Agung Nugraha (Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute)
Memasuki periode kedua jabatannya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya langsung tancap gas. Setelah memperoleh arahan dan instruksi Sang RI-1, Sang Manggala-1 segera bergegas. Tak ada pilihan lain selain harus melaksanakan tugas.
Hal yang sama diikuti oleh para pejabat eselon satu KLHK dan segenap jajaran petugas. Dengan sigap semua membentuk berbagai Satgas. Crash program. Sebagai refleksi menuntaskan Pe – Er yang menjadi prioritas. Menyelesaikan semua target secara tuntas.
Adalah Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (Dirjen PDASHL), Hudoyo yang tak kalah sigap. Terhadap instruksi RI-1, mantan Staf Ahli KLHK Bidang Energi tersebut langsung tanggap. Sekaligus menindaklanjuti arahan Sang Manggala-1 tanpa gagap. Seluruh komitmen akan diwujudkan lengkap.
Ya. Hudoyo secara lugas mendeklarasikan sebuah komitmen spesial. Bahwa program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) harus berubah total. RHL bukan hanya sekedar kegiatan menanam yang bersifat administratif seremonial. Dalam konteks revolusi industri 4.0, rehabilitasi justru tidak boleh direspon dengan pendekatan artifisial. Siapkan Bibit – Tanam – Pelihara – Laporkan. Selesai. Demikian setiap tahun. Pun ukuran keberhasilannya sangat teknis. Yang penting asal hijau. Populer dengan istilah ASAHI.
Itulah yang terjadi puluhan tahun. Mendarah daging. Sebuah cara berpikir – bertindak yang sangat mekanistik. Menghasilkan program A-sosial karena miskin bahkan tanpa landasan etik. Lebih karena perilaku robotik. Sekedar mewujudakn visi pembangunan yang bersifat normatif. Jauh dari visi kelestarian dan kesejahteraan rakyat yang bersifat substantif.
RHL Berbasis Sosial
Hudoyo membawa angin segar. Sang Dirjen PDAS & HL menolak kegiatan rehabilitasi sebagai sebuah ritual. Apalagi menjelma menjadi program seremonial. Cenderung mengusung jargon dan slogan yang sensasional. Ironisnya, tidak pernah berubah karena menjadi rutinitas yang bersifat sakral. Sungguh sebuah sesat pikir yang luar biasa fatal. Didominasi realisasi kegiatan gagal. Karenanya wajib dirombak total.
Hudoyo menginginkan target rehabilitasi yang jauh lebih riil. Sama dengan harapan RI-1. Menghasilkan outcome yang walau sedikit namun konkrit. Dimulai dari perubahan orientasi di tingkat konseptual. Berujung pada upaya adaptasi di tingkat operasional. Sebuah komitmen yang pantas menjadi modal awal.
Program rehabilitasi selama ini identik dengan kegiatan yang dirancang dari atas (top down). Diperburuk databased peta yang merefleksikan ketidakjelasan lokasi. Disertai ketiadaan kontinuitas kegiatan pasca penanaman. Intinya, RHL dilakukan hanya berdasarkan target dan sasaran teknis semata. Tanpa mempertimbangkan aspek kelola sosial. Termasuk pra kondisi di bidang sosial ekonomi dan kultural. Hingga pendampingan kelembagaan masyarakat lokal. Karena itu semua harus dirombak besar-besaran. Tak terkecuali orientasi yang menjadi dasar penyelenggaraan kegiatan.
Salah satu perubahan orientasi dasar kegiatan RHL yang harus dirombak adalah partisipasi masyarakat dan dukungan para pihak. Mulai dari perencanaan rancangan kegiatan, pra kondisi, penyiapan dan pengembangan kelembagaan. Termasuk pendampingan. Hal ini menjadi kunci awal dalam meniadakan “de javu” rutinitas tahunan program RHL.
