, pengembangan kawasan IKN perlu memperhatikan proporsi lahan terbangun dengan kawasan hijau sebagai ruang jelajah satwa. Melihat kondisi habitat satwa yang terfragmentasi seperti di Kawasan IKN dan sekitarnya, pemerintah dianggap perlu unutk merancang jalur koridor kehidupan satwa liar guna mengakomodasi kepentingan perlindungan keanekaragaman hayati. Koridor kehidupan satwa liar ini merupakan areal alami maupun buatan yang menghubungkan dua atau lebih habitat yang saling terpisah. Koridor ini akan mampu meningkatkan laju pertukaran satwa diantara habitat yang terpisah, meningkatkan populasi hewan terancam punah, meningkatkan tingkat keragaman pada lahan yang terisolasi, serta memfasilitasi penyerbukan dan penyebaran biji oleh satwa.

Penutup

Pembangunan IKN di Kalimantan Timur sangat potensial berdampak terhadap ekosistem hutan seperti kawasan Tahura Bukit Soeharto, Hutan Lindung Sungai Wai maupun CA Teluk Adang. Pengembangan kawasan IKN perlu mengedepankan perlindungan lingkungan dengan memperhatikan proporsi lahan terbangun dan kawasan hijau, serta pembuatan jalur koridor bagi satwa. Pelibatan masyarakat melalui ruang akses terhadap SDA dengan menerapkan kaidah perlindungan ekosistem hutan juga menjadi hal utama.   Pada akhirnya, dengan waktu yang lebih panjang untuk memperdalam kajian dan rencana pembangunan IKN. Diharapkanpembangunan IKN baru dapat menjadi ibu kota yang ramah terhadap lingkungan dan ekosistem sekitar sehingga nyaman untuk ditinggali

Tulisan merupakan pandangan pribadi, tidak merepresentasi posisi Sebijak Institute***

Corona dan Fenomena Kebangkitan Atsiri Indonesia

Policy Forum Monday, 7 September 2020

Oleh: Agung Nugraha (Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute)

Selalu ada hikmah dibalik musibah. Tampaknya ungkapan bijak leluhur dan para tetua itu masih sangat relevan. Bahkan menemukan momentumnya. Ditengah situasi pandemi Covid-19 yang telah memaksa perubahan fundamental berbagai sendi kehidupan masyarakat, muncul sebuah peluang besar. Bahkan mungkin tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Adalah kehadiran kembali raksasa tidur hasil hutan bukan kayu (HHBK) Indonesia. Minyak atsiri. Beragam jenis minyak yang bersumber dari penyulingan daun atsiri. Tanaman asli hutan Indonesia. Kini benar-benar tengah naik daun.

Menemukan kembali eksistensi dan fungsinya. Melalui temuan-temuan peneliti –farmakologi- yang menyebar cepat di beragam media. Atas khasiat atsiri dalam meredam Covid-19. Diperkuat testimoni para pasien Covid-19 di berbagai warta. Yang telah dinyatakan sembuh pasca –sengaja ataupun tidak- menggunakan khasiat minyak atsiri.

Menjadikan potensi dan peluang atsiri kini menjulang membahana. Di era tatkala kepungan pandemi Covid-19 hampir membuat negara (Baca : Pemerintah) frustasi dan merana. Pun setiap warga dicekam rasa putus asa.

Ya, dengan kombinasi potensi atsiri dalam konteks konservasi lahan kritis dan peningkatan sosial ekonomi petani pedesaan, pengembangan minyak atsiri bisa menjelma menjadi terobosan penting. Program produktif. Kegiatan solutif. Dengan segala multiplier effect prospektif. Luar biasa atraktif.

 

Konservasi Lahan Kritis 

Itulah sepenggal kisah yang hendak saya bagikan. Perjalanan saya pada minggu pertama, September 2020 lalu. Atas undangan para pendamping lapangan sekaligus para tokoh masyarakat sebagai inisiator pengembangan demplot atsiri. Berlokasi tak jauh dari kota Jogja. Tepatnya di  Kelompok Tani “Karya Sejati” Dusun Kebonsungu, Desa Dlingo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Provinsi DIY.

Menyusuri sepanjang jalan dari kota Jogja menuju Dusun Dlingo, Bantul, sejauh mata memandang di kanan kiri jalan hanya ada satu pemandangan seragam. Bentang alam perbukitan batu cadas. Bukan lagi sekedar “tanah berbatu”. Melainkan benar – benar “batu bertanah”. Mendominasi landscape kawasan. Daerah berbatu kapur dengan ciri khas bukit-bukit kerucut (Conical limestone) dan merupakan kawasan karst. Kiri kanan jalan ditanami berbagai tanaman kayu hasil rehabilitasi. Ada sengon, mahoni dan paling dominan adalah jati. Namun rata-rata pertumbuhannya kurus. Bahkan boleh dikata tak terurus.

Ya, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan selama dua dekade terakhir memang berhasil menghijaukan kawasan Kecamatan Mangunan hingga Kecamatan Dlingo, Bantul. Secara konservasi memang mulai menghijaukan lahan-lahan kritis di sepanjang perbukitan kiri kanan jalan. Mulai menghadirkan tetes demi tetes aliran mata air di berbagai kawasan perbukitan Bantul dan sekitarnya. Menjadikan sungai Oyo tak pernah surut. Meskipun dikepung kemarau panjang tahun 2020 ini.

 

Permasalahannya, bagaimana dengan manfaat sosial ekonomi lahan ?

Itulah pertanyaan bahkan gugatan yang selalu mengemuka di kalangan petani lokal. Konservasi tanpa nilai sosial ekonomi, justru menyandera kehidupan mereka. Hanya tiga tahun pertama mereka bisa menanam palawija melalui tumpang sari. Dengan jagung atau tanaman palawija lainnya. Itupun hasilnya tak seberapa. Setahun tak lebih dari setengah juta rupiah. Wajar program pembangunan kehutanan tak terlalu dilirik. Apalagi diminati.

Sementara harapan pada tanaman kayu, khususnya jati tak kunjung prospektif. Jati yang tumbuh lencir bak pensil, hanya menghasilkan diameter minimalis. Lima belas tahun sejak ditanam melalui program Gerhan, rata-rata diemeternya tak lebih hanya 10  cm – 15 cm.  Tak ada istilah tebang butuh di kalangan petani Dlingo. Tersebab tanaman jati mereka tidak seperti yang diharapkan bila ditanam di lahan-lahan subur. Tumbuh pesat menghasilkan diameter yang besar. Sehingga menjadi rebutan kalangan pabrik maupun industri pengolahan kayu.

Hingga, saat pandemi Covid-19 mengunci. Muncullah gagasan itu. Menanam tanaman atsiri di lahan – lahan kritis. Menggantikan tegakan kayu yang tak lagi produktif. Mulai dengan tanaman tepi serai wangi (Cymbopogon nardus), tanaman pokok kayu putih (Melaleuca leucadendron) dan tanaman nilam (Pogostemon cablin). Tetap mempertahankan aspek konservasi sumberdaya lahan. namun dengan lonjakan nilai ekonomi yang mencengangkan.

 

Mendongkrak Sosial Ekonomi 

Fenomena petani tersandera tanaman berkayu sudah berlangsung sejak lama. Tersebab kurang memberikan manfaat sosial ekonomi secara optimal. Tanaman berkayu yang kurus tak terurus juga memupus harapan akan hasil ekonomi yang bagus.

Itu dulu. Berpuluh tahun lalu. Lima bulan terakhir situasinya mulai berubah. Saat potensi minyak atsiri mulai diperkenalkan para tim pendamping. Didukung inisiator para tokoh kampung. Semua pun sepakat bulat mendukung.