Pendekatan kegiatan rehabilitasi ke depan harus bersifat terbuka dan partisipatif. Selama ini pendekatan kegiatan RHL bersifat top down. Sesuai pendekatan pembangunan yang terpusat dan sentralistik. Jauh dari dukungan Pemerintah Daerah. Apalagi keterlibatan masyarakat setempat. Termasuk pemangku kepentingan di tingkat tapak. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan penanaman hingga pemeliharaan dilakukan tanpa partisipasi masyarakat.
Implikasinya jelas. Rehabilitasi seperti kegiatan kering dan terasing. Sunyi senyap jauh dari keramaian. Tercermin dari tiadanya relasi dan interaksi. Apalagi dukungan sekaligus keterlibatan masyarakat. Konsekuensi lebih lanjut, bukan hanya tidak tahu. Masyarakat juga tidak mau tahu. Bahkan lebih buruk mereka merasa tidak perlu tahu.
Tentulah dampak dari situasi RHL A-sosial tersebut sangat nyata. Lemahnya perencanaan yang tidak partisipatif menghasilkan program RHL yang nir-keterlibatan masyarakat. Tingginya potensi konflik di tingkat lapangan menjadi muara realita. Konsep rehabilitasi dan reboisasi yang hanya didasarlan pada ipso jure legal formal di atas dokumen berbenturan dengan kenyataan penguasaaan dan penggarapan lahan oleh petani di tingkat tapak yang secara ipso facto adalah masyarakat lokal.
Termasuk pada saat kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanamannya. Tanpa basis sosial, khususnya keterlibatan masyarakat maupun dukungan para pihak, sesungguhnya rehabilitasi sedang menulis sejarah tentang kisah kegagalan program di sebuah negeri antah berantah.
Kepastian & Ketepatan Lokasi
Kegiatan rehabilitasi sudah berlangsung sejak sangat lama. Konon sejak awal keberadaan manusia. Jauh sebelum keberadaan kelola hutan yang disebut dengan pembangunan kehutanan. Ya, sejak awal kegiatan rehabilitasi dan reboisasi menjadi salah satu agenda utama masyarakat. Mulai di era kerajaan nusantara, pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Maupun Pemerintah di periode pra dan pasca kemerdekaan NKRI (Dephut. 1986).
Rehabilitasi bahkan menjelma menjadi sebuah jargon. Betapa prioritas dan mendesaknya upaya penghutanan kembali atas nama kepentingan demi kesinambungan ekosistem planet bumi. Bahkan keselamatan dan keberlanjutan kehidupan komunitas itu sendiri. Karena itu, sesungguhnya sejarah keberadaan rehabilitasi dan rebosiasi sudah sangat lama. Bahkan lebih tua dari sejarah kelembagaan kehutanan itu sendiri (Wibowo. 2006).
Saking intensnya kegiatan rehabilitasi dilakukan setiap tahun, ada sebuah sindiran soal program penghutanan kembali ini di kalangan politisi DPR. Konon, menurut perbincangan politisi di parlemen bahwa seandainya luasan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dari tahun ke tahun dijumlah secara akumulatif, luasannya bahkan lebih besar dibanding data luas lahan kritis itu sendiri. Benar-benar satire. Mak-jleb.
Ironisnya jajaran Dephut hingga KLHK pun tidak mampu menjawab secara jelas. Apalagi tuntas. Maksudnya, menjawab secara oral mungkin bisa dilakukan. Namun menjelaskan argumentasi disertai data valid dan akurat, itu yang sulit diungkap karena beban moral. Dengan demikian, kegiatan rehabilitasi sesungguhnya telah kehilangan urgensi. Bahkan relevansi. Dikarenakan kegiatannya yang bersifat rutin normatif menyebabkan terjadinya krisis etis.
Apa pasal ? Tak lain karena setiap ditanyakan dimana lokasi kegiatan rehabilitasi, tak satupun aparat kehutanan yang mampu menunjukkan. Jangankan politisi DPR. Presiden sendiri yang meminta pun tak bisa diperlihatkan. Sungguh irasional. Namun itulah yang terjadi. Wajar bila Presiden Jokowi angkat bicara soal agenda dan tuntutan perubahan orientasi kegiatan rehabilitasi.