Kultur petani cenderung konvensional. Selalu rentan terhadap perubahan. Karena itu sangat tak mudah merubah mindset masyarakat. Seringkali menghadapi perlawanan. Bagaimanapun yang telah melekat kuat selama ini adalah tanaman jati. Yang selalu dianggap sebagai kayu sejati. Agar tidak mati. Tabungan petani saat krisis atau paceklik.

Atas dasar pertimbangan itulah penanaman massal belum bisa dilakukan. Butuh pendekatan. Sekaligus bukti. Bahwa mengganti jati yang sudah mendarah daging dengan tanaman lain, harus didahului dengan bukti konkrit. Bukan janji. Apalagi mimpi.

Diawali pengembangan demplot tanaman serai wangi, kayu putih dan juga nilam. Di tanah kas desa Dlingo. Dengan target awal seluas 2 hektar dari target keseluruhan 5 hektar. Melalui sosialisasi intens, dimulailah penanaman ketiga jenis tanaman tersebut. Sejak Pebruari 2020. Tanaman kayu putih sebanyak 5.000 bibit, sereh wangi sebanyak 10.000 bibit. Sementara awal musim hujan pada tahun yang sama akan ditanami jenis Nilam tak kurang dari 10.000 bibit.

Untuk memastikan, bahwa hasil panen daun tanaman atsiri bisa langsung diolah menjadi produk yang siap dijual, dibangun pula mesin penyulingan minyak atsiri dengan kapasitas 100 kg. langsung di dusun Dlingo. Bagaimana nilai ekonominya ? Simak kalkulasi berikut.

Untuk sereh wangi, dalam setahun diproyeksikan panen tiga kali, dimana panen pertama dan kedua menghasilkan @15 ton dengan nilai @Rp 4,5 juta. Sementara panen ketiga menghasilkan 7,5 ton dengan nilai Rp. 2,25 juta. Seluruhnya dalam bentuk daun. Setelah diolah menjadi minyak atsiri, masing-masing panen pertama dan kedua menghasilkan @50 liter minyak sereh wangi dengan nilai @Rp. 6,75 juta.

Itu baru dari sereh wangi. Untuk Nilam panen pertama dan kedua masing-masing menghasilkan daun @3 ton dengan nilai @Rp 9 juta. Setelah diolah menjadi minyak Nilam menghasilkan masing-masing @30 liter dengan nilai tak kurang @Rp 18 juta.

Masih ada lagi ? Tentu saja. Terakhir dari produk kayu putih. Dalam setahun bisa menghasilkan dua kali panen, masing-masing daun sebanyak @10 ton dengan nilai @RP.  10 juta. Setelah diolah menjadi minyak, masing-masing hasil panen menghasilkan @ 100 liter dengan nilai @Rp 26,5 juta.

Total nilai ketiga produk daun dan minyak atsiri sereh wangi, Nilam dan kayu putih di atas sebesar Rp 49,25 juta untuk produk berujud daun. Sementara untuk produk minyak atsiri total Rp 102,5 juta. Per hektar per tahun !! Total daun dna minyak tak kurang Rp 151,75 juta/tahun/ hektar.

Berbagai proyeksi di atas bukan hanya kalkulasi di atas kertas. Terbukti, lima bulan kemudian, Juli 2020 lalu  panen perdana serai wangi di Desa Dlingo dilakukan. Hasilnya luar biasa. Bupati Bantul, Suharsono yang hadir langsung di lokasi demplot bukan hanya sangat antusias. Namun sungguh sangat puas. Nilai ekonomi minyak atsiri mampu mendongkrak ekonomi warga petani. Sungguh jauh mengalahkan tanaman palawija. Hingga puluhan kali lipat.

Atas raihan awal Kelompok Tani “Karya Sejati” tersebut, Bupati Bantul memberikan apresiasi. Bantuan anggaran. Termasuk dukungan dalam bentuk program pengembangan infrastruktur yang akan bisa lebih memacu kemajuan wilayah desa Dlingo khususnya dan Kecamatan Dlingo umumnya. Bupati berjanji memperlebar jalan dan membangun jembatan yang akan menghubungkan langsung wilayah Kecamatan Dlingo ke wilayah Gunung Kidul. Sasaran Bupati Suharsono selain akan kian membantu mempermudah kegiatan pertanian, juga bisa melahirkan pengembangan program pembangunan di bidang wisata alam berbasis budidaya penanaman dan industri rumahan minyak atsiri.

Tidak mengherankan, bila Menteri Riset dan Inovasi Nasional Prof. Dr. Bambang Brojonegoro bahkan telah mencanangkan program swasembada atsiri di Kabupaten gunung Kidul, Bantul Selatan dan sekitarnya. Hal ini bukan mustahil. Faktanya, selama ini PAD dari sektor kehutanan di Provinsi Yogyakarta sebagian besar disumbang dari produk dan komoditas minyak atsiri.

Ngayogyakarta Hadiningrat memang bukan hanya istimewa. Namun juga sejak lama dikenal harum. Keharumannya dipastikan salah satunya karena kontribusi produk minyak atsiri. Tepat kiranya bila kinilah saatnya mengembangkan tanaman atsiri. Selain untuk konservasi lahan kritis. Tak kalah penting adalah untuk peningkatan sosial ekonomi masyarakat petani. Lalu, apa lagi yang ditunggu ?***

 

Tulisan merupakan pandangan pribadi, tidak merepresentasi posisi Sebijak Institute***

Menggugat Fungsi Asosiasi

Policy Forum Tuesday, 1 September 2020

Oleh : Ir. Darori, MM. (Anggota Komisi IV DPR RI)

Dunia tengah memperoleh ujian. Rezim kesehatan dan rezim ekonomi yang sejak dulu menyatu dan saling bahu – membahu, kini berada di persimpangan. Bahkan cenderung berseberangan. Adalah pandemi Covid-19. Telah memporak-porandakan perekonomian global. Hingga kuartal kedua tahun 2020 ini pertumbuhan ekonomi dunia telah terjun bebas. Meleset jauh dari proyeksi dan target. Bahkan telah menembus angka minus. Ada yang bahkan mencapai minus 17 persen. Akankah menuju resesi global ?

Indonesia tak bisa menghindar. Perekonomiannya pun tak luput kena hajar. Hingga kuartal kedua tahun yang sama, pertumbuhan ekonomi terjerembab ke angka minus 5,3 persen. Jelas diperlukan langkah-langkah terobosan. Mungkin juga akrobat kebijakan. Selain agar tidak terjerumus makin dalam, juga sebagai upaya penyelamatan sektor riil. Menghindari kian banyaknya kebangkrutan dunia usaha. Mencegah kian merebaknya PHK massal pekerja.

Darurat Kayu Bulat

Atas resultante berbagai faktor dan penyebab, sudah sejak lama kinerja sektor kehutanan terus merosot. Indikasinya jelas. Pengusahaan hutan hulu kian tidak kompetitif. Simak fakta pahitnya. Harga kayu bulat dalam negeri sebesar ± Rp. 1,2 juta per m3. Kurang lebih senilai US$ 85/M3 dengan kurs @USD Rp 14,000. Sementara biaya produksi rata-rata kayu bulat saat ini telah mencapai ± Rp. 1,2 juta /M3, diluar kewajiban PNBP. Ya, indikasinya tekor alias merugi. Tidak mengherankan. Dari 282 unit perusahaan pemegang IUPHHK-HA selaku produsen kayu bulat hutan alam yang beroperasi di seluruh Indonesia, hanya 50 % yang masih bertahan. Potret buram kondisi antara hidup segan mati tak hendak.

Ironisnya, wabah Covid-19 menyebabkan industri pengolahan kayu juga mengalami kondisi yang kurang lebih sama. Kesulitan operasional. Banyak negara-negara Eropa dan Amerika yang menjadi buyer atau konsumen tradisional produk kayu olahan Indonesia kini menerapkan kebijakan lockdown. Kondisi tersebut tentulah menyebabkan berkurang drastis. Bahkan terhentinya permintaan pasokan bahan baku kayu bulat.

Konsekuensi lanjutan atas situasi tersebut menyebabkan stok kayu bulat saat ini banyak menumpuk di lapangan. Bukan hanya puluhan ribu atau ratusan ribu meter kubik. Bahkan kini hampir mencapai 3 juta meter kubik. Bila tidak segera dimanfaatkan, dikhawatirkan stok kayu bulat tersebut akan membusuk atau rusak. Mubazir.

Kondisinya sudah mendekati kritis. Bahkan darurat. Banyak perusahaan pemegang IUPHHK-HA yang sudah tidak beroperasi. Tersebab kesulitan finansial. Karena kayu tak terjual tidak ada penerimaan. Implikasi lanjutannya, banyak pekerja yang sudah tidak digaji selama beberapa bulan terakhir. Bahkan, tidak tertutup peluang kebijakan PHK massal. Sangat memprihatinkan.

Tidak ada pilihan lain. Pemerintah bersama semua pihak harus segera melakukan upaya penyelamatan ekonomi pengusahaan hutan. Mengatasi persoalan darurat kayu bulat dari hutan alam. Dengan menerbitkan kebijakan-kebijakan relaksasi. Berorientasi insentif. Memungkinkan relaksasi sektor pengusahaan hutan. Bukan saja untuk mencegah kebangkrutan perusahaan. Juga mencegah PHK massal. Bila memungkinkan, sekaligus bisa membantu mendongkrak penerimaan negara. Sangat ideal.

Salah satu peluang solusi jangka pendek paling realistis adalah memberikan insentif kepada produsen kayu bulat. Melalui pembukaan keran ekspor logs. Tidak seluruhnya. Namun dengan perbandingan 50 % dari jumlah kayu bulat yang dijual dalam negeri. Hal ini sebagai jaminan keamanan bahan baku bagi industri pengolahan kayu domestik.

Sebagai informasi harga kayu bulat di pasar internasional berkisar US$ 270 per m3. Untuk menambah kontribusi penerimaaan negara, pajak ekspor kayu ditetapkan 25 %. Ini akan menjadi kebijakan yang bersifat win-win solution. Untuk menjaga agar kebijakan ekspor logs tidak bersifat massal, maka ijin ekspor kayu bulat diberikan hanya kepada IUPHHK-HA bersertifikat PHPL/FSC. Dengan masa berlaku yang juga terbatas. Tak lebih hanya selama 1 tahun. Dengan evaluasi ketat setelah 6 bulan penerapannya.

Dengan kebijakan tersebut diharapkan kinerja produsen kayu bulat di hulu bisa kembali terangkat. Dengan tetap menjamin ketersediaan bahan baku industri pengolahan kayu di hilir. Sekaligus akan memberikan sumbangan penerimaaan kepada negara. Pada akhirnya kembali membuka peluang usaha dan mencegah terjadinya PHK massal tenaga kerja.

Fungsi Asosiasi

Secara konseptual, untuk membangun efektivitas dalam mewujudkan kepentingan para individu pengusaha, dibentuklah asosiasi. Hal ini sesuai makna kata asosiasi. Wadah berhimpunnya beberapa individu yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama dalam sebuah ikatan kelembagaan. Wajar. Para pelaku usaha di setiap sektor usaha selalu membentuk wadah bersama. Asosiasi.

Beberapa asosiasi sejenis bahkan membentuk lembaga yang lebih besar. Dalam konteks Indonesia, wadah dunia usaha nasional disatukan dalam organisasi yang disebut dengan Kadin Indonesia. Wadah berhimpunnya berbagai asosiasi usaha. Yang diakui sebagai satu-satunya mitra Pemerintah.

Para pengusaha pemegang IUPHHK-HA juga memiliki wadah berhimpun. Bernama Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI). Selain perusahaan pemegang IUPHHK-HA, juga bergabung para pengusaha pemegang IUPHHK-HT (Hutan Tanaman). Berdiri sejak 21 November 1983, APHI memiliki berbagai catatan kinerja dan prestasi. Jatuh bangun dalam memperjuangkan kepentingan dan kemajuan usaha anggotanya.

Persoalannya, ditengah situasi kritis dan genting hari ini eksistensi dan fungsi APHI mendapat banyak sorotan. Ditengah situasi darurat yang mengancam kelangsungan anggotanya, APHI bahkan memperoleh berbagai gugatan. Terkait upaya konkrit dan langkah nyata dalam menyelamatkan nasib sekaligus masa depan anggotanya. Khususnya para perusahaan pemegang IUPHHK-HA.

Lagi – lagi, ditengah situasi krisis hari ini banyak pihak yang menilai asosiasi kurang pro aktif dalam memperjuangkan kebijakan. APHI terkesan lamban dalam upaya memperpanjang napas anggotanya. Tidak sedikit anggota yang menginginkan gebrakan asosiasi. Lebih berani mengambil langkah-langkah terobosan untuk memecah kebekuan. Road show ke Kadin Indonesia, lobby – lobby Kementerian dan lembaga pemerintah. Bahkan melakukan audiensi ke parlemen. ke Komisi IV DPR RI. Untuk menyampaikan upaya-upaya yang diperlukan bagi penyelamatan sektor pengusahaan hutan alam yang menjadi sumber kehidupan dan penghidupan para perusahaan pemegang IUPHHK-HA anggotanya. Tak terkecuali perjuangan pembukaan keran ekspor kayu bulat.

Yang kini terjadi, banyak pemilik perusahaan IUPHHK-HA yang maju sendiri-sendiri. Melakukan inisiatif individu dan perorangan. Situasinya ibarat anak ayam kehilangan induknya. Sementara asosiasi dinilai kurang atau tidak menunjukkan upaya-upaya yang jelas dan konkrit. Memang ada informasi pilihan langkah yang diupayakan. Salah satunya bekerja dalam senyap. Bersifat “silent operation”. Tidak gaduh. Agar tidak kontraproduktif. Namun, pilihan sikap itu juga memiliki kelemahan. Selain daya juangnya yang kurang berdampak, juga membutuhkan waktu yang lama. Tersebab tidak ada tekanan yang konstruktif dari asosiasi.

Saya pribadi telah beberapa kali bertemu dan berdiskusi secara langsung dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Bu Siti sangatlah rasional. Dengan memahami situasi dan kondisi genting saat ini, Bu Siti setuju dilakukan upaya solusi darurat jangka pendek. Menyetujui kebijakan pembukaan keran ekspor kayu bulat. Namun, mengingat issue ekspor logs relatif sensitif, Bu Siti mengharapkan kerjasama dan dukungan kuat dan solid para pihak. Terutama dari pihak yang langsung berkepentingan. Secara implisit dan eksplisit, Bu Menteri menyayangkan tidak cukup dukungan dari para pihak untuk bisa mewujudkan upaya tersebut.

Apa hendak dikata. Ditengah mendesaknya penerbitan kebijakan pembukaan keran ekspor logs bagi upaya penyelamatan jangka pendek, perusahaan IUPHHK-HA seperti tengah “menunggu godot”. Bukan hanya kecewa. Namun sudah frustasi. Jangankan upaya konkrit, bahkan gaung perjuangannya saja nyaris tak terdengar. Saya pribadi sungguh kecewa dengan situasi saat ini. Bagaimanapun banyak sekali perusahaan pemegang IUPHHK-HA yang menyampaikan kondisi krisis dan harapan akan kebijakan yang benar-benar akan menyelamatkan usaha mereka. Termasuk harapan akan peran asosiasi yang lebih nyata bagi masa depan kinerja pengusahaan hutan alam.