Sekali lagi, data soal lokasi dan luasan lahan kritis dan hutan rusak memang sangat urgen. Keduanya menjadi landasan bagi penyusunan rancangan kegiatan penanaman RHL. Dimana, apa status kawasannya, bagaimana tutupan lahannya, aksesibilitas dan keterbukaan arealnya dan sebagainya. Termasuk data dan informasi sosial, ekonomi, budaya serta kelembagaan. Semua harus jelas dan pasti.
Dengan demikian, kegiatan RHL ini benar-benar bisa dipertanggung jawabkan. Mulai dari perencanaan hingga pelaporannya. Termasuk kegiatan fisik di tingkat tapak yang tercermin dari kemudahan pembuktian di lapangan.
RHL Holistik
Dari dulu selalu dikemukakan bahwa RHL adalah kegiatan teknis penanaman. Jadi tidak ada dan tidak perlu mempertimbangkan aspek non teknis. Mulai dari aspek sosial, ekonomi dan budaya. Bahkan aspek strategis yang bersifat politis.
Itu jelas keliru besar. Kerumitan yang berkelindan dengan sesat pikir terkait kegiatan rehabilitasi. Rehabilitasi adalah kegiatan pembangunan hutan yang harus bersifat holistik. Dari perencanaan hingga implementasi dan evaluasi. Dari kepentingan di hulu hingga target di hilir. Dari negara ke sektor bisnis hingga ke ranah publik komunitas. Semuanya harus mempertimbangkan bukan saja aspek teknis. Melainkan aspek-aspek lain terkait yang tak kalah penting dan strategis.
Sejak awal, rancangan kegiatan penanaman rehabilitasi harus mempertimbangkan kondisi tapak. Baik berdasarkan perspektif peta maupun verifikasi aspek biofisik maupun aspek sosekbud dan kelembagaan masyarakat. Hal ini sangat penting. Tujuannya agar kegiatan penanaman rehabilitasi tidak hanya sekedar aktivitas tanam – menanam biasa. Melainkan sebuah kegiatan holistik yang terkait dengan berbagai kepentingan yang lebih besar.
Program RHL ke depan tidak boleh hanya sekedar memberikan hasil dalam bentuk output. Minimalis. Melainkan juga harus memberikan hasil berbasis outcome sebagaimana diharapkan Presiden Jokowi. Termasuk harus mampu mengartikulasikan pemenuhan target hasil dalam bentuk dampak yang nyata (Impact) serta manfaat yang signifikan (benefit). Konteks itu yang secara sosial kultural disebut dengan holistik. Mendalam dan komprehensif.
Bukan hanya dari perspektif teknis saja. Lingkungan yang hijau dan produktivitas hutan dan lahan yang meningkat. Tidak kalah penting yang harus sejak awal dibangun –walau awalnya asumsi dan proyeksi- adalah bagi peningkatan investasi. Berapa banyak penciptaan peluang usaha yang bersifat multiplier effect langsung maupun tak langsung. Hingga pada potensi bagi peluang penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat.
Bahkan di era global dengan isu pemanasan global dan potensi dampak perubahan iklim. Rehabilitasi harus bisa menjadi salah satu jangkar KLHK dalam upaya penurunan laju deegradasi dan deforestasi. Ujungnya bermuara pada upaya peningkatan peran penyerapan karbon (carbon sink).
Jelas, bila orientasi sebagai pola pikir jajaran Ditjen PDASHL mampu terstruktur dan sistematis seperti itu, diyakini sepenuhnya bahwa keberhasilan program rehabilitasi akan bisa dilakukan secara massif dan kontekstual.
Penutup
Kehadiran kelembagaan eselon satu dalam bentuk Ditjen Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (PDAS & HL) yang terpisah dengan Perhutanan Sosial yang kini naik kelas menjadi setingkat Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) jelas sebuah terobosan di satu sisi. Namun kemudian memisah rehabilitasi secara paradigmatic merupakan sebuah kesalahan berpikir yang sangat fundamental.