Ya, sebagai wakil rakyat dari Dapil Jawa Tengah VII yang mewakili rakyat dari Kabupaten Kebumen, Banjarnegara, dan Purbalingga sesungguhnya tidak ada kaitan langsung dengan sektor pengusahaan hutan tropis. Namun sebagai rimbawan yang telah menghabiskan hampir seluruh masa pengabdian sebagai aparat sipil negara, dan kini ditugaskan Partai Gerindra bekerja di Komisi IV DPR, secara pribadi Saya memiliki komitmen untuk selalu membantu memperjuangkan kepentingan kemajuan sektor kehutanan.

Sebagai rimbawan sekaligus politisi, satu hal yang selalu saya yakin menjelma menjadi hukum besi organisasi. Apapun itu, sebuah lembaga atau organisasi –pemerintah, bisnis, atau sosial- akan ditinggalkan konstituennya. Cepat atau lambat. Bila lembaga itu tak lagi sensitif dengan kepentingan sang konstituen. Pemilik suara mayoritas.

Apalagi sampai terjadi alineasi hubungan elite dengan konstituen yang tak lain adalah anak-anak kandungnya sendiri. Perjuangan mewujudkan kebijakan pembukaan keran ekspor logs ini akan menjadi catatan sejarah yang selalu melekat dalam benak dan sanubari IUPHHK-HA anggota APHI. Wallahualam.***

 

Tulisan merupakan pandangan pribadi, tidak merepresentasi posisi Sebijak Institute***

Memaknai Wisata Intelektual Wiratno

Policy Forum Sunday, 30 August 2020

Oleh : Agung Nugraha (Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute)

Saya memandang takjub. Menerima langsung dari tangan sang penulis. Sebuah buku berjudul “Wisata Intelektual. Catatan Perjalanan 2005-2020”. Bayangkan. Dengan tebal 709 halaman + XXVII. Terdiri 16 bab. Seluruhnya dijabarkan menjadi 84 sub bab. Plus prolog bertajuk “Pramana” (Halaman XIV) yang mengawali pembukaan isi buku. Ditutup sebuah epilog pamungkas berjudul “Pungkasan” (Halaman 679).

Tuntas sudah. Sebuah buku yang bukan hanya menggambarkan perjalanan panjang pengabdian –fisik- seorang birokrat. Menapak –jatuh bangun- karier dari bawah. Lebih dari itu. Merefleksikan konsep pemikiran dan dialektika perkembangannya. Dalam berbagai dimensi ruang dan gelombang waktu. Bermuara di samudera intelektual. Bukan hanya akan menambah wawasan. Namun juga sangat mencerahkan. Sebuah buku yang karenanya wajib menjadi rujukan.

Berwisata Intelektual

Jujur. Sebagai penulis, sudah barang tentu selalu memiliki intuisi terhadap sebuah buku. Sebagai sesama penulis pula, sudah lama saya meminta secara pribadi kepada Mas Wiratno untuk memperoleh buku ini. Maka, atas dasar kesibukan masing-masing, sungguh menjadi pertemuan tak terduga saat berpapasan di lift Blok I gedung MWB. Momentum serah terima buku yang ditandatangani langsung sang penulis. Terima kasih Mas Wir.

Membaca buku Mas Wiratno dengan halaman luar biasa tebal itu, haruslah memiliki strategi yang tepat. Bila tidak, bisa terjebak pada kehabisan stamina. Kedodoran dalam bentuk rasa jenuh. Jauh sebelum menemukan puncak kenikmatan dalam wujud pemahaman atas substansi bab demi bab. Apalagi mampu memaknai inti pemikiran setiap sub bab. Ujung-ujungnya bisa menghasilkan penilaian yang salah. Bahkan stigma sesat pikir atas kualitas dan bobot buku.

Maka, sungguh tepat bila buku terbaru Dirjen KSDAE ini diberi judul “Wisata Intelektual”. Kata wisata jelas merujuk pada upaya seseorang untuk mengunjungi suatu obyek. Dalam konteks wisata intelektual tentulah yang menjadi obyek kunjungan adalah literasi. Buku dan substansi tulisannya. Tujuannya pasti. Agar pembaca memperoleh sesuatu yang baru –pengetahuan dan pengalaman- sebagaimana diungkapkan sang penulis.

Dalam berwisata intelektual, setiap pembaca bebas memilih obyek yang menjadi minat dan keinginannya. Melakukan shopping. Karena itu, setiap pembaca –dengan segala atribut latar belakangnya- tidak harus membaca dari awal. Konvensional. Pembaca bisa memilih langsung sub bab apa saja –secara acak- yang menjadi minat dan dominasi pengalaman –intelektual ybs- sehingga akan memiliki relasi dialektis. Komunikatif. Erat. Bahkan menyatu. Hal ini dikarenakan pembagian bab langsung ditentukan berdasarkan periode time series perjalanan waktu. Tahun demi tahun pengembaraan intelektual penulis. Periode 2005-2020.

Meski boleh memilih acak, dalam berwisata intelektual tetap harus tahu secara garis besar obyek yang akan dikunjungi. Untuk itu, disarankan melakukan pendekatan ala “kendang”. Yang pertama dan utama, membaca prolog (pembuka) dan epilog (penutup) buku. Keduanya termaktub dalam “Pramana” dan “Pungkasan”. Agar memperoleh pondasi awal isi buku.

Ya, kedua tulisan itu akan membuka pemahaman awal pembaca bagaimana sosok seorang Wiratno. Pemikiran dan tindakan-tindakannya. Sebagai seorang birokrat yang telah berkarier di KLHK selama 15 tahun terakhir. Dimana sebagian besar periode pengabdiannya dihabiskan di Ditjen KSDAE. Relasi dan interaksi dengan individu dan lembaga di lingkup konservasi dan kehati. Yang kelak banyak mewarnai pemikiran dan membangun karakternya di kemudian hari.

Memaknai Wisata Intelektual

Jujur, pembacaan cepat seluruh bab dan sub bab telah selesai. Gaya penulisan yang mengalir lancar, pilihan diksi yang tepat sekaligus mencerahkan, termasuk potret aksi lapangan yang selalu didasarkan atas konsep pemikiran yang jelas rujukannya. Membuat buku “Wisata Intelektual” ini benar-benar –secara tidak langsung- mampu menggambarkan secara jelas perkembangan kebijakan dan program pembangunan konservasi di Indonesia. Karenanya sangat penting bagi rimbawan umumnya. Khususnya pekerja konservasi di manapun bertugas.

Memaknai pemikiran Mas Wiratno, jelas menghasilkan sebuah potret utuh. Pemimpin berkarakter kuat yang senantiasa mengikuti dinamika zaman. Berani melakukan perubahan. Hampir bisa dikatakan tak ada pemikiran, apalagi tindakan Mas Wiratno yang mengandung unsur-unsur kebijakan masa lalu yang kini kontraproduktif. Setidaknya, hal itu mengemuka pada artikel berjudul “Sepuluh Etika Rimbawan” (Halaman 61). Betapa untuk menjadi seorang rimbawan sesuai dinamika zaman, diperlukan perubahan revolusioner. Mulai dari memanusiakan manusia, menghargai makhluk hidup lain, tidak melakukan kekerasan dan seterusnya. Semuanya jelas telah mendekonstruksi pola pikir para pekerja konservasi yang selama ini justru berpikir dan bersikap bertolak belakang dengan essensi konservasi dan kehati. Paradoks.

Mas Wiratno juga telah mengkontruksikan jati diri kelola kawasan konservasi. Membangun tahapan perkembangan pembangunan konservasi berbasis falsafah Jawa. Sebuah pendekatan filsafat yang sarat akan pendekatan kebudayaan. Berkiblat pada peradaban adiluhung. Khususnya budaya Jawa. Hal ini penting sebagai sebuah identitas kultural sehingga semua pekerja konservasi memahami dari mana ia berasal dan hendak kemana tujuannya bermuara (Halaman 3).

Sebagai pejabat teknis tertinggi di Ditjen KSDAE, Mas Wiratno secara perlahan namun pasti berhasil merubah wajah konservasi yang selama ini lebih didominasi pendekatan legal dan polisional. Menjadi pendekatan faktual, humanis serta berkeadilan bagi alam dan masyarakat (Halaman 15). Memberikan payung legalitas kepada masyarakat untuk bisa memanfaatkan kawasan konservasi melalui kolaborasi yang win win solution (Halaman 151), berbasis perhutanan sosial (halaman 145). Sebuah pilihan keberpihakan pembangunan yang jelas dan nyata. Tentulah masih sangat banyak konsep pemikiran yang terungkap dalam buku ini.

Pada akhirnya, ada sebuah benang merah yang bisa digarisbawahi atas buku “Wisata Intelektual” karya rimbawan Bulaksumur itu. Mewujud menjadi sebuah konstruksi kepemimpinan seorang Wiratno. Pertama, pemimpin itu hadir dan eksis. Bukan hanya saat dibutuhkan, namun pemimpin itu selalu ada kapanpun dan dimanapun. Karya-karya intelektual Wiratno menjadi penanda paling sah lagi nyata. Bahwa sebagai pemimpin ia selalu hadir dan bekerja bersama jajarannya. Tulisan sekaligus menjadi media resiprositas -komunikasi dan apresiasi- vertikal horizontal di jajaran lingkup kelembagaannya.

Kedua, konservasi adalah sebuah wilayah pengabdian yang luas dan kompleks. Tidak selalu lurus dan tidak berupa kertas putih yang bersih. Karena itu, pemimpin konservasi harus berani memutuskan sekaligus melaksanakan tanpa setitik keraguan. Sepanjang rasional dan untuk kepentingan yang lebih besar. Bukan hanya berbicara dan memberi perintah. Namun tidak memberi contoh berani bertindak. Tersebab segan dan menolak memikul beban tagggung jawab atas segala resiko dan konsekuensi. Ketulusan dan tiadanya konflik kepentingan pribadi dan golongan, akan mendorong seorang pemimpin berani menuntaskan persoalan. Bukan menghindari atau bahkan membiarkannya. Itu yang dicontohkan seorang Wiratno melalui buku wisata intelektualnya.

Ketiga, ucapan dan tindakan selalu memberikan konsekuensi. Salah satu konsekuensi yang justru memperkuat kepemimpinan Wiratno adalah keteladanan. Tatkala apa yang diucapkan sebangun dengan apa yang dilakukan, maka disitulah modal sosial individu dan kelembagaan akan terbangun. Kepercayaan.

Obsesi Flying Team

Saya bukan seorang konservasionis. Bukan pula seorang birokrat. Karena itu belum pernah menyatu dalam sebuah kerja bersama. Dalam jangka periode waktu lama pula. Namun sebagai rimbawan dan sesama penulis ada kecocokan. Banyak melakukan diskursus intelektual. Tentang banyak hal. Terlebih karena memiliki minat yang sama : menulis. Sama sama tersihir salah satu tema besar pembangunan kehutanan. Issue dan agenda keadilan sosial komunitas.

Syahdan, dalam sebuah dialektika 13 tahun lalu pada saat penyelenggaraan COP di Denpasar, Bali 2007, Mas Wiratno mengungkapkan salah satu obsesinya. Sebuah konsep bernama “Flying Team” (FT). Team khusus yang terdiri para individu kompeten dan berpengalaman. Untuk mendukung secara cepat dan efektif kerja – kerja pembangunan konservasi yang demikian pesat dan dinamis. Sebuah pemikiran terobosan inovatif khas Wiratno. Kreativitas Out of the box. Tidak terjebak pola struktural – konvensional. Tentu bukan merubah apalagi membuat struktur baru. Namun lebih pada upaya melengkapi. Agar organisasi lebih efektif dan optimal.

Lima tahun kemudian, tatkala menjadi nakhoda di BKSDA dengan teritori Provinsi NTT, Mas Wiratno untuk pertama kali menerapkan konsep FT. Namun saat itu dengan pola yang sama sekali berbeda. Dalam aktualisasinya, FT merujuk pada tim yang dibentuk untuk mendukung pelaksanaan Resort Based Management (RBM). Personilnya bukan mereka yang advanced kompetensi dan pengalamannya. Sebaliknya, SDM yang justru tidak termanfaatkan secara optimal dan karenanya bila tidak diperankan bisa terjebak ke kuadran negatip. Hasilnya luar biasa. Personil FT yang diterjunkan ke lapangan, terbukti mampu membantu tugas-tugas resort. Menumbuhkan komunikasi intens dengan kepala dan jajaran staf resort. Membangun relasi sosial kultural dengan masyarakat. Bahkan membantu menemukan solusi persoalan-persoalan lapangan (Halaman 431).

Hari ini, saat Mas Wiratno sudah menjadi pejabat puncak di Ditjen KSDAE, KLHK, saya meyakini sepenuhnya konsep FT telah diterapkan dengan baik. Benar-benar operasional. Buku “Wisata Intelektual” ini bisa jadi refleksi salah satu keberadaan dan peran konsep FT. Betapapun padatnya agenda dan jadwal kegiatan sebagai pejabat eselon 1, Mas Wiratno masih tetap menulis. Konsisten. Bahkan menerbitkan menjadi sebuah buku yang luar biasa berbobot. Menjelma menjadi sebuah monumen sekaligus prasasti. Atas capaian kiprahnya dalam menunaikan tugas dan pengabdian. Sekaligus capaian kelembagaan Ditjen KSDAE yang mampu menjadi gerbong perubahan dalam pembangunan konservasi di Indonesia. Tentulah kalau tidak didukung team SDM birokrasi yang handal, tak mungkin bisa merealisasikannya. Lagi lagi, Saya kembali terpikir dan teringat konsep FT obsesi Mas Wiratno. Memang paten.

Sebagai catatan akhir. Hampir tidak ada yang terlewatkan dalam buku ini. Substansi formal, teknis, informal maupun non teknis. Bahkan relasi yang sangat human interest hampir mengemuka di setiap sub bab. Mengalir deras. Sangat memperkaya. Beberapa bahkan tergali cukup mendalam. Mencerminkan dominasi karakter empati dan simpati sosok seorang Wiratno. Bukan hanya hubungan vertikal kepada atasan dan seniornya. Namun juga relasi horizontal kepada sesama kolega maupun bawahannya.

Karenanya, jujur tidak ada lubang dalam buku ini. Tidak ada yang terlewatkan yang menjadi titik lemah. Kalaupun ada, barangkali satu dua hal yang –mungkin- terlewat sebagai sebuah pakem buku yang selalu menjadi tradisi. Tidak ditemukan di buku ini. Satu halaman tentang biodata sang penulis. Yang menjelaskan secara rinci hal – hal yang lebih privat atas seorang Wiratno. Bagaimanapun, sebagai sosok pemimpin, pejabat, senior dan berbagai atribut sosial kultural lainnya, tetap diperlukan informasi diri yang lebih spesifik. Hingga mudah untuk diketahui khalayak umum. Khususnya para pembaca. Satu lagi adalah halaman indeks buku.

Terakhir, tidak banyak orang seberuntung saya. Bisa memperoleh buku, bahkan ditandatangni langsung sang penulis. Bagaimana dengan mereka yang sangat ingin memperoleh buku ini. Pilihannya hanya dua. Mendapatkan dengan membeli di distributor toko buku besar. Seperti jaringan Kompas – Gramedia dan Gunung Agung. Atau memperoleh edisi buku dalam wujud E-book. Semoga hal ini sudah dipikirkan pula oleh team Mas Wiratno.