Keputusan itu menyebabkan lahirnya sesat pikir yang berujung pada timbulnya dis-orientasi dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi yang semula melekat dengan kehutanan sosial. Pun sebaliknya, kini kerja perhutanan sosial dibiarkan menjadi sebuah program sosial murni yang tidak didukung oleh teknis pemanfaatan lahan berbasis kehutanan.
Ibarat dua sisi mata uang yang seharusnya tidak terpisahkan antara rehabilitasi dan aspek perhutanan sosial. Aspek sosial sebagai poin yang bermakna value atau nilai. Sementara penanaman rehabilitasi sebagai koin yang bersifat fisik. Maknanya, koin tak berarti tanpa poin. Poin tanpa wujud fisik koin juga absurd. Tidak konkrit alias tidak laku.
Apa hendak dikata. Semua sudah menjadi keputusan negara. Mengalir tertulis menjadi sejarah baru yang mengharu biru.
Meskipun demikian, perubahan orientasi dalam merealisasikan kegiatan RHL sebagaimana rekomendasi di atas merupakan sebuah keniscayaan. Sesuai dengan permintaan Presiden Jokowi, maka kegiatan rehabilitasi harus mampu menjelma menjadi lima instrumen penting. Termaktub dalam konsep PANCA CITA Rehabilitasi Hutan dan Lahan ke depan sebagai berikut.
Cita Pertama. RHL harus mampu menjelma menjadi salah satu instrumen utama dalam upaya penurunan laju degradasi dan deforestasi kawasan hutan. Merestorasi hutan terbakar. Sekaligus peningkatan produktivitas hutan.
Cita Kedua. RHL menjelma menjadi instrumen finansial. Khususnya menyangkut investasi kepada petani penggarap lahan di sekitar kawasan hutan. Termasuk proyeksi investasi dampak maupun manfaatnya bagi penciptaan peluang usaha dan penyediaan pekerjaan masyarakat setempat.
Cita Ketiga. RHL mampu menjadi instrumen sosial ekonomi, khususnya dalam upaya meningkatkan potensi perekonomian masyarakat. Khususnya dalam peningkatan pendapatan (Income).
Cita Keempat. RHL menjadi instrumen resolusi konflik kehutanan di tingkat tapak, yang tercermin dari dicapainya kesepakatan-kesepakatan dalam berbagai aspek, antara lain lokasi, luas, jenis tanaman, status kawasan, asal usul dan legalitas kependudukan, dan sebagainya.
Cita Kelima. RHL mampu menghasilkan databased peta spasial sekaligus peta sosial kegiatan rehabilitasi. Baik lokasi, luas, cluster jenis tanaman, sekaligus databased peta potensi konflik kawasan hutan, khususnya di kawasan HL/KPHL.
Pada akhirnya, orientasi kegiatan rehabilitasi yang selama ini berbasis proyek dengan segala sesat pikirnya harus dirombak total. Rehabilitasi tanpa melibatkan masyarakat, kejelasan dan kepastian lokasi serta tiadanya integrasi konsep hulu hilir secara holistik hanya akan menghasilkan perulangan kegagalan dan pemborosan anggaran negara dari tahun ke tahun.
Dipastikan semua itu kembali akan melahirkan bahkan mengabadikan fenomena “de javu” rehabilitasi hutan dan lahan. Bila itu yag terjadi. Quo vadis RHL ? *****
Apapun kegiatan harus jelas 4 W dan 1 H. Peran KPHP/L harus nyata sebagai “Who” Sudah belasan tahun KPHP/L ini dibiarkan sebagai entitas yg nggak jelas. Seharusnya UPT-UPT yg duduk manis di ibu kota Propinsi diliquidasi dan dilebur kedalam KPHP/L. Sehingga tinggal DisHut Propinsi yg mengadministrasi KPHP/L tersebut. Demikian juga KLHK di Ibu kota mesti direstrukturisai sehingga mungkin tinggal hanya 4- 5 Eselon 1. Lainnya dikirim ke KPHP/L. Dengan cara demikian apa yg dicita-citakan Mas Agung Nugroho akan bisa diwujudkan.