Sekali lagi selamat dan salut kepada Mas Wiratno. Birokrat penulis sekaligus seorang rimbawan intelektual. Semoga senantiasa bersikap istiqomah pada setiap amanah. ***

 

Tulisan merupakan pandangan pribadi, tidak merepresentasi posisi Sebijak Institute***

Redam Eksploitasi Hutan dengan Mengubah Kurikulum Pendidikan Kehutanan di Indonesia

Policy Forum Wednesday, 26 August 2020

oleh: Andita Aulia Pratama (Dosen Fakultas Kehutanan UGM dan Peneliti Sebijak Institute)

Meskipun Indonesia adalah negara dengan kawasan hutan terluas ke-8 di dunia dengan kawasan hutan seluas 120,6 juta hektare, atau sekitar 63% dari luas semua daratan Indonesia, deforestasi hutan Indonesia tertinggi ketiga di dunia pada tahun 2018.

Hal tersebut diakibatkan oleh tata kelola hutan yang didominasi oleh eksploitasi kayu secara serampangan dan perubahan hutan menjadi lahan pertanian. Salah satu pemicu praktik eksploitatif terhadap hutan tersebut adalah kurikulum pendidikan kehutanan Indonesia yang masih menganggap hutan sebagai sumber daya alam untuk komoditas ekonomi semata. Sebagai peneliti kehutanan, saya melihat perlu adanya pembaruan pendidikan kehutanan di Indonesia untuk meredam eksploitasi terhadap sumber daya hutan dan melindungi manusia dari krisis iklim.

Perubahan kurikulum yang ada bisa dilakukan dengan cara memasukkan isu-isu global, seperti krisis iklim dan keanekaragaman hayati, ke dalam kurikulum pendidikan kehutanan.

Sebatas komoditas ekonomi

Beberapa laporan global menyebutkan bahwa Pendidikan Kehutanan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, masih sebatas praktik pengambilan kayu dan gagal menjawab tantangan global di sektor kehutanan. Di Indonesia, kita mendapatkan pengetahuan dasar tentang peran hutan sebagai paru-paru dunia hingga pemanasan global.

Tapi, informasi ini ditanamkan dengan pemahaman bahwa hutan merupakan sumberdaya alam dapat diperbaharui dan memiliki kemampuan untuk regenerasi sendiri, layaknya air dan udara. Pemahaman tersebut akhirnya menjelaskan mengapa upaya perlindungan hutan pada masyarakat Indonesia masih rendah.

Hal tersebut pun tercermin dalam kurikulum pendidikan kehutanan. Kurikulum tingkat pendidikan tinggi masih berorientasi kepada cara mencapai produksi kayu. Ini terlihat dari mayoritas materi kuliah kehutanan yang mengarah pada kepentingan produksi terutama kayu, ketimbang mempelajari aspek-aspek lain seperti peran hutan dalam perubahan iklim, konservasi keanekaragaman hayati, pendapatan masyarakat, kebutuhan pangan, serta ilmu kebijakan terkait kehutanan.

Tanpa mempelajari aspek-aspek tersebut, para lulusan pendidikan kehutanan akan cenderung tetap melihat sektor ini dari satu sudut pandang semata, yaitu sumberdaya kayu.

Pendidikan adaptif dengan perkembangan global

Pendidikan kehutanan yang eksploitatif tidak akan cocok menghadapi masalah-masalah di sektor kehutanan saat ini, mulai dari deforestasi (hilangnya tutupan hutan secara permanen), degradasi hutan (menurunnya kualitas hutan), hingga krisis iklim.

Salah satu solusi adalah menerapkan pendekatan multidisiplin ilmu dan memasukkan isu perkembangan global ke dalam kurikulum. Beberapa penelitian di negara lain, seperti Laos dan Finlandia, sudah menunjukkan bahwa kebutuhan pendidikan tinggi kehutanan tidak hanya soal ilmu alam, melainkan juga ilmu sosial.

Di Indonesia, pendekatan ini bisa dimulai dari pemberian penugasan berupa capstone project, yaitu tugas dengan orientasi pemecahan masalah dengan melibatkan banyak multidisiplin ilmu.

Menurut pengalaman saya, ini masih belum banyak dilakukan institusi pendidikan tinggi di Indonesia. Misalnya, untuk menyusun strategi mitigasi banjir di perkotaan, perlu memadukan berbagai latar belakang ilmu seperti perencanaan wilayah dan tata kota dan ilmu pemerintahan, tidak hanya butuh keahlian mahasiswa kehutanan terkait peran vegetasi hutan.

Contoh yang lebih besar, perencanaan pembangunan ibukota baru di Kalimantan, yang berada di kawasan hutan, memerlukan perhatian tidak hanya dari segi infrastruktur, tapi juga ahli kehutanan. Ini dapat menjadi salah satu contoh capstone project yang dapat dikerjakan secara multi-dispilin. Untuk mencegah deforestasi dan degradasi hutan dalam skala masif akibat proses pembukaan kawasan hutan, sangat penting untuk melibatkan ahli kehutanan yang memahami konteks perencanaan hutan secara luas yang terkait dengan pembangunan dan tata kota.

Penugasan ini akan membutuhkan berbagai pendekatan keilmuan sosial dan alam, kehutanan dan non-kehutanan.

 

*Tulisan merupakan opini pribadi, tidak merepresentasi posisi Sebijak Institute.

Tulisan ini, sebelumnya telah dimuat di laman The Conversation, https://theconversation.com/redam-eksploitasi-hutan-dengan-mengubah-kurikulum-pendidikan-kehutanan-di-indonesia-140425

New Normal: Saatnya Ramah Lingkungan

Policy Forum Wednesday, 26 August 2020

oleh: Muhammad Haidar Daulay (Asisten Peneliti Sebijak Institute)

Pandemi covid-19 yang mulai mewabah sejak Desember 2019 telah memakan banyak korban jiwa. Pemerintah di berbagai negara bergegas menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) maupun social distancing untuk mencegah penyebaran yang semakin masif.

Kebijakan ini berdampak buruk bagi kondisi ekonomi global, namun tidak bagi sektor lingkungan. Berbagai media memberitakan kondisi lingkungan membaik sejak penerapan kebijakan lockdown maupun social distancing. Di New York emisi karbon turun 50%, Tiongkok turun 25%, air tampak jernih di Venice, Italia, dan langit Jakarta tampak biru cerah selama beberapa bulan terakhir.

Lockdown maupun social distancing tentu bukan solusi jangka panjang untuk menjaga lingkungan. Setelah situasi kembali normal, risiko pencemaran lingkungan akan kembali muncul melalui berbagai aktivitas manusia. Karena itu, sangat penting mulai membiasakan diri dengan aksi ramah lingkungan (green action) terutama untuk menyambut new normal yang sudah digaungkan di banyak negara. Apa yang bisa kita lakukan?

Meningkatkan pengetahuan tentang isu lingkungan. 

Sebelum melakukan aksi lingkungan adalah mengetahui dan memahami isu seputar lingkungan. Memahami isu lingkungan  akan meningkatkan kepekaan seseorang untuk lebih bertanggung jawab menjaga lingkungan hidup.

Sejak pandemi, banyak lembaga pemerintah maupun non-pemerintah yang menyediakan diskusi seputar isu lingkungan secara daring melalui webinar (seminar online). Webinar  menjadi media bagi khalayak umum untuk memahami isu lingkungan dengan akses yang mudah dan tidak berbayar.

Berbagai tema isu lingkungan seperti kebakaran hutan, penggunaan energi terbarukan, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim tersedia di webinar-webinar ini. Informasi-informasi webinar ini bisa diperoleh melalui akun sosial media lembaga pemerintah maupun komunitas yang fokus di bidang lingkungan hidup.

Memilih produk ekolabel. 

Produk ekolabel menandakan bahwa produk tersebut dibuat dari proses produksi, penggunaan, dan pembuangan limbah yang tidak membahayakan lingkungan. Produk ekolabel saat ini mulai diminati di pasar global terutama untuk menyasar konsumen yang memiliki kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan. Beberapa contoh ekolabel yang ada di Indonesia adalah label FSC untuk produk berbahan dasar kayu, RSPO untuk produk kelapa sawit, MSC untuk produk perikanan tangkap, dan ASC untuk produk perikanan budidaya.

Hemat energi dan mengurangi jejak karbon. 

Memilih produk elektronik yang lebih hemat energi, mematikan lampu di siang hari, mengolah sampah organik menjadi kompos, dan mengontrol jejak karbon pribadi merupakan beberapa langkah kecil yang berdampak positif bagi lingkungan hidup.

Jejak karbon merupakan total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh individu yang dinyatakan dalam karbon dioksida ekuivalen. Besaran jejak karbon pribadi dapat dihitung melalui fitur carbon footprint yang dapat diakses melalui internet.

Salah satu sumber jejak karbon yang cukup besar berasal dari transportasi. Kendaraan berbahan bakar fosil tampaknya masih menjadi pilihan utama transportasi bagi masyarakat umum. Namun telah terjadi fenomena unik sejak pandemi beberapa bulan ini.

Saat ini sepeda menjadi tren transportasi di beberapa negara termasuk Indonesia. Masyarakat di beberapa kota seperti Jakarta dan Yogyakarta mulai berbondong-bondong menggunakan alat transportasi ramah lingkungan ini.

Kemunculan tren bersepeda ini mungkin disebabkan oleh rasa jenuh masyarakat setelah berbulan-bulan  bekerja dari rumah. Semangat bersepeda ini tentunya perlu dijaga dan dijadikan gaya hidup baru dalam situasi new normal ini. Selain itu, perlu dukungan pemerintah untuk menjadikan sepeda sebagai gaya hidup baru, contohnya dengan memfasilitasi jalur yang aman bagi pesepeda.

Menanam pohon dan urban farming. 

Pohon memiliki kemampuan menyerap karbon dioksida, salah satu gas rumah kaca terbesar di bumi ini. Menanam satu pohon saja sangat berarti bagi upaya mitigasi perubahan iklim.

Bagi yang terkendala menanam pohon karena keterbatasan lahan, saat ini telah tersedia beberapa platform yang menerima donasi pengadaan bibit, penanaman, perawatan, bahkan sampai pemantauan kondisi pohon. Selain menanam pohon, konsep urban farming juga telah dikembangkan di kota-kota besar Indonesia sebagai alternatif pemanfaatan ruang dan upaya mitigasi perubahan iklim.

Menyebarluaskan informasi aksi ramah lingkungan. 

Tindakan ramah lingkungan kolektif tentu akan memberikan dampak yang lebih besar dibandingkan aksi individu. Setelah berhasil menerapkan aksi ramah lingkungan, saatnya mengajak keluarga, rekan kerja, dan teman-teman untuk memulai mencoba gaya hidup ramah lingkungan.

Greta Thunberg, aktivis iklim asal Swedia, membuktikan kepada dunia bahwa aksi individu dapat menggerakkan aksi kolektif. Dalam situasi pandemi ini, penyebarluasan aksi ramah lingkungan bisa dilakukan melalui sosial media seperti Instagram, Facebook, dan WhatsApp.

Lingkungan hidup yang membaik selama beberapa bulan ini bisa saja membuat masyarakat dunia terlena, hingga lupa bahwa kondisi seperti ini hanya bersifat sementara. Kebijakan lockdown maupun social distancing tidak dapat dijadikan sebagai solusi jangka panjang untuk menjaga lingkungan hidup.

Oleh karena itu, penting untuk mulai membiasakan diri menerapkan aksi ramah lingkungan sehingga ketika memasuki kondisi normal (new normal), kita sudah terbiasa dengan gaya hidup ramah lingkungan.

 

*Tulisan merupakan opini pribadi, tidak merepresentasi posisi Sebijak Institute.

*Tulisan ini , sebelumnya telah dimuat di laman Forest Digest, https://www.forestdigest.com/detail/671/new-normal-saatnya-ramah-lingkungan

Hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA)

Policy Forum Thursday, 20 August 2020

Oleh : Agung Nugraha (Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute)

Sesuai konvensi politik ketatanegaraan, Presiden Joko Widodo kembali menyampaikan pidato kenegaraan. Pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI serta DPD RI. Dalam rangka HUT Ke-75 Proklamasi Kemerdekaan RI. Jum’at, 14 Agustus 2020.

Memang sejak proklamasi kemerdekaan, Presiden RI pertama sekaligus sang proklamator -Bung Karno- selalu menyampaikan pidato di depan para tokoh bangsa beserta segenap lapisan masyarakat. Selain menyampaikan soal-soal kebangsaan, sang orator ulung itu juga memanfaatkan kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai ideologi bangsa.

Hal yang sama juga dilakukan Presiden RI ke-2. Soeharto. Di depan sidang tahunan MPR RI, Soeharto selalu mengusung program pembangunan yang menjadi ideologinya. Antara lain konsep Repelita yang tertuang dalam GBHN, Trilogi Pembangunan dan sebagainya. Demikian, seterusnya hingga era Presiden Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY. Kini, Jokowi melanjutkan tradisi politik ketatanegaraan itu.

Hari ini, ditengah kepungan pandemi Covid-19 yang belum juga mereda, serta ditingkahi ancaman resesi global, Presiden Jokowi kembali menyampaikan pidato kenegaraan.

HILIRISASI SDA

Walau masih penuh optimisme, namun nada prihatin (baca : muram) sungguh nyata dalam substansi pidato Presiden. Banyak agenda strategis yang harus dikaji kembali. Ditata ulang. Beberapa bahkan terpaksa ditunda.

Tidak ada lagi pembicaraan tentang gegap gempita pemindahan ibukota. Sementara, komitmen menggenjot pembangunan infrastruktur dalam konteks percepatan kesiapan Indonesia menghadapi era revolusi industri 4.0 juga harus dikaji kembali pelaksanaannya.

Hari ini, rezim ekonomi mengalami perlambatan. Kemunduran. Membutuhkan penyesuaian. Dampak pandemi Covid-19 membuat perekonomian dunia terjerembab. Konon terparah dalam sejarah. Ditengah upaya tata ulang prioritas pembangunan, satu agenda akan tetap digenjot. Hilirisasi SDA. Mungkinkah ?

Hilirisasi bukan isu baru. Hilirisasi bahan mentah yang berasal dari industri ekstraktif dalam negeri harus dilakukan besar-besaran. Mulai produk pertanian, perkebunan, perikanan, pertambangan, hingga migas. Seluruhnya untuk mewujudkan dua agenda strategis. Ketahanan pangan dan kemandirian energi. Mewujudkan visi Indonesia maju 2045.

Ada tiga rasionalitas dalam upaya mewujudkan hilirisasi SDA. Dalam jangka pendek, hilirisasi SDA bertujuan memperbaiki neraca perdagangan. Selama ini, neraca perdagangan Indonesia memang kedodoran. Meskipun kaya SDA, namun industri domestik masih sangat ekstraktif. Produk SDA Indonesia langsung diekspor –sebagai komoditas nir nilai tambah- membuat tak mampu mendongkrak nilai ekspor. Ironisnya, pengolahan bahan mentah dari SDA Indonesia kemudian diimpor dalam bentuk barang jadi. Dampak lanjutannya menghasilkan devisa minimalis. Konsekuensinya, Indonesia terus mengalami defisit transaksi berjalan.

Dalam jangka menengah. Hilirisasi sangat penting untuk mewujudkan lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional. Hilirisasi akan menciptakan berbagai industri pengolahan bahan baku yang melimpah. Selain akan menciptakan nilai tambah produk, multiplier effect-nya akan menciptakan berbagai peluang usaha lainnya. Mendatangkan investasi, menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, dan meningkatkan pendapatan. Pada akhirnya hilirisasi bisa menjadi pintu masuk terciptanya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di berbagai kawasan di seluruh Indonesia.

Dalam jangka panjang, hilirisasi SDA akan membawa Indonesia pada status impian. Negara industri maju. Indonesia tidak hanya menjadi negara importir dan pasar berbagai produk barang dan jasa negara lain. Namun menjadi negara eksportir –produsen- dengan produk akhir bernilai tambah tinggi. Status sebagai negara agraris bisa jadi tetap. Namun status itu berkembang menjadi negara industri maju di bidang pertanian. Demikian pula dengan perikanan, perkebunan, pertambangan dan industri berbasis SDA lainnya.

QUO VADIS KEHUTANAN?

Pertanyaannya selalu sama. Kemana kehutanan ? Mengapa pidato Presiden Joko Widodo tidak menyebut hilirisasi komoditas kehutanan. Yang notabene merupakan salah satu sumberdaya alam pionir sekaligus paling potensial. Termasuk kepentingan mewujudkan ketahanan pangan dan kemandirian energi. Dengan luasnya ketersediaan lahan, iklim yang memadai, serta karakter tegakan yang jauh lebih cepat tumbuh menjadikan kehutanan secara konseptual mampu memenangi semua kompetisi di tingkat global. Apalagi dengan potensi ketersediaan tenaga kerja yang tak kalah melimpah.

Mengapa produk-produk hasil hutan tidak masuk radar hilirisasi SDA ?

Berbagai pertanyaan bahkan gugatan di atas muncul di hampir semua diskusi forum rimbawan. Menjadi topik hangat. Bahkan panas. Betapa –konon- pidato Presiden sangat A-historis. Betapa sejarah mencatat pada dekade 1980-an sektor kehutanan menjadi sektor yang pertama melakukan hilirisasi produk kayu bulat. Menjadi berbagai produk industri hasil hutan. Terutama kayu lapis. Berorientasi ekspor. Dengan dua kebijakan utamanya. Stop ekspor logs. Dilanjutkan dengan industrialisasi hasil hutan kayu. Menjelma menjadi sebuah integrasi vertikal. Hingga Indonesia menjelma menjadi salah satu raksasa industri pengolahan kayu dunia. Menjadi salah satu yang terbesar saat itu.

Lalu, mengapa kehutanan tidak disebut dalam kebijakan hilirisasi SDA Presiden Joko Widodo ?

Tidak ada yang tahu. Tidak pula muncul jawaban pasti. Satu yang jelas dan pasti. Kebijakan menjadikan kehutanan sebagai salah satu lumbung pangan bukan sebuah kebijakan baru. Banyak terminologi dan nomenklatur yang mengemuka soal itu di masa lalu. Salah satu yang paling menonjol adalah Hutan Cadangan Pangan (HCP). Pada dekade krisis ekonomi 1997.

Demikian pula dengan kebijakan hutan sebagai sumber energi. Khususnya energi baru terbaharukan (EBT) melalui pengembangan hutan tanaman energi berbasis biomassa. Antara lain dalam bentuk wood pellet. Juga pengolahan biomassa menjadi biodiesel. Bahkan telah pula mengundang investasi investor raksasa dari berbagai manca negara.

Singkat kata. Berbagai kebijakan kehutanan di atas yang semula gegap gempita pada akhirnya senyap. Tanpa hasil nyata. Singkat cerita. Rencana program yang penuh optimisme keberhasilan dan keyakinan akan menjelma menjadi solusi pada akhirnya padam di tengah jalan. Kebijakan dan program hutan untuk pangan dan energi tidak pernah memberikan hasil konkrit. Tak berkelanjutan. Dikarenakan berbagai faktor penyebab. Dari mulai aspek teknis yang njlimet. Hingga dominasi faktor non teknis yang ruwet.

Ironisnya peran dan kontribusi sektor kehutanan pun kian redup. Jangankan sektor kehutanan hilir yang kini cenderung mati suri. Tak mampu bersaing karena tidak pernah kunjung ada investasi dan revitalisasi mesin – mesin baru. Yang ada adalah rencana ganti mesin bekas yang jelas sudah kalah saing dari sisi efisiensi. Termasuk tiadanya terobosan diversifikasi produk dan bahan baku yang kini pasokannya dari hutan alam kian berkurang.

Sementara pengembangan hutan tanaman industri setali tiga uang. Masih jalan di tempat. Pengusahaan hutan alam kian tersudut. Potret pengusahaan hutan di hulupun kini semakin kritis. Tersebab kepungan beragam masalah. Dari konflik lahan, besarnya pungutan, lemahnya re-investasi, tiadanya dukungan perbankan, rendahnya harga, dan masih banyak faktor lainnya. Menjadi benang kusut yang tidak jelas ujung pangkalnya. Pahit memang. Namun itulah kenyataannya.

Ibarat ungkapan gaul kaum milenial potensi kehutanan tak lebih dari sekedar PHP. Indah di rencana, namun sulit dijalankan. Bagus di konsep dan teori namun mustahil dalam realisasi. Salah satunya mindset hutan identik dengan kayu menyebabkan pemanfaatan dan penggunakaan kawasan hutan untuk kepentingan hasil hutan non kayu –pangan dan energi- menjadi rumit. Baik dari sisi teknis maupun non teknis kehutanan.

PENUTUP

Di tengah tekanan krisis selalu ada jalan. Ditengah kepungan masalah selalu ada peluang. Kuncinya, harus berani melakukan terobosan. Tidak berpikir linear dan berani merubah pendekatan normal menjadi cara-cara ekstra-normal. Dari kegiatan biasa menjadi luar biasa. Yang paling penting, dari perlakuan prosedur panjang berbelit menjadi sebuah terobosan cerdas efisien. Utamakan hasil jangan terbelenggu prosedur.

Lebih jauh, ditengah kompetisi global semua pihak harus mulai berani merubah mindset. Menunjukkan etos kerja yang mencerminkan produktivias yang sama sekali baru. Fleksibilitas, kecepatan, dan ketepatan menjadi sebuah keniscayaan. Diyakini akan mendongkrak daya saing. Penggunaan platform teknologi digital sudah tak dapat ditawar lagi. Itulah kunci memenangi kompetisi.

Harapan di atas selama ini justru tidak atau belum tampak di kehutanan. Sektor bisnis kehutanan masih terbuai kejayaan masa lalu. Romantisme kelimpahan kayu bulat dari hutan alam. Dengan berbagai kebijakan yang protektif. Membuat sektor bisnis kehutanan memiliki daya saing rendah. Pun bila ada masalah solusinya cenderung berpaling kepada pemerintah.

Demikian pula dengan birokrasi kehutanan. Masih sangat dominan rezim perijinan. Yang lebih mengutamakan prosedur. Tanpa melihat dinamika lapangan yang berkembang sangat cepat. Kompetisi global yang sangat pesat. Mau investasi saja sulit. Butuh waktu lama. Tersebab proses dan prosedurnya yang panjang berliku. Pada akhirnya, semua kondisional di atas tampaknya menjadikan kebijakan hilirisasi kehutanan masih jauh dari harapan. Memang semua ini belum tentu benar. Namun kalau memang demikian adanya, quo vadis kehutanan ?

 

Tulisan merupakan pandangan pribadi, tidak merepresentasi posisi Sebijak Institute***

1…1011121314…20
Universitas Gadjah Mada

SEBIJAK INSTITUTE
Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada
Jl. Agro, Bulaksumur No.1, Yogyakarta 55281

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju